Penyesalan

1709 Kata
Penyesalan dan rindu datang di waktu yang tidak tepat. Beberapa detik hanya saling terdiam, Starla mengenyahkan keterkejutannya. Tersenyum manis, seperti tidak terjadi apa-apa di antara mereka. "Apa kabar?" Starla masih dengan senyumannya. Yang ditanya justru gugup. "A-anu, baik." Dengan cepat, memainkan jari-jarinya guna menutupi gugup. "Lo baru pulang?" Hanya dijawab dengan anggukan ragu oleh Starla, lelaki itu langsung berjalan cepat supaya sejajar dengan Starla yang berjalan duluan. Kecil-kecil tapi langkah Starla cukup cepat juga. "Star." Mendadak keduanya berhenti. Starla yang masih menghadap ke depan, sedangkan si pemanggil sudah berdiri menjulang di hadapan gadis itu. Tanpa aba-aba sebuah pelukan mendarat di tubuh Starla. Hanya diam, tanpa membalas pelukan itu Starla menatap nanar ke depan. Beberapa saat Starla yang terlalu terkejut dengan suasana ini. Tubuh tinggi yang memakai Hoodie merah muda saat ini dengan erat memeluknya, meluapkan segala kerinduan yang masih sempat terobati. Egois, Starla tidak mampu menolak. Karena dia juga merasa nyaman. Merasakan kehangatan yang dulu dia rasakan. Dan sekarang masih sama, selalu menenangkan dengan aroma mint yang berhembus tertiup angin melewati lubang hidungnya. Pipi yang dingin mendadak memerah, salting dan malu. Refleks Starla sadar dari dunianya, langsung mendorong orang itu dengan cepat. Menatapnya tak mengerti. "Kenapa Langit? Kenapa?" Hampir saja air mata itu tumpah. Sesuatu yang dia ikhlaskan selama ini benar-benar diusik saat ini. Kenapa banyak orang yang ia cintai kerap melukainya? Langit ingin menggapai tangan Starla. Namun, gadis itu berlari menjauh dengan cepat dari hadapannya. Berlari kecil ke arah seseorang yang sedari tadi berdiri tak jauh di belakang Langit. Starla berhamburan ke pelukan Bintang. Si tuan pemilik tubuh yang memperhatikan keduanya dari tadi dengan tanda tanya besar menerima pelukan mendadak Starla. Memeluk gadisnya sangat erat, mengelus rambutnya penuh sayang. Tanpa sadar itu adalah bukti bahwa Bintang benar-benar sudah mencintai Starla tanpa dipungkiri. Bintang menengok ke arah Langit, menatap dingin cowok itu yang sudah berbalik menghadap ke arah dua sejoli yang sedang berpelukan. Mereka saling menyorot satu sama lain di bawah sinar rembulan. Tidak tertarik pada Langit, Bintang mengalihkan perhatian ke Starla yang gemetaran, Bintang mengambil wajah Starla, mendongakkan kepala gadis itu untuk menatapnya. "Nangis aja kalau emang nggak kuat. Jangan ditahan, lo bukan badut yang harus pura-pura di depan gue." Berusaha keras menahan cairan bening itu. Pada akhirnya Starla menumpahkan segala sesak yang ditahannya. Hatinya kacau sekali, perihal keluarga dan Langit. Starla menumpahkan semuanya di hadapan Bintang. Cowok itu menyaksikan betapa rapuhnya Starla. Gadisnya itu seharian menghilang karena tidak ingin Bintang melihat sorot mata lelah dan hancurnya. Bintang tahu, meski Starla tidak memberitahu sekali pun. Menghapus air mata Starla, Bintang kembali merengkuh tubuh Starla dalam pelukannya lebih erat. Menyalurkan kehangatan serta kekuatan untuk cewek itu. Tidak peduli Starla mau memberitahu atau tidak apa yang terjadi dan dirasakannya, yang pasti Bintang hanya ingin menjadi seseorang yang berada di samping gadis itu ketika hancur. Seperti sekarang ini. Bukankah pelukan yang gadis itu butuhkan untuk saat ini? Terkadang yang benar-benar peduli memang akan selalu ada. Tapi apakah ketakutan itu juga harus selalu hadir di saat seperti ini? Selaku tuan rumah yang sudah membiarkan pintunya terbuka Ia juga enggan melepas ketika semesta sengaja mengusik. Karena yang datang akan pergi. Dan hal itu tak mau terjadi lagi. Sedang mendayung ke dalam, rupanya kapal yang ia tumpangi terbawa arus tanpa terduga. Bolehkah ia serakah untuk memiliki tanpa terikat oleh sebuah takdir? Jawabannya, ada pada bab-bab yang kita ciptakan selalu bertentangan dengan takdir yang tak terduga. Bukankah begitu? Maka ia selalu berharap akan baik-baik saja. Kembali lagi, di ujung sana. Langit menatap dua insan yang saling memeluk. Langit dapat merasakan jika Bintang mencintai Starla. Namun, kenapa ia begitu marah saat Starla justru berlari ke arah sana? Itu artinya, apakah Starla membencinya? Senyuman dan sapaan yang terlihat baik-baik saja untuknya itu apakah palsu? Banyak pertanyaan yang mengelabui isi pikiran Langit. Hatinya remuk melihat kedekatan Bintang dengan gadis itu. Mengepal tangan kanannya, Langit memejamkan matanya. Berusaha mengenyahkan perasaan itu. Drrrttt ... Drrrttt! Getaran ponsel di saku celananya menghentikan apa yang Langit lakukan. Cowok itu melihat nama si penelpon. Membuang napas kasar lalu mengangkatnya. "Halo?" "Kamu di mana, By?" "Di jalan." Langit melihat ke arah Bintang dan Starla. Masih sama, saling memeluk. Langit berbalik, berjalan ke arah motornya. Perlahan duduk di atas sana. "Halo By?" "By?" "Langit lo di mana sih? Lo denger suara gue nggak sih?" Suara di seberang sana, Langit mendengar tapi cowok itu seolah raganya di situ tapi pikirannya masih untuk Starla. Menghela napas, Langit menjawab sungkan. "Gue di jalan lagi nyetir." Kemudian mematikan telfonnya, menaruhnya di saku celana lagi. Cowok itu menghidupkan motor sport hitamnya. Melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. "Ya gue emang suka sama Levita. Terus lo mau apa? Tampar gue? Salahin gue?" Gadis dengan dress hitam di bawah lutut tersenyum menanggapi lawan bicaranya. "Nggak kok. Perasaan kamu itu nggak salah. Yang salah adalah cara kamu menghadapi aku. Bagaimana kamu bisa membiarkan aku bertahan seolah kamu mencintai aku." "Karena lo rapuh." "Rapuh?" "Ya. Lo rapuh." "Kalau dari awal kamu bilang, aku nggak bakal sebego ini mencintai kamu sendirian, Lang." Langit yang melihat bibir Starla bergetar namun gadis itu masih tetep menyunggingkan senyumnya, merasa kasihan. Namun, Levita mencegahnya saat cowok itu berjalan ingin memeluk Starla. "Tapi maaf, kenapa seolah aku yang jahat di sini?" Starla tegas. Mau meluruskan sesuatu. "Salah? Maksud lo?" Saat Langit kebingungan apa yang dimaksud Starla, Levita kembali menarik lengan cowok itu. "Udahlah, Lang. Cewek drama kaya dia ngapain lo ladenin sih." Levita menatap Starla jijik dan muak. Langit kembali terhipnotis dengan kecantikan dan keseksian Levita saat wajahnya teralihkan untuk menatap gadis itu. Cowok itu mengangguk lalu tersenyum hangat. "Udahlah daripada lo sakit lebih lama, kita akhiri aja." Kembali menatap Starla tanpa rasa bersalah. Starla mengangguk. "Baik, selamat ya kalian. Aku pamit dulu, makasih untuk undangannya Vita. Semoga di usia kamu kali ini bahagia terus ya. Jangan karena cowok ini persahabatan kita pecah." Dengan enteng, ikhlas dan tanpa mau berdebat Starla ingin mengakhiri semua ini sekarang juga. Levita hanya tersenyum angkuh. Memutar bola matanya malas. "Drama apa lagi ini duh." Tanpa menjawab perkataan Levita, Starla berjalan menjauhi mereka berdua. Tidak peduli dengan Langit dan sahabatnya itu mau mengomentari apa tentang dirinya lagi. Mau menyebar gosip seperti apa lagi pun dia tak peduli. Dia tidak ingin terlibat jauh dengan mereka. Tidak peduli lagi dengan apa yang mereka katakan dan mereka lakukan. Tuhan menciptakan rasa sakit untuk mengetahui bahwa apa yang membuatnya bahagia adalah sakit yang tertunda. Pergi dan jangan menengok ke belakang adalah pilihan yang tepat. Terus berjalan sampai jauh dari jangkauan pesta. Untung saja tamu ada di dalam, mereka ada di luar jadi tidak ada keributan yang memperbesar masalah. Starla berjalan cepat dengan sepatu tingginya. Memperlambat langkahnya ketika sampai di bawah pohon dengan lampu remang sorotan dari jalanan. Cewek itu luruh, terduduk memegang kepalanya. Beralih memegang relung hatinya yang nyeri. Menangis dalam diam tanpa suara. Menikmati luka yang diberikan Langit dan Levita. Starla hancur, kehilangan sosok yang dia percaya akan menjaganya dan menjadi tempat yang selalu ada. "Star, jangan samain gue sama Ayah lo." "Seorang pacar nanti bakal jadi orang yang selalu ada. Karena gue bener-bener cinta sama lo." Beberapa kalimat yang Langit lontarkan saat cowok itu mendekatinya, saat hatinya masih ragu. Namun, kesekian kali perhatian dan kepedulian Langit mampu meluluhkan hatinya. Namun, ternyata di balik semua itu ada wanita lain yang Langit bahagiakan juga? Kenapa Starla tidak menyadarinya, saat mereka saling menatap dengan sorot mata lebih dari seorang teman. Sejak kapan mereka jadian? Sejak kapan mereka saling suka? Starla bahkan tidak tahu sama sekali tentang itu semua. Mereka bersandiwara dengan apik. Bersembunyi di balik topeng lingkaran teman yang mendukung satu pasangan ternyata justru di balik semua itu ada kehancuran yang sengaja ditutupi demi kebahagiaan lain yang tercipta. Jika memang Langit bosan dengannya dan dia memilih pindah ke lain hati, Starla akan menerima jika dari awal cowok itu tidak menutupinya. Sesakit ini rasanya dibohongi, sesakit ini rasanya kehilangan seorang sahabat yang mungkin membencinya. Starla benar-benar bukan orang yang baik untuk siapa pun, bahkan ayahnya saja membencinya. "Argghhhh." "Sial, gue ngelepas barang antik demi berlian." "Bodoh. Bodoh!" Memukul-mukul setir. Hampir saja motornya ambruk jika Langit tidak langsung sigap mengerem. Berhenti, membuka helm. Langit menjambak rambutnya frustasi. Ia baru sadar, sangat menyesal sekali. Ingin rasanya menggapai Starla kembali, ingin rasanya mengulang hari itu. Seharusnya Langit mengikuti hatinya bukan nafsu semata. Sudah hampir 2 tahun ternyata cinta yang ia khianati adalah cinta yang dia cari. Lantas apa yang sebenarnya ia mau dari hubungannya dengan Levita? Langit, bisakah kau tidak sebodoh ini? Membiarkan seseorang yang tulus digenggam oleh orang lain. Dan sekarang kamu nyesel, kan? Pikiran Langit sangat berkecamuk. "Star, lo tetep milik gue." Tertawa ringan tanpa beban, seolah perasaan Starla adalah mainan. Seolah rasa sakit Starla itu hanya rasa sakit biasa. Yang bisa dia lukai semakin dalam kemudian membiarkannya kering dan kembali lagi menancapkan duri di sana. *** Genggaman tangan mampu menghangatkan suasana hati Starla. Jari-jari mereka saling bertautan namun hati mereka masih enggan untuk saling terikat. "Laper?" Bintang menghentikan langkah mereka. Melepas genggamannya dari Starla, membenarkan hoodie biru muda gadis itu. Masih dengan seragam sekolahnya, Starla belum kembali setelah dari rumah keluarga barunya. Bintang menggeleng miris, mencebik kecil. "Lo liat, kurus banget lo. Mau makan di kafe—" "Di pinggir jalan alun-alun boleh?" Starla menyengir, memasang wajah polos gemes andalannya membuat Bintang hampir mleyot waktu itu juga. Jika begini lama-lama dia akan mengalami gangguan kesehatan jantung. Starla dilihat-lihat pendek, imut, natural dan teduh. Meski nggak seksi dan kalah cantik dari cewek pada umumnya yang suka caper, tapi wajahnya tidak membosankan bagi Bintang. Limited edition. "Mau ganti dulu?" Bintang menawarkan. Sedangkan si lawan bicara mengangguk. Masih sore, sudah dekat dengan rumah. Tinggal jalan ke belokan sampai rumah Starla. Masih ada waktu untuk mencuci muka dan ganti pakaian. Besok juga hari Minggu. Libur sekolah, bisa disebut kencan malam Minggu juga nggak, sih? aduh! "Yaudah yuk!" Mereka meneruskan perjalanan ke rumah Starla. Masih jalan kaki, berjalan beriringan. Fokus pada pikiran masing-masing. Senyum-senyum sendiri sambil jalan, Starla buru-buru masuk ke rumah ketika memasuki gerbang. Sedangkan Bintang menunggu di luar. Bintang mengembangkan senyum manisnya. Kalau Starla lihat pasti gadis itu akan meleleh dibuatnya. Author aja yang bayangin visual Bintang salting sendiri haha. Visual mereka itu ya, seperti di cover. Tinggi dan pendek perpaduan yang cocok untuk keduanya di usia remaja yang sedang mencari jati diri. Keduanya memang gesrek dan random. Normal seperti manusia biasa pada umumnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN