7. Sarapan

1034 Kata
Sebuah harapan muncul saat kamu melakukan itu tanpa sadar. *** Genta mengerjapkan matanya perlahan saat hujan di luar mengusik tidurnya. Ia meringis pelan, merasa tubuhnya sakit-sakit karena tidur di sofa yang sudah tidak lagi empuk. Genta ketiduran setelah makan semalam. Cowok itu perlahan bangun. Badannya terasa remuk karena tidur di sini. Namun sedetik kemudian ia tersadar dengan kehadiran benda yang tidak seharusnya ada di sini. Selimut Elea. Mengapa ada di sini? Dan mengapa menutupi tubuhnya? Sejak kapan? Aroma stroberi milik Elea tercium di selimut itu. Aroma yang selalu menjadi kesukaannya sejak dulu. Genta menekuk lututnya di depan, melebarkan selimut itu untuk menutupi tubuhnya lagi. Rasanya hangat, seperti dipeluk Elea. Genta memejamkan matanya dan bibirnya tersenyum. Menghangatkan sekali. "Lo udah bangun?" Genta tersentak. Ia menoleh. "Elea," katanya pelan. Genta langsung melepas selimut Elea yang membungkus hangat tubuhnya, tidak ingin Elea marah karena ulahnya itu. "Maaf selimut lo gue pake barusan sebentar," katanya setelah Genta berdiri. "Nanti gue cuci selimutnya. Janji," katanya. Dalam hati Elea ingin tertawa terbahak melihat ekspresi Genta sekarang. Lucu karena ketakutan setelah Elea memergokinya memakai selimut miliknya. "Nggak usah. Lo sekolah? Hari ini hari senin kan." "Astaga!" Genta terperanjat. "Jam berapa sekarang?" "Masih jam setengah enam lebih. Lo mandi sana. Gue lagi bikin sarapan," ujar Elea. "Ah, iya. Gue man—tadi lo bilang apa?" Perempuan itu mengangkat bahunya lalu meninggalkan Genta yang melongo karena ucapannya tadi. ...Gue lagi bikin sarapan... Sejak kapan Elea mau membuatkannya sarapan? Genta mengerjapkan matanya. Ingin ia bertanya lagi tapi Elea sudah pergi ke dapur. Melupakan keterkejutannya, Genta pergi untuk menyegarkan tubuhnya yang terasa remuk. Ingin rasanya Genta tidak pergi ke sekolah hari ini. Ingin tidur saja dan bergelung dibawah selimut milik Elea. Apalagi hujan pagi ini yang mengguyur dari semalam menambah kemalasannya. Sepuluh menit kemudian Genta keluar dengan baju seragam yang telah ia pakai. Ia menemukan makanan yang dimasak Elea sudah tersaji di meja. Mungkin pagi ini adalah pagi terindahnya. Saat bangun tidur mendapati Elea menghampirinya, memulai pembicaraan dengannya dan membuatkan makanan untuknya. Sesuatu yang mungkin tidak akan Genta rasakan untuk kedua kalinya nanti. "Ngapain bengong?" Cowok itu tersentak. "Nggak mau dimakan?" tanya Elea. Suaranya terkesan dingin seperti cuaca pagi ini. Genta menggeleng. "Mau kok. Gue mau nyimpen dulu handuk sekalian ngambil tas." "Lo mau sekolah?" tanya Elea lagi. "Di luar hujan gede." Genta berjalan kearah dapur, menggantung handuknya di jemuran kecil yang ada disana. "Mau gimana lagi? Sebentar lagi ujian. Gue nggak punya waktu buat belajar selain di sekolah. Lo tau gue kerja. Minggu pun juga," katanya seraya berjalan dan duduk. "Siapa suruh kerja," sahut Elea santai. Genta menghela nafasnya pelan. "Kalo gue nggak kerja, lo, gue, anak gue, mau makan apa? Tabungan gue udah hampir abis." Elea menatap Genta. Entah kenapa saat Genta mengatakan 'anak gue' membuatnya kesal. Padahal itu juga anaknya. Sebenci apa pun Elea pada Genta, Elea tidak mungkin membenci darah dagingnya sendiri. "Enak," komentar Genta saat cowok itu memakan makanan yang dibuatnya. "Gue nggak nyangka lo masak bisa seenak ini," katanya lagi lalu Genta tersenyum. "Lo ke sekolah naik motor?" "Kayaknya naik angkot," ucapnya. "Oh." Pembicaraan singkat itu berakhir. Sampai Genta menghabiskan makanannya pun, mereka tidak mengobrol lagi. Seperti yang Genta ucapkan, dia berangkat sekolah naik angkot karena tidak mungkin naik motor ditengah hujan deras seperti ini. *** Elea duduk di depan televisi yang menayangkan kartun. Hari-harinya sangat membosankan sekali. Elea seperti terkurung di dalam rumah sempit ini. Walaupun Genta tak melarangnya keluar, tapi Elea sangat takut untuk keluar. Ia takut jika tiba-tiba bertemu dengan orang yang ia kenali di sekolah. Elea menyandarkan tubuhnya. Tangannya mendarat di perutnya yang sudah mulai menonjol di usia kandungannya yang menginjak bulan ketiga. Berarti sudah hampir tiga bulan ia hidup bersama Genta. Tubuhnya yang kecil dan ramping membuat perutnya terlihat menonjol seperti hamil usia 4 bulanan. Elea menghela napasnya. Selama ini ia sangat-sangat jarang keluar rumah. Bukan hanya takut jika sewaktu-waktu bisa bertemu dengan orang yang dikenalinya, Elea juga takut bertemu dengan warga-warga di sini. Elea takut mereka mengcibir dan menghujatnya karena kejadian ini. Elea menoleh saat ponselnya bergetar. Ia melihat nama Sara di sana, yang mengiriminya pesan. Sara : El, kapan lo mah kabarin gue? Kita kangen banget sama lo :( Elea merasa matanya memanas. Ia memandang layar ponselnya. "Gue juga kangen kalian." Tidak dapat dipungkiri jika Elea juga rindu kepada kedua teman baiknya. Namun Elea terlalu takut untuk menghubungi mereka atau sekedar membalas pesan Sara atau Mei. Elea takut mereka tau dan tidak bisa menerima keadaannya. Elea terlalu malu untuk muncul di hadapan mereka dengan keadaan seperti sekarang. Sara mengirim pesan lagi. Sara : Ada apa, El? Kenapa lo terkesan menghindar. Kita sahabat dan lo tega banget sama sahabat lo sendiri. Kali ini Elea sudah menangis. Mereka sahabat baiknya sejak pertama kali masuk SMA. Selama itu juga mereka selalu bersama, menceritakan apa yang sedang mereka hadapi. Baik buruknya mereka sudah saling tau. Tapi untuk ini, Elea tidak sanggup untuk mengatakannya kepada mereka. Sehingga bersembunyi adalah jalan satu-satunya yang bisa Elea lakukan sekarang. Entah sampai kapan. *** Lagi. Gadis SMA itu datang lagi. Kali ini datang sendirian dan katanya menunggu Genta sehingga rela duduk berjam-jam disana. Genta sudah mengatakannya kepada Lestari bahwa ia pulang malam sesuai dengan jadwal tutup cafe, tapi gadis itu mengatakan tidak apa-apa dan akan menunggu Genta. Genta bukan cowok bodoh yang tidak tau apa-apa. Ia adalah tipe cowok peka. Lestari menyukainya makanya gadis itu rela datang setiap hari dan rela duduk berjam-jam seperti sekarang. Sudah tiga hari Lestari melakukan itu hanya untuk mendapatkan nomor Genta. Selama ini Genta memang tidak memberikannya walau Lestari beberapa kali mengkodenya atau terang-terangan memintanya. Alasannya simple, Genta bukan orang yang pantas untuk Lestari. "Kak Gen udah selesai kerjanya?" tanya Lestari dengan raut wajah senang. Genta menggeleng. "Kenapa belum pulang? Ini udah jam setengah sembilan. Orangtua kamu pasti nyariin." "Mami sama papi nggak bakalan nyariin aku, Kak," ucap Lestari. Sorot matanya yang tadi berbinar kini sedikit meredup. "Ya pokoknya orang rumah kamu pasti nyariin. Kamu masih pake seragam dan artinya kamu belum pulang dari tadi." Lestari hanya tersenyum. Genta mengeluarkan sebuah kertas dari saku seragamnya dan menaruhnya di hadapan Lestari. "Sekarang kamu pulang ya." Sorot mata Lestari kini tampak berbinar saat melihat duabelas angka-angka yang berbaris disana menyusun sebuah nomor telepon. "Akhirnya nggak sia-sia juga," katanya dengan senang. Genta menyunggingkan senyum. "Udah seneng kan? Sekarang pulang ya. Jangan kayak gini lagi. Nggak baik." Lestari terkekeh dan mengangguk. "Iya," katanya. Tangannya terulur. "Aku boleh pinjem hp Kak Gen?" "Buat apa?" "Mau mesen taksi online. Hp-ku mati." Genta menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tunggu sampe aku selesai kerja. Aku anterin kamu pulang." Dan itu cukup untuk membuat Lestari memekik dengan perasaan membuncah di dadanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN