8. Tidak Peka

967 Kata
Aku tidak peduli apapun. Termasuk resiko terbesarku jika aku mencintaimu begitu dalam. *** Motor Genta berhenti di depan rumah besar berwarna coklat keemasan. Genta dapat menebak jika Lestari ini anak orang kaya. "Makasih ya Kak Gen. Di luar ekspetasi aku bakalan dianterin Kak Gen," ujar Lestari begitu telah turun dari motor Genta. "Sama-sama. Masuk sana," ucap Genta. "Mau mampir nggak?" Genta menggeleng pelan. "Nggak usah. nggak enak, udah malem juga. Masuk sana." Lestari terkekeh. "Iya. Kakak hati-hati dijalan ya. Nanti kalo aku kirim pesan, bales ya." Genta terkekeh. "Iya," katanya sambil menyalakan motornya. "Aku balik duluan ya." Setelah mendapat anggukan dari Lestari, cowok itu melajukan motornya meninggalkan Lestari yang masih berdiri di depan gerbang. Lima belas menit kemudian Genta menghentikan motornya di depan kedai sate yang jaraknya sudah tidak terlalu jauh dari rumahnya. Jalanan cukup lenggang sehingga ia tidak perlu berlama-lama dijalan. Cowok itu memesan dua porsi sate. Untuknya dan Elea tentunya. Meskipun ia tidak yakin jika Elea masih terjaga. Sambil menunggu, cowok itu mengambil ponsel yang sedari tadi disimpan di dalam tas. Ada sekitar tiga tidak terjawab dari Elea dan itu cukup membuatnya terkejut sekaligus bingung. Hal ini sangat jarang dilakukan oleh Elea, bahkan mungkin tidak pernah. Atau, apa mungkin Elea sedang ngidam sehingga menghubunginya terus-menerus? Genta menelepon balik Elea. Saat sambungan ketiga, Elea menjawab teleponnya. "Halo, Lea? Sorry baru bisa telepon lo balik. Ada apa? Lo pengin sesuatu?" ujar Genta. Elea bergumam di sebrang sana. "Nggak. Tadi perut gue keram jadi telepon lo." Genta membulatkan matanya. Jantung berdegup kencang. Ia khawatir. "Astaga! Sorry banget, Le. Gue nggak liat hp selama gue kerja. Lo nggak papa? Gue balik sekarang," ujarnya dengan suara penuh kekhawatiran. "Gue ng---" Belum sempat Elea menjawab, Genta sudah memutus sambungannya sebelah pihak. Bertepatan dengan itu, satenya telah selesai dibuat. Genta langsung membayarnya dan segera pulang. Sumpah! Genta sangat panik sekarang. Genta takut terjadi apa-apa dengan Elea dan kandungannya. Sekarang, ia mengumpat karena jadwal kerjanya. Mungkin besok-besok, Genta akan mencoba untuk kerja tidak sampai larut malam. Atau, ia mencari pekerjaan baru. Butuh waktu lima belas menit untuk Genta sampai di rumahnya dengan ngebut. Segera saja ia masuk dan mengabaikan motornya. Genta benar-benar panik sekarang. Saat ia membuka pintu kamar Elea, ia melihat Elea berbaring ditemani oleh Ina yang duduk di sisi ranjang. "Elea, lo nggak papa kan? Elea, maaf banget gue nggak angkat telepon lo tadi. Sumpah, gue nggak pegang hp pas gue kerja. Gue minta maaf." "Genta, gue nggak papa," ucap Elea dengan suara pelan. "Biarin Elea istirahat, Gen. Nanti Mama jelasin sama kamu." "Ma," Genta menatap ibunya dengan raut wajah jelas penuh kekhawatiran. "Iya. Mama jelasin. Tapi nggak di sini. Ayo keluar. Biarin Elea istirahat," ujar Ina. Walaupun enggan, Genta tetap mengikuti Ina keluar dan membiarkan Elea istirahat. "Ma," panggil Genta pelan. "Tadi perut Elea hanya keram. Kata dokter tidak apa-apa. Dia hanya tidak teratur makan dan sudah dikasih obat," jelas Ina. Genta menundukkan kepalanya. Tiba-tiba ia merasa bersalah. Seharusnya ia bisa bertanggung jawab dengan membuat kehidupan Elea menjadi lebih baik. Setidaknya itu bisa membuktikan kepada semua orang terutama kekuarga Elea, bahwa ia benar-benar bertanggung jawab. "Nggak papa, Sayang." Ina mengusap bahunya. Menyadari jika Genta menyesali kejadian ini. "Elea tidak apa-apa. Anak kalian juga." Tadi, sangat kebetulan sekali, Ina hendak mengunjungi Elea setiap minggunya secara rutin karena tau jika Genta sibuk bekerja. Ina mendapati Elea meringis di depan televisi memegangi perutnya, lalu Ina langsung membawa Elea ke rumah sakit terdekat. Untungnya tidak terjadi apa-apa. "Ini salah Genta, Ma." ucap Genta, dengan kepala masih menunduk. "Andai Genta bisa buat ngejaga Elea dengan ekstra, Elea nggak bakalan sampe kayak gini." "Sudah, Nak." Ina kembali menengkan Gebta. "Kamu sudah makan?" Genta menggeleng. Ia hampir saja melupakan bungkusan sate yang masih tertinggal di motornya. Pria itu keluar, mengambil bungkusan sate sekaligus memarkirkan motornya dengan baik di depan rumah. Lalu ia kembali dan duduk di samping mamanya. "Mama nggak pulang? Nanti dicariin papa," ujar Genta. "Tadi Mama udah bilang mau kesini." "Genta anterin Mama pulang. Ini udah malem." Ina terkekeh menatap putra satu-satunya. "Mama nggak mau naik motor kamu. Takut," katanya. Genta tersenyum kecil. "Ya udah, jalan kaki aja." Ina tersenyum. Ia mengusap rambut hitam Genta. "Nggak usah. Mama pulang sendiri aja. Kamu di sini aja jagain Elea." "Nggak papa?" Ina mengangguk. Ia meyakinkan Genta bahwa tidak apa-apa jika pulang sendirian. Lalu ia pamit setelah meyakinkan Genta. Genta kembali ke dalam setelah Ina pergi. Ia tidak tertarik sama sekali pada sate yang dibelinya, padahal Genta sudah sangat lapar saat masih di cafe tadi. Perhatiannya tertarik pada Elea. Genta masuk ke dalam kamar Elea, terlihat perempuan itu sedang tidur memakai selimut miliknya. Genta menutup pintu, ia berjalan semakin dekat pada Elea. Diamatinya wajah Elea yang sedikit memucat. Genta merutuk dalam hati. Menyalahkan dirinya atas kejadian ini. Tangannya terulur untuk mengusap lembut pipi Elea. "Maafin gue, Lea. Gue nggak bisa jagain lo," ujar Genta lirih. Semakin lama ia memandang wajah Elea, semakin membesar pula perasaannya untuk perempuan itu. Genta duduk di sisi kasur, menggenggam tangan Elea begitu erat. "Gue janji bakalan lebih jagain lo. Gue nggak bakalan biarin lo kesakitan lagi," ujarnya. Lalu tangan Genta yang satunya terulur menyentuh perut Elea yang terhalang selimut. "Maafin Papa, Nak. Papa nggak becus jagain kalian," ujar Genta. Ia merasakan begitu hangat saat ia menyentuh perut Elea walau terhalang selimut, seakan ia menyentuhnya langsung, berinteraksi langsung dengan anaknya. "Lea, asal lo tau, gue begitu mencintai lo melebihi apa yang lo kira." Sial. Genta merasa matanya memanas. *** Elea mengerjapkan matanya saat suara ayam berkokok membuatnya terjaga. Ia merasa tangannya menjadi berat. Elea menolah dan matanya langsung membulat. Ternyata yang membuat tangannya berat adalah Genta yang menggenggamnya begitu erat. Elea melepaskan tangannya secara perlahan, ia kemudian duduk. Melihat Genta yang tidur dalam posisi seperti itu pasti tidak nyaman. Bagaimana bisa Genta dapat tidur dengan nyenyaknya. Genta pasti menjaganya semalaman hingga ketiduran di sini. Elea mengusap tangannya yang mungkin semalaman digenggam erat oleh cowok itu. Mungkin kalo lo nggak bikin gue benci sama lo, gue bisa aja mencintai lo sebesar lo mencintai gue, Gen. Batin Elea berteriak. Tidak dapat dipungkiri, pengakuan Genta tentang perasaannya membuat Elea terkejut sehingga Elea memikirkannya selama beberapa hari. Elea tidak cukup peka untuk menyadari bahwa Genta sudah lama mencintainya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN