4. Tear

966 Kata
Aku benci ketika kamu menangis. Dan aku semakin benci bahwa akulah penyebabmu menangis. *** Genta senyum-senyum mengingat kejadian semalam. Meskipun tadi pagi sikap Elea kembali seperti semula; mengabaikannya, tapi setidaknya Elea pernah mengajaknya berbicara tadi malam. Yah meskipun semalam Genta harus pulang larut sambil hujan-hujanan karena mie ayam yang diinginkan Elea sangat jauh dari rumah lalu berakhir dengan dirinya flu. Genta tidak apa-apa, karena melihat Elea yang lahap makan mie ayam itu semalam membuatnya sudah bahagia. "Setres lo ya senyum-senyum sendiri," celetuk Latif yang duduk di sampingnya. Genta tersadar dari lamunannya. Ia menoleh ke arah Latif. Di sekolah ini tidak ada yang tau masalahnya dengan Elea, bahkan Latif sekali pun yang merupakan teman dekatnya. "Main PS yuk pulang sekolah di rumah gue. Nyobain stick baru," ajak Latif. "Nggak bisa gue." Genta menolak. Ia berpikir alasan apa yang bagus untuk menolak ajakan Latif kali ini. "Ada urusan sama bokap gue." "Urusan apaan?" "Adalah pokoknya. Nggak bakal tau lo," katanya. Ya setidaknya sekarang Latif percaya dengan alasannya. Waktu berlalu begitu cepat. Sekarang sudah waktunya pulang sekolah. Genta langsung menuju cafe agar tidak terlambat bekerja. Butuh waktu setengah jam agar Genta sampai di sana. Beruntung jalanan tidak macet dan tidak membuatnya terlambat. Saat ia sampai di cafe, pelanggan yang membludak; yang kebanyakan di d******i oleh perempuan itu seperti menunggu kehadiran Genta. Hampir semua meja terisi namun sebagian belum memesan makanan, hanya minuman saja. Genta langsung ke belakang untuk mengganti baju. "Ck, lo tau nggak, mereka udah nungguin kehadiran lo dari satu jam yang lalu," ujar Fita. "Masa?" Genta terkekeh saat memasukkan tas ke dalam loker. "Iyalah. Gue udah nyamperin mereka hampir tiga kali buat nanya mau pesen apa, tapi mereka cuma bilang; nanti dulu Mbak pesannya. Nunggu dulu mas yang ganteng itu, kemana ya?." Fita menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dapet bonus gede lo." "Bagus dong." Kali ini Genta tertawa kecil. "Pemasukan cafe gede, pemasukan gue juga gede." Fita memutar bola matanya malas. "Serah lu." Genta tertawa lagi. Ia menepuk bahu Fita pelan lalu mulai bekerja dengan menghampiri meja pelanggan satu persatu untuk mencatat pesanan. "Selamat sore, boleh saya catat pesanannya?" Genta tersenyum ramah kepada segerombolan anak SMA yang terlihat dari gayanya masih kelas sepuluh itu. Seorang cewek berbando hijau berdehem dan merubah posisinya. "Pesen tiga pizza dengan ekstra keju. Aku minumnya pepsi dengan ekstra nomor Kakak ya." Genta terkekeh sambil mencatat pesanan mereka. Godaan receh itu masih berlanjut sampai orang terakhir dari segerombolan gadis SMA itu menyebutkan minuman pesanannya. "Kakak namanya siapa?" tanya salah satu dari mereka saat Genta hendak pergi. Cowok itu tersenyum. "Genta." *** "Lea." Genta menghampiri Elea yang sedang duduk menonton televisi. "Ini buat lo besok. Buat beli makan atau lo mau masak lo bisa beli bahannya," ujar Genta sambil menaruh dua lembar uang seratus ribu di atas meja. Cowok itu lantas menghela napas saat Elea tidak meresponnya sama sekali. "Gimana home schooling lo?" tanyanya lagi. "Biasa aja," sahut Elea singkat. "Oh," Genta merogoh sesuatu dari dalam saku celananya. "ini gaji pertama gue plus sama bonusnya. Lo simpen ya," katanya lagi-lagi menaruhnya di atas meja. "Kalo lo butuh sesuatu, pake aja