Trauma

1731 Kata
Mulai kehabisan napas dan pasrah. Ayah menarik Starla mendekati balkon. Lalu, dengan hitungan detik tanpa memikirkan siapa yang akan ia hancurkan hidupnya itu mendorong kuat sang putri hingga terlepas dari cengkeramannya. Starla terhempas dari lantai dua, melayang dengan mata yang tertutup. Setetes bulir air mata menetes jatuh ke bumi bersama dirinya yang akan jatuh menghempas tanah. "Selamat tinggal Bunda, selamat tinggal Bintang." "Aaaaaarghhhhhh!" Starla terbangun dari alam mimpinya. Menatap sekitar yang riuh. Di sampingnya Levita tengah bermain ponsel. Sedangkan yang lain asik pada aktivitas masing-masing. Starla menepuk-nepuk wajahnya. Mengingat kejadian yang bukan seperti mimpi itu amat terasa di hatinya. Begitu nyata dan sangat menyakitkan. Starla bangkit, membuat atensi Levita tertarik padanya. Cewek yang duduk di sebelahnya itu menutup ponselnya. "Starla, mau ke mana?" Suara itu menginterupsi. Membuat Starla berhenti. Beberapa temannya yang mendengar sekilas memperhatikannya. "Mau ke toilet." Starla tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya. *** Atap sekolah yang sepi menjadi pelampiasan gadis itu sekarang. Udara yang berhembus tenang mampu menyegarkan otaknya. Starla menghela napasnya. Menatap awan biru yang cukup terik. Jas yang ia kenakan dibuka sedikit kancingnya. Duduk dengan kaki menggantung bebas, Starla menikmati panas sekaligus sejuk secara bersamaan. Diam-diam ada yang tertidur di balik tumpukan bangku dan meja yang disusun secara acak. Seseorang itu hanyut pada punggung Starla. Alunan musik kesukaannya menghipnotis keadaan. Seolah sedang dikabulkan semesta, tiba-tiba langit mendung. Starla buru-buru turun, ia hampir saja terjatuh. Kaki kecilnya berlari menuju pintu. Berjalan cepat menuruni tangga dan berakhir ia duduk di tangga tersebut. Mendadak ia ingin bolos pelajaran saja. Suasana hatinya sedang memburuk, mimpi tadi masih terngiang di kepala. Masih membekas terasa nyata. Mengambil sesuatu yang diberikan Bintang pada hari pertama mereka bertemu, Starla menggunakannya untuk menenangkan riuhnya otak dan hati. Mengalun indah lagu melankolis membuatnya memejamkan mata. Dari tangga bagian atas, seseorang tadi berdiri. Memperhatikan Starla dalam diam, cukup menampilkan senyumnya sekilas melihat tubuh mungil Starla yang sedikit bergoyang-goyang dengan kedua telinga yang tersumpal earphone milik Bintang. Saat orang itu ingin melangkah ke arah Starla, satu langkahnya terhenti tanpa sebab. Ia mengurungkan niatnya kembali, kemudian menggeleng. Masih memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana, orang itu berbalik naik ke atas lagi. Menghilang dari balik pintu meninggalkan Starla sendirian. "Tahan dulu, belum waktunya." *** "Starla!" Bintang berjalan cepat menghampiri Starla, gadis itu tampak tersenyum. Seharian ini Bintang tidak melihat batang hidup temannya itu. Mencari ke sana ke mari pun tidak bisa ditemukan. Ya, memang kan Starla sedari siang bersembunyi di atap sekolah. Sengaja bolos hari ini karena suasana hatinya sedang kacau. "Lo ke mana aja?" Bintang berjalan di samping Starla yang mulai melangkahkan kakinya. Gadis itu hanya diam, tidak berminat membahas apa yang sudah terjadi. Rasanya ada perasaan sesal saat Starla pernah bercerita panjang lebar mengenai kerumitan dalam hidupnya walaupun nggak semua. Entah kenapa Starla mulai merasa jika Bintang akan pergi sama seperti yang lainnya, dan akan melukai hatinya. Mengenyahkan pikiran itu, Starla akhirnya mengeluarkan kalimatnya. "Tang, maaf gue buru-buru ada urusan." Cewek itu berlari tanpa menunggu jawaban Bintang. Meninggalkan Bintang sendirian yang mengkhawatirkan keadaan gadis itu. Berniat menyusul, tapi Starla berlari semakin cepat dan berbelok membuat tubuh mungil gadis itu menghilang. "Ada apa dengan dia?" "Bintang!" Sedang merenungi Starla, suara tak asing milik seseorang menginterupsinya. Bintang memutar bola matanya malas. "Why?" Hanya kalimat itu yang meluncur darinya saat wanita bernama Levita berdiri di sampingnya. "Langit ada di rumah?" "Mana gue tau." Bintang acuh, memilih memakai earphone putih cadangannya. Menikmati alunan musik yang menenangkan dibanding suara Levita yang membuatnya muak. Entah kenapa Bintang nggak suka sama senyuman Levita ataupun suara milik cewek itu. Ia akan menghindar dan tak berniat ngobrol banyak. "Bintang!" Levita menarik salah satu earphone Bintang, membuat si pemilik menatap tajam wanita itu. "Maaf." Takut ditatap seperti itu oleh Bintang, yang keluar hanya kata maaf dari mulut Levita. Bus datang menyelamatkan Bintang yang terjebak berada di samping Levita. Cowok itu buru-buru memakai kembali earphone-nya, lalu masuk ke dalam bus. Tak disangka Levita mengikutinya sampai ikut duduk di bangku sebelahnya. Mengabaikan Levita, Bintang membiarkan dirinya memejamkan mata. Menghadap keluar jendela, tanpa menghiraukan keberadaan Levita yang terus-menerus ingin ditanggapi. "Tang." "Bintang." "Bintang Gentala." Menoel-noel lengan Bintang berulang kali. "Sialan!" umpat Levita kesal sama sekali tidak ada respon dari Bintang. Cewek itu membuang muka, bersedikap marah. Ia pikir ini pasti karena ulah Starla. Sejak kenal dengan Starla, Bintang jadi jauh berbeda. "Kenal lewat sosmed aja belagu. Liat aja nanti lo bakal dighosting Starla." Dalam hati Levita menyumpahi Starla. Tersenyum miring membayangkan bayaran apa yang akan diterima teman sebangkunya nanti. Terkadang orang terdekat berpotensi menyakiti kita. Tempat yang tepat untuk melepas suasana hati yang memburuk memang di sini. Rumah Penuh Cinta yang dibangun oleh Bapak berkostum badut kemarin malam yang ia temui bersama Bintang di jalan. Starla membantu Bapak Rahman untuk menyiapkan makanan yang dibutuhkan anak-anak, yang katanya ditelantarkan. T Yang tidak diharapkan hadir oleh orang tua mereka. Anak yang tidak bersalah harus dibenci tanpa sebab. Ternyata di dunia ini kebahagiaan itu datang dari hal sederhana, dapat membuat orang lain bahagia dan mendukung mereka untuk tetap tumbuh. Melakukan hal-hal positif dan tetap menikmati luka bahagia maka bekasnya akan hilang dengan sendiri. Meski tidak semuanya. Dengan cara ini Starla bisa melepas luka itu sejenak meski jika kembali ke rumah yang seharusnya menjadi tempat nyaman, dia akan merasa hampa kembali. Terjebak dalam labirin sesak dengan nama rumah keluarga yang sejujurnya hanya sebutan saja. "Neng, pacar Neng nggak ikut?" Ditanya begini, Starla hanya tersipu sendiri. Pasalnya dia dari kemarin sedang menghindari Bintang. Cowok yang baru dia temui dan merangkap sebagai orang yang peduli. Starla tidak mau menyusahkan Bintang. Tidak mau membuat Bintang harus terus peduli padanya. Karena Bintang punya kehidupan sendiri. Cowok itu berhak menikmati hidupnya tanpa harus masuk dalam kisah hidupnya yang berwarna abu-abu. Starla tidak mau membuat hidup Bintang menjadi kacau. "Starla." Seseorang datang dan ikut duduk di depan gadis itu. Dia tersenyum singkat. "Hai." Meski tidak kenal dekat dengan orang itu, tapi Starla mengenali wajah si lawan bicaranya saat ini. Dia adalah Laura, teman kelasnya sendiri. "Maaf nih gue ganggu lo nggak?" "Oh nggak kok." Starla menjawab dengan sopan. "Begini Starla ...." Menjeda sebentar. Badannya dimajukan lebih dekat dengan meja yang ada di depannya. Starla mengerutkan keningnya. Agak bingung. "Lo gebetan Bintang? Atau pacarnya?" Tidak basa-basi Laura menuju pada inti alasan dia menemui Starla. Awalnya Starla terkejut sekaligus bingung, dia dan Bintang sudah kenal lama namun hanya di virtual dan baru beberapa waktu ini mereka bertemu secara nyata. Lalu apa hubungan mereka? Teman baikkah atau teman virtual jadi nyata? "Eh bukan dua-duanya. Gue sama Bintang cuma temen biasa aja. Ya biasa kaya gue sama lo." Menjelaskan apa adanya dan memang begitu kan hubungan Starla dengan Bintang, jadi nggak ada yang salah dong. "Oh gitu ya. Bagus deh!" Ada kelegaan di wajah Laura. Gadis itu tersenyum kemudian kembali bersuara. "Ngomong-ngomong Bintang kayaknya peduli banget sama lo. Gue liat dia selalu ada buat lo. Hati-hati Star, cowok jaman sekarang itu manis di awal doang." Entah mengompori atau memang kenyataan, Starla mulai merasa tidak enak hati. Apakah benar yang dibilang Laura? Bintang yang dilihat oleh Starla, cowok itu tidak ada maksud apa-apa. Bahkan mereka ngalir aja bertemannya, cuma memang akhir-akhir ini Starla sedang merasakan ketakutan. Takut jika perasaannya semakin dalam. Dan dia juga menyesal terlalu terbuka pada Bintang. Sedangkan selama ini Bintang tidak pernah bercerita panjang lebar tentang dirinya, cowok itu hanya membahas hal-hal lucu tidak ada sama sekali kesedihan di hidupnya. Starla takut, ketika ia benar-benar ada di titik nadir kehadiran Bintang tidak lagi dia dapatkan seperti saat ini. Jadi, apakah Starla harus mulai terbiasa tanpa Bintang dari sekarang? Dia sudah membebani Bintang terlalu jauh. Lagian, tidak semua orang peduli mungkin Bintang hanya kasihan. "Neng?" Panggilan Pak Rahman membuyarkan imajinasi Starla. Mengingat pembicaraannya tadi saat di Kantin dengan Laura membuatnya semakin overthingking. "Ah iya Pak." Sadar sudah melamun, Starla kembali melakukan aktivitasnya. Mengenyahkan ketakutan dalam hatinya yang cukup riuh. Mangkanya Dia memilih menepi ke atap, mengasingkan diri. Dari mimpi buruknya yang kerap sekali muncul. Starla tidak mau Bintang melihat raut wajah takut Starla. Raut wajah yang menyatakan sorot kepura-puraan. Bukankah menyimpan luka lebih baik daripada harus membiarkan orang lain ikut campur? Sebelum Bintang datang, hari-hari Starla terasa sunyi. Kini kehadiran Bintang memberikan secercah warna baru. Warna yang entah akan merubah aslinya atau justru akan semakin memudarkan warna lainnya? Starla terlalu takut, jika ia benar-benar bergantung pada Bintang maka gadis itu semakin egois untuk memilikinya. Kenapa rasa nyaman hadir begitu cepat, kenapa? *** Berjalan sendirian sambil dengerin earphone milik Bintang yang belum dikembalikan, Starla hanyut dengan lagu-lagu sendu nan merdu. Rasanya kaki kecil ini tidak ingin cepat sampai. Starla ingin berada di luar rumah lebih lama. Menghabiskan waktu bersama adik-adik barunya. Sosok Pak Rahman mampu membuat hati Starla terenyuh. Bahkan kepada Starla sendiri yang baru dikenali beliau kemarin lusa itu, mereka sudah tampak akrab seperti anak dan Bapak. "Nak, kamu masih punya keluarga. Sayangi mereka, jangan pernah benci pada mereka apa pun yang terjadi. Karena sejauh apa pun kamu pergi, tempat kamu kembali hanya orang tuamu." Pak Rahman tersenyum hangat, membuat sorot mata teduh yang menyimpan semburat rindu akan sosok Ayah itu ingin sekali meluapkan semuanya detik itu juga. Menahan sesak yang selama ini dipendam, Starla menghembuskan napas sejenak, tersenyum hangat guna meminimalisir bapernya. Pura-pura tertawa kecil guna menertawakan dirinya sendiri. "Pak, seneng deh ketemu kalian. Starla punya rumah baru, adik baru dan Bapak baru!" Tidak ada kepura-puraan, tidak ada kesedihan dan getir ragu saat mengucap kalimat itu. Starla benar-benar merasakan suasana keluarga yang sesungguhnya. Anak-anak yang di sana berhenti mengunyah makanan mereka, mendekati Starla lalu memeluk Starla satu persatu. "Kakak, jangan pernah pergi ya. Terus ke sini Kak. Kami senang ada Kakak!" Salah satu dari mereka menyeletuk, mengutarakan apa yang teman-temannya rasakan. Berharap Starla selalu menjadi bagian dari mereka. Starla mengangguk, mengelus lembut rambut anak itu dan yang lainnya. Memeluk mereka semua dengan penuh kasih sayang. Ada rasa hangat yang menjalar di hatinya, ada rasa sakit yang mendadak sirna sebentar. Hanya sebentar tapi cukup membuat lembaran usang tertoreh tinta warna lain selain hitam dan abstrak. Apakah ini yang dinamakan tak perlu bersusah payah mencari kebahagiaan? Benar-benar baik-baik saja dan bahagia. "Starla." Suara yang familiar mengusik telinganya. Earphone yang dia pakai dilepas oleh sang lawan bicaranya saat ini. Menatap mata si empu, Starla terhanyut. Begitu juga dengan pemilik suara tadi, lelaki itu berdiri tegak. Menatap manik mata Starla, ingin rasanya memeluk gadis itu. Ingin sekali mengungkapkan betapa rindunya dia. Ingin rasanya menggenggam tangan gadis itu. "Maaf." Dan nyatanya hanya kalimat ini yang mampu keluar dari mulutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN