Di ruang VIP itu Damian duduk sambil mengamati Aileen. Namun, perempuan itu tidak berniat membalas tatapannya, dan tidak ingin duduk lama-lama dengannya.
“Untuk apa lagi kamu ke sini? Bukannya aku sudah membantumu kemarin?” Aileen bertanya tanpa mengalihkan pandangannya.
“Tentu saja membicarakan pernikahan kita,” jawab Damian; santai. Namun, perempuan di depannya itu beranjak panik. Ia dapat melihat bagaimana Aileen Grizelle berusaha menenangkan diri dari kepanikan yang melandanya saat ini. Damian mengembangkan senyum kecil ketika memalingkan wajahnya.
“Pernikahan?” Aileen Grizelle berdiri dari duduknya. “Aku tidak pernah setuju, Damian. Jadi cari saja orang lain untuk menjalankan rencanamu. Aku tidak mau masuk dalam urusan keluargamu. Menyebalkan!” Aileen beranjak dari ruangan tersebut meninggalkan Damian yang masih duduk.
Damian tidak mencegah Aileen. Hanya menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu. Mendesah kecil sebelum ia bangkit lalu meninggalkan ruangan itu. Damian memutuskan untuk pulang ke rumahnya dan memberikan waktu untuk Aileen. Agar perempuan itu bisa menerimanya, tanpa harus memaksa.
***
Damian keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah, ia keringkan menggunakan handuk berwarna putih. Pria tampak segar dan tampan meski butiran-butiran air masih menempel di badannya.
Terdengar dering suara ponsel dari atas tempat tidur, Damian tidak terburu-buru mengambil ponselnya. Apa lagi setelah melihat si penelepon yang tidak lain adalah Sabrina. Damian menjadi tidak berniat untuk mengangkat telepon itu. Jika Sabrina menelepon pasti mengenai perjodohan dan perjodohan. Tidak ada hal lain yang Sabrina bicarakan.
Tidak cukup menelepon sekali, Sabrina terus menghubungi Damian. Sampai-sampai Damian merasa kesal lalu mengangkat panggilan tersebut.
“Kamu sengaja tidak mengangkat telepon Ibu?” sembur Sabrina.
Damian tidak menjawab, malah menjauhkan ponselnya dan membiarkan Sabrina mengomel sendiri.
“Baik. Tidak usah jawab. Besok Ibu sudah mengatur pertemuan untukmu. Dia lebih baik daripada Aileen. Damian, meskipun Ayahmu menyetujuinya, tapi Ibu tidak akan pernah setuju kalau Aileen menjadi menantu Ibu.” Sabrina membentak. Suaranya begitu keras, sehingga Damian bisa mendengar dengan jelas meski ponselnya dijauhkan.
Damian menutup wajah dengan satu tangan. Ibunya tidak pernah lelah mengatur perjodohan untuknya, dan tidak pernah lelah membentaknya. Apakah Sabrina benar-benar ibu kandungnya ataukah majikannya? Damian tidak pernah merasa dianggap sebagai putra oleh wanita itu. Ia merasa dirinya hanya alat sebagai mencapai tujuan bagi Sabrina.
“Bu, bagimu apakah aku hanya alat mencapai tujuanmu?” pelan-pelan Damian bertanya agar tidak bertambah emosi.
“...” Sabrina sedikit tercengang mendengar pertanyaan putranya. Selama ini, ia selalu mengatur Damian. Tidak membiarkan Damian melakukan apa pun yang disukai. Damian harus mematuhi semua keputusan dan perkataan Sabrina. “Seorang putra harus membuat orang tuanya bahagia, kan, Damian? Jadi turuti perkataan Ibu dan datang ke perjodohan itu besok.”
“Putra? Apa Ibu pernah menganggap aku sebagai putra Ibu? Ibu hanya peduli dengan posisi Ibu. Dan aku... aku hanya alat sebagai penopang posisi itu.” Damian membentak lalu mematikan panggilan. Ia sudah tidak tahan berbicara dengan Sabrina. Lelah menggerogoti hatinya ketika Sabrina hanya tahu cara mengaturnya.
“Aku akan memiliki kebebasanku. Dia tidak akan bisa mengaturku.”
***
Malam sudah larut waktu untuk menutup Bar sudah tiba. Aileen Grizelle merapikan tasnya lalu beranjak keluar.
“Erick, aku pulang duluan,” ujar Aileen pada manajer Bar—Erick—yang tidak lain adalah temannya.
“Hati-hati di jalan, Bos.” Setelah Aileen berlalu, Erick baru ingat kalau ia memiliki sesuatu untuk ditanyakan. “Direktur tunggu!” bergegas mengejar Aileen tidak jauh.
“Ada apa?”
Erick menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tampak ragu untuk bertanya pada Aileen. Namun, setelah menarik napasnya, ia memberanikan diri untuk bertanya. “Bos benar akan menikah mantan pacar?”
“Uhuk! Uhuk!” Aileen terbatuk karena pertanyaan Erick. Sorot mata menghunus pun dilayangkan pada Erick.
“Bos, kalau tidak mau menjawab sekarang juga tidak apa-apa. Yang tahu hanya saya dan Salma. Dan dua petugas keamanan akan saya bungkam.” Erick menaikkan salah satu alisnya.
Aileen mendesah. Tidak tahu harus berkata jujur atau tidak. Akan tetapi, Damian sudah sangat jelas mengatakannya. Apa lagi pria itu juga mengulangi kalimatnya. Tidak ada alasan bagi Aileen untuk berbohong. Namun, ia punya hak untuk tidak menjawab.
“Lain kali saja. Aku sedang tidak ada mood. Aku pulang dulu. Oh, ya, Erick jagalah keamanan para host kita. Jangan biarkan mereka dilecehkan hanya karena status mereka sebagai host Bar.”
Erick mengembangkan senyum. Menganggukkan kepala, guna memastikan bahwa ia siap melaksanakan perintah Aileen. “Siap, Bu Direktur.”
Aileen melangkahkan kaki keluar dari Bar. Lantas menuju tempat parkir. Sebelum masuk ke dalam mobilnya, ia melihat seorang pria keluar dari sebuah mobil Range Rover berwarna biru. Aileen sangat mengenal sang pemilik mobil; Damian Cakra Kaelan. Baru beberapa jam lalu pria itu meninggalkan Bar, tapi sekarang sudah ada di sini lagi.
“Leenleen,” panggilnya.
Tangan Aileen gemetar. Tidak sanggup membuka pintu mobilnya. Panggilan itu merupakan panggilan kesayangan dari Damian untuk Aileen. Hanya Damian seorang yang memanggilnya dengan sebutan ‘Leenleen’.
Mata Aileen Grizelle mulai berkaca-kaca. Berusaha membuka pintu mobilnya, tapi ia lupa kalau kunci pintu tersebut belum ia buka. Berkali-kali pun ia menarik, tetap tidak akan bisa terbuka.
Damian meraih tangan Aileen lalu menariknya. Membawa Aileen ke dalam mobilnya.
“Mau bawa aku ke mana lagi?” tanya Aileen dengan mata masih berkaca-kaca.
“Mau antar kamu pulang,” jawabnya sembari menyalakan mesin mobil.
“Kamu tidak perlu mengantarku. Aku membawa mobil dan bisa pulang sendiri.” Omel Aileen seraya memelototi Damian.
Ia tidak ingin bertemu Damian karena setiap kali bertemu dengan pria itu, maka kenangan mereka akan terlintas dalam benaknya. Wajah Damian yang penuh kasih sayang akan membayangi Aileen, sehingga kenangan pahit pun akan muncul silih berganti. Semua itu disebabkan oleh Sabrina. Sampai sekarang Aileen masih berusaha untuk melupakannya.
“Leen, aku juga sedang berusaha.” Celetuk Damian tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
Aileen Grizelle tidak berniat untuk menanyakan maksud Damian. Sekilas ia menoleh pada Damian, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Dengan melihat wajah sendu pria itu—akan membuat hatinya dalam dilema.
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di apartemen Aileen. Dalam hatinya, Aileen memaki—lantaran gara-gara pria itu—ia harus naik taksi lagi besok. Ia bisa saja bekerja dengan membawa mobilnya. Akan tetapi, mobilnya tertinggal di Bar.
“Aku antar kamu ke atas.”
“Tidak usah, Damian. Kamu pulang saja.”
“Aku mau cokelat panas, Leen.”
“Berhenti memanggilku seperti itu. Kita sudah lama putus.”
Damian terdiam mendengar kata putus itu keluar dari bibir Aileen. Haruskah Aileen mengatakannya begitu lugas kalau mereka tidak ada hubungan apa-apa lagi?