uang itu. Boss cafe ngasih bonusnya lumayan." Elea menoleh. "Kenapa lo kasih ke gue? Gue nggak butuh!" Genta tersenyum. "Karena lo berhak." Elea menatap Genta dengan tajam. Dulu Elea menyukai senyum itu. Ia hampir selalu menikmatinya setiap hari tanpa terlewat. Tapi sekarang, Elea membenci senyum itu. Elea benci saat Genta tersenyum menatapnya. Cowok itu selalu bersikap biasa aja padahal selama satu bulan lebih mereka hidup bersama, Elea bisa dibilang selalu bersikap kasar kepada Genta walau bukan kasar secara fisik. "Kalo lo nggak mau nerimanya, lo bisa kan nerima uang itu buat anak gue?" kini senyum Genta menipis. "Tolong perlakukan dia dengan baik, setidaknya sampai sembilan bulan ke depan." Mata Elea berkaca-kaca, membuat pandangannya mengabur. "Kenapa sih lo nggak pernah balik benci gue? Kenapa, Genta?! Gue kesel, gue benci banget sama lo, Genta!" "Karena yang gue punya cuma Cinta. Bukan benci." Elea cukup terkejut mendengar ucapan Genta. "Menurut lo kenapa gue sampe ngelakuin itu sama lo? Mabuk? Obat perangsang?" Elea diam. Yang ada di pikirannya saat itu adalah Genta sudah gila. Saat itu Elea tengah sendirian di rumah karena kedua orang tuanya sedang pergi ke luar kota sebentar. Suatu sore Genta datang untuk mengantarkan makanan dari Mamanya Genta. Mereka mengobrol cukup lama sambil menonton tv. Sampai salah satu jenis setan mungkin merasuki Genta sehingga Genta melakukan itu dengan paksa di rumahnya sendiri. Setidaknya itu yang Elea pikirkan saat itu sampai sekarang. "Karena gue cinta sama lo," ucap Genta. "Kenapa lo nggak memilih untuk bilang sama gue dari pada ngehancurin hidup gue?" tanya Elea. Kali ini perempuan itu menangis. "Karena gue terlalu pengecut buat ngungkapin perasaan gue sendiri." "Iya! Lo emang pengecut. Lo cowok paling b******k yang pernah gue kenal!!" bentak Elea. "Lo adalah sesuatu yang nggak pernah ada di bayangan gue. Cinta sialan lo udah bikin hidup gue hancur!" Genta menatap Elea yang sedang menangis. Ingin rasanya Genta menarik Elea ke dalam pelukannya, mengecup keningnya, dan menghapus air matanya. "Maaf." Genta bergumam lirih. Ia tidak tahan untuk tidak memeluk Elea. Genta akhirnya menyerah. Ia mendekati Elea dan tanpa ragu menarik perempuan itu ke dalam dekapannya. Mengabaikan resiko yang akan terjadi seperti Elea akan memakinya, memukulnya atau apapun itu terserah. Sekarang Genta hanya ingin memeluk Elea dan menghapus air mata perempuan yang begitu ia cintai. "Jangan nangis, Lea," gumam Genta ditelinga Elea. Perempuan itu tidak merespon dan hanya terisak dipelukan Genta. Elea tidak menolak saat Genta memeluknya, tidak juga membalasnya. "Gue benci liat lo nangis." Elea melepas pelukan itu secara kasar lalu menampar pipi Genta. "Lo pikir gue nangis karena siapa?!" Mata Elea kembali berkaca-kaca tanpa bisa ia tahan lagi. "Lea, gue minta maaf. Gue janji---" Elea berdiri. "Gue nggak perlu janji lo. Karena sampai kapanpun gue nggak akan pernah percaya sama lo lagi!" Setelah mengatakan itu, Elea pergi ke kemarnya meninggalkan Genta yang menatapnya dengan nanar. Jika saja pengakuan Genta lebih cepat dikatakan oleh cowok itu, maka Elea lebih memilih untuk belajar mencintai cowok itu daripada seperti sekarang. Genta memang terlalu pengecut untuk mengungkapkan hal itu. Genta merasa dirinya ditolak oleh Elea. Seperti ini yang Genta selalu takutkan dari dulu jika ia mengatakan perasaannya pada Elea. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN