Aku terlampau membencimu, ketidakpedulianku sudah begitu jauh sampai aku tidak sadar jika kamu mungkin lebih terluka dariku.
***
Hari ini hari minggu, hari paling melelahkan bagi Genta karena harus bekerja seharian penuh. Jika weekand seperti ini, cafe pasti akan padat penunjung, membuat pekerjaannya bertambah berkali-kali lipat.
Disaat situasi seperti ini, Genta selalu ingin bertukar posisi dengan Rara. Berdiri dibalik meja kasir seharian tanpa harus bolak-balik menerima dan mengantar pesanan.
Jika bukan karena bayaran yang ia terima lumayan dan fakta bahwa betapa susahnya mencari kerja apalagi dirinya masih sekolah, Genta akan meninggalkan pekerjaan ini.
"Jangan ngeluh." Rara menahan senyumnya, jelas terlihat meledeknya.
"Coba sini gantian," ucap Genta seraya memutar bola matanya.
"Yaudah, kasih aja kenapa sih nomor teleponnya biar nggak diteror mulu suruh bolak-balik," ujar Rara.
Genta mendengkus. Segerombolan anak SMA yang datang tempo hari kemari, hari ini datang lagi. Salah satu dari mereka yang kemarin berbando hijau masih meminta nomornya. Tentu saja ia enggan memberikannya karena mereka tidak kenal walau Genta sudah tau nama gadis itu karena gadis itu sendiri yang memberitahunya.
"Nama aku Lestari, Kak. Kalo Kakak kasih nomor Kakak, aku bakalan kasih tau nama panjang aku," kata gadis itu tadi saat Genta mencatat pesanannya, yang mengundang gelak tawa dari teman-teman gadis itu.
Genta hanya tersenyum, posisi yang mengharuskannya tersenyum ramah seperti orang bodoh. Padahal dalam hari Genta membalas ucapan gadis itu.
"Nama pendek juga saya nggak mau tau."
Kata-kata itu hampir saja ia ucapkan jika ia tidak mengingat posisinya yang seorang pelayan sedang melayani raja.
"Cantik juga cewek itu. Lo jomblo pasti makanya mau kerja di sini buat mengisi waktu lo yang nggak ada kerjaan gegara jomblo," ujar Rara lagi.
Genta tertawa pelan. Dirinya sudah memiliki buku nikah tapi serasa jomblo memang. "Bisa aja," respon Genta.
Genta kembali setelah beberapa menit untuk mengantarkan pesanan Lestari dan teman-temannya.
"Selamat menikmati," ucap Genta begitu setelah menaruh piring-piring makanan itu di atas meja.
"Kak Genta?" panggil Lestari saat Genta hendak kembali.
"Ya?"
Lestari menggeleng sambil tersenyum lugu. "Kakak ganteng," katanya lalu terkekeh bersama teman-temannya.
Genta hanya tersenyun meresponnya. Ia kembali tanpa mau mendengar cekikikan Lestari dan teman-temannya.
***
Genta memasukkan motornya dengan hati-hati kedalam rumah agar tidak mengganggu Elea yang sedang tidur. Waktu saat ini hampir menunjukkan pukul sebelas malam. Karena ini weekand, jadi Genta pulang larut malam.
Setelah selesai pada motornya, Genta beralih ke dapur untuk minum dan membawa alat makan. Hampir ia tidak makan seharian jika Rara tidak mengingatkannya pas jam makan siang tadi.
Genta membuka bungkusan nasi goreng yang ia beli di pinggir jalan tadi. Nasi goreng yang sama yang selalu ia makan setiap hari. Selama Genta hidup bersama Elea, Genta tidak pernah memakan masakan rumah. Ia selalu makan di rumah dengan makanan yang ia beli dari luar.
Genta tidak menyalahkan dan tidak marah pula karena Elea tidak pernah memasak untuknya. Beginya Elea ada di sini dan mau tinggal satu atap dengannya membuat Genta senang walau minimnya komunikasi diantara mereka.
Genta memakan nasi goreng itu sambil memainkan ponselnya. Ponsel itu sudah jarang sekali ia sentuh sekarang. Dulu Genta hampir setiap saat memainkan ponsel untuk bermain game, sekarang tidak lagi.
Ditengah-tengah kegiatannya, hujan turun diluar sana dengan derasnya. Genta menghela nafasnya karena ia pulang lebih cepat dan tidak perlu pulang hujan-hujanan seperti sebelumnya.
Tiba-tiba ia teringat Elea yang sedang tidur. Genta lalu bangun dan berjalan menuju kamarnya untuk membawa selimut tebal yang dibawa Mamanya kesini. Genta takut Elea kedinginan karena selimut yang ia beli tidak setebal miliknya yang sedang ia bawa.
Genta membuka pintu kamar Elea dengan hati-hati. Lampunya menyala dan terlihat Elea sedang tertidur pulas dengan earphone yang menyumbat kedua telinganya. Genta berjalan perlahan kearah Elea dan berjongkok. Sesaat ia diam menatap perut Elea yang masih sama. Di dalam sana ada benihnya yang tumbuh. Tangan Genta terulur dengan ragu. Ingin menyentuhnya tapi ia tidak bisa.
Melupakan keinginannya, Genta menyelimuti tubuh Elea dengan selimut tebal miliknya. Biarlah malam ini ia kedinginan lagi seperti saat pertama kali ia tinggal di sini.
Sebelum Genta pergi, ia meninggalkan kecupan di kening Elea singkat dan berucap pelan, "Selamat tidur, Sayang."
Sebelum benar-benar pergi, ia menatap Elea lagi. Genta tidak benar-benar menyesal telah melakukan ini, karena jauh di dalam lubuk hatinya Genta merasa bahagia karena telah memiliki Elea sekarang.
Ya, untuk sekarang Elea adalah miliknya.
***
Elea mengerjapkan matanya, lalu merenggangkan tubuhnya secara perlahan. Perempuan itu menggaruk kepalanya, merasa ada yang asing darinya.
Selimut.
Elea merubah posisinya menjadi duduk, menatap selimut berwarna putih polos itu. Rasanya hangat dan aroma Genta memenuhi indera penciumannya. Sejak kapan selimut ini ada di sini? Sejak kapan ia memakainya? Sejak kapan ia merasa nyaman memakai selimut ini seperti sedang dipeluk Genta?
Pertanyaan itu berputar di kepalanya. Berputar tanpa jawaban. Elea meraih ponselnya yang di atas nakas untuk melihat jam. Jam lima pagi.
Elea pergi keluar kamarnya berniat untuk ke kamar mandi. Namun niatnya ia urungkan saat melihat Genta tidur di sofa lusuh dan tidak lagi empuk itu. Meringkuk dengan jaket yang melindungi kakinya.
Apa Genta kedinginan?
Itulah pertanyaan Elea saat melihat Genta. Diluar terdengar hujan.
Tanpa sadar langkahnya membawa Elea berada dihadapan Genta. Perempuan itu menunduk menatap Genta. Semalam ia merasa ada sesuatu yang lembab menempel dikeningnya lalu disusul bisikan yang tidak jelas Elea dengar, Elea pikir mungkin itu hanya mimpi. Tapi entah kenapa pagi ini Elea melihat Genta, Elea merasa yang semalam melakukan itu Genta.
Elea terkejut karena ia sedikit melamun saat Genta terbatuk tiba-tiba. Dengan cepat Elea beranjak untuk mengambil minuman.
Elea kembali, Genta terlihat mengusap-ngusap sisi lengannya. Mungkin karena dingin yang semakin menusuk. Elea bergegas mengambil selimut, selimut yang Genta beli untuknya, cukup hangat dan mungkin cukup untuk Genta.
Sebenci apapun Elea pada Genta, Elea masih memiliki sisi peduli, dan melihat Genta seperti ini Elea merasa kasihan. Genta menyerahkan selimutnya untuk Elea agar Elea tidak kedinginan, lalu membiarkan dirinya sendiri kedinginan. Itu adalah salah satu dari sekian kebaikan Genta yang ia balas dengan kebencian. Terlalu jahat memang, tapi mau bagaimana lagi.
"Genta..." panggil Elea pelan, terdengar berbisik.
Genta tampak tidak terusik dengan kehadiran Elea, cowok itu malah mengeratkan selimutnya.
Elea menghela napas pelan. Dari pada membangunkan Genta, Elea lebih memilih pergi ke dapur untuk membuat makanan. Biarlah sekali ini ia bersikap baik kepada Genta. Membalas kebaikan cowok itu dengan membuatkan Genta sarapan.
***