9. Tidak Wajar

944 Kata
Semesta mengantarkan luka agar kita bersama. *** Genta memijat bahunya pelan. Astaga! Tubuhnya terasa sangat remuk sekali karena posisi tidurnya yang tidak wajar. Genta melepas bajunya begitu saja sehingga ia sekarang telanjang d**a. Cowok itu menempelkan beberapa koyo di beberapa titik tubuhnya seperti bahu dan pinggang. Ya ampun, Genta merasa seperti kuli bangunan dengan tempelan koyo di mana-mana. Untuk hari ini, Genta titip absen pada Latif. Ia mengatakan jika hari ini ia izin, begitu pula dengan tempat kerjanya, Genta juga izin. Biar hari ini saja Genta ingin mencurahkan perhatiannya pada Elea dan calon anaknya. "Nggak bisa apa kalo nggak telanjang gitu?" Genta tersentak. Ia menoleh menatap Elea yang menutup matanya. "Eh, sorry, gue lagi tempel koyo tadi," katanya lalu bergegas memakai bajunya kembali. Elea tertawa mendengar kata koyo. Membuat Genta menatapnya heran sekaligus bahagia. Elea tidak pernah tertawa lepas seperti sekarang setelah bersamanya. Elea seolah kehilangan cahaya hidupnya, kehilangan sesuatu yang membuatnya bahagia. Genta tau itu, ia yang menyebabkan kehilangan itu terjadi. "Nggak cocok banget lo pake koyo," ujar Elea sambil menormalkan wajahnya lagi. Genta tersenyum. "Iya. Tapi badan gue sakit-sakit." "Lagian, lo ngapain tidurnya kayak gitu. Nggak normal." "Sengaja. Gue rela asal mastiin lo nggak papa," ujar Genta. "Duduk, Le." Elea menurut begitu saja, ia duduk disamping Genta. "Lo nggak berangkat sekolah." "Izin gue hari ini." "Kenapa?" "Seperti yang gue bilang tadi, sengaja, asal mastiin lo nggak kenapa-napa," ujar Genta. Elea mencibir dan memutar matanya malas. "Harusnya lo cuek aja. Nggak perlu bersikap sebegini pedulinya sama gue." "Nggak bisa gimana dong?" Genta menahan senyumnya. "Lo tujuan hidup gue sekarang." Elea diam menandang televisi ia nyalakan barusan. Menunjukkan tayangan kartun pagi kesukaannya. "Perutnya gimana?" tanya Genta. "Baik." "Susunya udah lo minum?" "Udah." Genta bergumam mengerti. "Ada kepengin sesuatu? Ngidam gitu." "Nggak ada." Setelahnya tidak ada pembicaraan lagi diantara mereka. Hanya ada suara televisi yang menemani keheningan mereka. Genta tidak lagi menanyakan sesuatu agar pembicaraan diantara mereka tetap ada. Elea kembali ke Elea yang dingin lagi. Namun rasanya itu sudah cukup menyadari Elea sekarang duduk di sampingnya. Ponselnya yang berada di atas meja berbunyi, mengalihkan perhatian Genta yang sedang menatap Elea dari samping, juga menarik perhatian Elea dari televisi. Genta mengambilnya dan membaca pesan itu yang ternyata dari Lestari. Lestari Alvina : Kak Gen... Hanya sebuah pesan tak berarti bagi Genta. Ia membiarkannya hanya dibaca saja, tanpa berniat untuk membalasnya. "Lestari siapa?" tanya Elea yang ternyata diam-diam memperhatikan. Sempat membaca sedikit pengirim pesan itu. "Pelanggan Cafe." "Hebat ya udah tuker-tukeran nomor," ujar Elea ketus. Genta tersenyun kecil. Merasa jika Elea seperti sedang cemburu sekarang. "Soalnya gangguin terus, dateng tiap hari terus diem sampe gue pulang. Mau nggak mau deh." "Tapi seneng, 'kan?" Elea menoleh. "Nggak ada yang lebih seneng selain lihat lo senyum." Genta menarik kedua sudut bibir Elea dengan jarinya. "Kayak gini kan cantik. Coba dong." "Apaan sih." Alis Elea menekuk tajam, tidak senang karena perlakuan Genta. Entah kenapa sentuhan Genta masih terasa menakutkan baginya. "Eh, sorry, gue nggak maksud kayak gitu," ucap Genta, menyadari ketidaknyamanan Elea saat ia menyentuhnya. "Elea, gue---" Ucapan Genta terhenti karena ponselnya berbunyi lagi. Kali ini ada panggilan masuk dan itu dari Lestari lagi. "Nggak di angkat?" tanya Elea saat Genta hanya diam. "Nggak usah. Nggak penting," ucapnya. Lalu Genta mematikan ponselnya agar Lestari tak menganggunya untuk saat ini. *** Elea menggigit bibir bawahnya pelan. Matanya sesekali melirik resah ke arah kamar Genta. Elea menginginkan sesuatu. Sesuatu yang membuat dirinya merutuk kesal dalam hati. Elea tidak berani mengatakannya. Gengsi, tapi ngidamnya tidak bisa ia tahan. Elea hampir menangis karena ini. Elea ingin segera tidur, malam juga semakin larut. Tapi ia tidak bisa tidur. Elea ingin Genta mengelus perutnya. Perempuan itu mendesah pelan. Ia menyerah. Elea menekan harga dirinya untuk mengatakan ini. Ia mengetuk pintu kamar Genta, samar-samar ia mendengar suara Genta sedang menelepon sampai akhirnya pintu di depannya dibuka oleh sang pemilik kamar. "Ada apa, Lea?" tanya Genta. "A-anu..." Elea menggigit bibir bawahnya gugup, menatap Genta lalu mengerjapkan matanya. "Lo mau sesuatu? Makan?" tanya Genta lagi saat Elea tak kunjung berbicara. "Bu-bukan.. It-itu, a-anu.." Sial. Elea malah terbata-bata mengucapkannya. Duh, tapi ia tidak bisa menahannya keinginannya. "Gue nggak bisa tidur," cicit Elea sambil menunduk. Genta menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Kipas anginnya mati? Gue periksa dulu deh," katanya. Elea menahan tangan Genta saat cowok itu hendak berlalu ke kamarnya. "Bukan itu..." "Terus?" "Emm...itu---pengen di elus perutnya," katanya. Wajah Elea terasa memanas. Genta mengerjapkan matanya. "Apa?" "Ish," Genta tidak dapat menahan senyum di bibirnya. Senyum itu terbentuk semakin lebar. "Mau manja-manjaan nih?" godanya. "Ish, Genta!" "Iya-iya." Genta terkekeh walau sebenarnya ia ingin sekali tertawa, namun Genta tau jika Elea pasti akan marah jika ia menertawakannya. "Yaudah ayo. Udah malem, Elea," katanya lagi lalu menuntun Elea masuk ke dalam kamar perempuan itu. Elea hanya menundukkan kepalanya. Wajahnya pasti merona karena ini. Elea benar-benar tidak bisa menunjukkan wajahnya di depan Genta sekarang. "Tidur, Lea," katanya Genta. Elea kini menyadari bahwa dirinya sudah berbaring di atas ranjang. "Gue di sini sampai lo tidur," kata Genta setelah mengambil kursi plastik dan meletakkannya di samping ranjang. Elea menggigit bibir bawahnya saat tangan Genta terulur dan menyentuh perutnya yang terbalut piyama. "Udah berapa bulan?" tanya Genta. "Tiga," ucap Elea pelan, terdengar seperti bisikan. "Nanti kalo gue gajihan, kita ke dokter ya," katanya. "Ngapain?" "Ya periksa aja." Genta tersenyum tipis. "Udah, tidur sana." Elea mengangkat selimutnya hingga sebatas d**a, sehingga menutupi tangan Genta yang masih mengelus perutnya dari luar. Lalu sambil memejamkan matanya, Elea memberanikan diri untuk membawa tangan masuk ke dalam bajunya, menyentuh perutnya secara langsung. Karena itu yang Elea inginkan. Dapat ia rasakan Genta menegang saat ia melakukan itu. Ingin Elea melihat ekspresi Genta sekarang, namun ia tidak berani membuka matanya. Sedangkan Genta, ia mengerjapkan matanya seperti orang bodoh. Tubuhnya terasa kaku dan jantungnya berdebar tak takuran. Gerakan kecil saat Elea menarik tangannya menyelinap masuk ke balik piyama membuat jantungnya seperti akan copot hingga ke dasar perut. "Lea..." suara Genta berubah serak. Elea menggigit bibir bawahnya. "Tolong, kali ini aja," gumamnya lirih. Genta menahan napasnya saat ia menggerakan telapak tangannya mengusap permukaan perut Elea. Kulit tangannya bersentuhan langsung dengan kulit lembut milik Elea. Ya Tuhan! Genta merasa dadanya sakit karena debaran jantungnya yang tidak wajar. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN