Memaafkanmu sama saja membuka luka lama.
***
"Gentaaaa!!"
Cowok itu mengelus dadanya pelan terkejut, karena seseorang memanggilnya tiba-tiba dengan suara kencang. Ia menoleh, menatap Sara dan Mei yang berlari ke arahnya.
Genta sudah bisa menebak apa yang akan mereka katakan padanya. Sara dan Mei pasti akan menanyakan Elea kepadanya. Mereka sahabat dekat Elea. Yang Genta tau, kepindahan Elea tak beralasan yang jelas, mungkin Elea juga tidak memberikan alasan kepada kedua temannya sehingga mereka berdua sekarang berada di hadapan Genta.
"Genta, lo tau kabar Eleanor nggak?" tanya Sara.
"Nggak."
"Ish. Apa ya kabarnya. Lo tau alasan dia pindah nggak?" tanyanya lagi.
Genta mendadak gugup. "Nggak. Kenapa nanya gue? Emang dia nggak bilang sama kalian? Lo berdua kan sahabatnya."
"Elea cuma bilang kalo dia pindah lagi ke Jogja. Ke rumah neneknya. Udah, itu aja," ujar Mei. "Lo beneran nggak tau?"
"Lo aja yang sahabat deketnya nggak tau, apalagi gue," sahut Genta.
"Ish, rumah lo kan deket tuh depan-depanan, kali aja dia atau orangtuanya cerita kenapa Elea pindah," ujar Sara. Gadis itu lalu cemberut.
"Ya mungkin neneknya minta ditemenin sama Elea kali. Nggak tau gue. Udah ah lagi praktek Bahasa Indonesia nih," ujarnya.
Mengabaikan Sara dan Mei, Genta melanjutkan langkahnya menuju kelas. Ia hanya ijin sebentar untuk ke toilet jadi ia tidak ingin berlama-lama diluar.
Sebentar lagi memasuki musim ujian, Genta tidak ingin ketinggalan pelajaran hanya karena masalah ini. Rumah tangganya dengan Elea yang masih abu-abu dan pekerjaannya yang menguras banyak waktu. Genta harus pintar membagi waktunya sekarang.
Praktek Bahasa Indonesia telah selesai. Pelajaran diakhiri dengan guru memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah. Saat yang lainnya memilih untuk pergi ke kantin, Genta malah duduk di kelasnya dan mengisi tugas yang baru saja diberikan.
"Itukan PR, nanti aja kerjainnya di rumah. Sekarang ke kantin dulu ayo," seru Latif yang duduk di sampingnya.
"Duluan aja. Kalo keburu nanti gue nyusul, kalo nggak lo beliin gue roti ya," ujar Genta tanpa menolah.
Latif memandang Genta yang masih sibuk mengisi tugas. Biasanya Genta tidak seperti ini, meskipun tidak acuh juga pada tugas.
"Genta, lo lagi ada masalah ya?" tanya Latif. Nada suaranya berubah serius.
Genta hanya bergumam, berusaha terlihat biasa saja dan tidak membuat Latif bertambah curiga.
"Lo keliatan beda aja akhir-akhir ini. Lo sedikit agak berantakan akhir-akhir ini, udah jarang main sama gue. Lo juga agak kurusan. Lo sebenernya kenapa? Nggak mau cerita ke gue?"
"Karena gue nggak punya apa-apa untuk gue ceritain ke lo," jawab Genta. Ia masih fokus membuat tugas.
"Yaudah. Sore ini kita main yok. Kemana kek. Ke cafe lah ngopi-ngopi cantik," ajaknya.
"Nggak bisa."
"Kenapa?"
Genta menoleh. "Gue harus buru-buru balik."
Latif mendengus. Selama ini jika ia mengajak Genta untuk jalan bareng, Genta selalu menolak dengan alasan yang selalu sama.
"Ada apa sih di rumah. Tiap hari lo selalu aja buru-buru balik. Kaya bini nungguin aja dirumah."
Emang iya. "Nggak gitu. Ya bentar lagi kan ujian tuh, gue udah harus banyak belajar sekarang soalnya gue nolak buat masuk bimbel. Jadinya nyokap-bokap nyuruh gue belajar terus sebagai gantinya."
Ya alasan yang masuk akal dan cukup untuk membuat Latif percaya dan tidak banyak tanya lagi.
***
Elea berjalan cepat ketika ada yang mengetuk pintu rumah kontrakannya. Terkejut dan sedikit takut siapa orang yang mengetuknya. Apa ada yang mengetahui Elea dan Genta tinggal di sini?
Dengan ragu Elea membuka pintu. Saat ia melihat orang yang bertamu ke rumahnya, ia menghela napas lega. Setidaknya bukan seseorang yang akan membuat dirinya malu untuk menunjukkan dirinya yang hancur.
Elea membuka pintu sedikit lebar, menyuruh mamanya Genta untuk masuk dan membantu membawa barang-barang yang dibawa Mamanya Genta ke sini.
"Genta belum pulang. Duduk dulu, Tante."
"Iya nggak papa. Genta udah cerita kalo dia kerja. Mama ke sini mau nengok kamu," ujar Ina sambil tersenyum.
Elea terdiam beberapa saat. Merasa baru sadar jika ia tadi menyebut tante. Tapi jika memanggilnya mama pun, Elea sedikit canggung.
"Elea bikin minum dulu sebentar ya," katanya. Elea pergi ke dapur setelah mendapat anggukan Ina. Setidaknya ia terbebas dari suasana ganggung yang hanya ia rasakan sendiri.
Tidak sampai lima menit, Elea kembali dengan membawa satu gelas teh manis.
"Cuma ada teh manis aja. Genta suka teh manis jadi nggak ada yang lain," ujar Elea ketika ia telah duduk di samping Ina.
Wanita itu terkekeh. "Iya, Genta suka banget sama teh manis," katanya. Elea hanya tersenyum dan berusaha untuk tidak canggung.
"Kamu sudah makan? Mama bawa soto nih. Sotonya Bang Eki. Kata Genta, kamu suka sotonya Bang Eki."
"Iya. Elea suka," katanya pelan. "Tapi makannya nanti aja. Elea belum laper."
"Yaudah." Ina tersenyum. "Tadi kamu lagi ngapain?"
"Nggak ngapa-ngapain. Cuma tadi lagi cuci sayuran aja biar seger. Soalnya nggak ada kulkas, jadinya takut layu," ujar Elea.
Ina mengangguk mengerti. "Keadaan kamu gimana? Kandungan kamu gimana?"
"Baik kok---Ma, cuma sering mual-mual aja."
"Awal-awal kehamilan memang sering ngalamin seperti itu. Genta pasti panik dan khawatir ya kalo kamu lagi mual."
Elea diam. Mendadak perasaan menjadi tidak enak pada Ina. Selama ini Genta tidak mengetahuinya. Elea selalu menyembunyikannya tentu saja karena tidak ingin berinteraksi dengan Genta.
Genta hanya tau dirinya sering ngidam saja. Setiap hari Genta juga selalu menanyakan padanya sedang ingin apa atau sedang ngidam apa. Terkadang juga Elea mengatakan keinginannya ketika sedang ngidam walau ia harus menginjak gengsi dan egonya mati-matian.
"Mama bawa apa?" tanya Elea, mengalihkan pembiacaraan agar tidak membicarakan lebih dalam mengenai Genta dan kandungannya.
"Oh ini, Mama bawa selimut Genta dan beberapa baju dia. Mama khawatir kalian kedinginan di sini jadi Mama bawain kalian selimut."
Elea menatap bed cover itu. Ina memberikan itu untuk ia dan Genta, sedangnya mereka pisah kamar. Dan Elea hanya tersenyum meresponnya lalu mengucap terimakasih.
"Sekali lagi, atas nama Genta, Mama minta maaf ya," ucap Ina tiba-tiba.
Elea hanya diam tak bereaksi apa-apa.
"Mungkin kelakuan Genta tak termaafkan, tapi Mama mohon kamu maafin Genta kapan pun itu waktunya. Mama tau ini sulit, Mama sudah dengar alasan kenapa Genta melakukan ini padamu."
Elea tidak yakin ia bisa memaafkan b******n seperti Genta atau tidak. Yang jelas Elea membenci Genta sekarang. Menyesal karena telah mengajak Genta untuk berangkat sekolah dulu saat pertama kali mereka bertemu dan berakhir dengan berteman dekat.
Ina tiba-tiba memegang tangannya, "Karena dia mencintaimu, Elea."
***