“Kak, aku kembalikan mobilmu.” Arsel melemparkan kunci mobil kepada Aileen.
Dengan kaget Aileen menangkap kunci mobil tersebut. Ia mendelik kepada adiknya itu. Kalau bukan karena Arsel, ia pasti bisa lolos dari Damian.
“Gara-gara kamu,” kata Aileen menyalahkan adik satu-satunya itu.
Arsel dengan heran menatap kakaknya yang sedang dilanda kekesalan itu. “Gara-gara aku? Aku baru datang, tapi Kakak sudah menyalahkan aku.” Pria muda itu berdecak kesal.
“Iya. Semuanya gara-gara kamu. Kalau kamu tidak membawa lari mobilku, aku pasti bisa lepas dari tangan pria itu.”
“Hah? Ada pria yang apa-apain Kakak? Tapi, kok, masih hidup?”
Dengan kesal Aileen menjitak kepala adiknya. “Jadi kalau Kakak diapa-apain, kamu berharap agar Kakak mati, ah?”
Arsel menggelengkan kepala dengan intens. Tersenyum canggung lalu berkata, “Bukan begitu Kak. Tapi aku baru datang dan Kakak sudah menyalahkan aku. Katakan dengan spesifik Kak agar aku bisa mengerti.”
“Aku baru ingat kalau IQ-mu sangat rendah,” ejeknya.
“Kak, aku mulai tidak yakin apakah Kakak memang Kakakku.” Arsel menggelengkan kepala tidak percaya. “Aku pergi. Mau makan malam bersama teman.”
“Ya sudah sana!” usirnya. Lantas Aileen masuk ke dalam bar, tidak menghiraukan Arsel.
Semua karyawan menyapa Aileen setelah ia muncul di depan pintu. Aileen memberikan anggukan kepada mereka semua. Tatapannya melayang jauh ke depan. Sesaat kemudian, ia mengembangkan senyum dan mulai berjalan. Pagar betis di samping kiri dan kanannya senantiasa menunduk. Aileen berhenti di depan salah satu karyawan laki-laki. Lantas membenarkan letak dasi pria itu.
Kembali berjalan, ia berkata pada seorang karyawan perempuan. “Lipstik kamu terlalu tebal. Coba pakai warna yang lebih soft.”
“Baik, Bu Direktur.”
“Siap-siap buka bar,” kata Aileen. Lantas ia menuju ke ruangannya.
Sesampainya di ruangannya, Aileen langsung duduk di belakang meja. Di atas mejanya sudah ada berkas, diambilnya berkas itu yang berisi data-data mengenai pembelian red wine. Namun, Aileen melemparkan berkas itu dengan kasar dan hanya melihat sekilas saja.
“Huh! Membaca sangat membosankan.”
Keseharian Aileen di dalam kantornya, kalau tidak duduk pasti makan ayam goreng, dan sesekali ia menemui tamu VIP sekadar untuk berbincang. Ia adalah orang yang paling berkuasa di Bar Penuh Cinta. Mengingat nama yang ia berikan pada Barnya, Aileen ingin tertawa. Sungguh nama itu hanya asal-asalan saja. Ia sendiri kurang mengerti mengapa memakai nama mainstream seperti itu. Namun, berkat namanya yang ambigu, banyak tamu kelas atas yang datang ke Barnya. Sebagian besar adalah pengusaha dan artis.
***
Seorang host di kamar VIP tidak bisa menghadapi tamu di kamar tersebut. Tamu itu sangat rewel dan pemilih, sehingga manajer pun dipanggil karena ulahnya.
“Tuan, mohon tenang. Anda bisa katakan dengan tenang. Tidak perlu marah-marah,” ujar manajer dengan tenang.
Namun, pria itu tetap tidak mau mendengarkan dan memecahkan botol wine. “Host kalian sudah membuatku kesal. Aku menyuruhnya membawakan Surah rasa plum, tapi dia membawakan rasa tobacco. Kalian semua tidak profesional.” Bentaknya.
Erick—manajer Bar Penuh Cinta, menoleh pada host tersebut. Tatapan matanya mempertanyakan kebenaran dari ucapan pria itu.
Salma menggelengkan kepalanya. Lantas berbisik pada Erick karena tidak berani berbicara terlalu keras, “Dia bohong, Pak. Dia minta saya bawakan rasa tobacco. Sebenarnya bukan karena itu.”
“Lalu karena apa?”
“Apa yang sedang kalian bisikan?” tatapan tajamnya mengarah pada Salma. “Kamu sedang memfitnahku?”
Segera Salma menggelengkan kepala. Merasa takut, lalu ia berlindung di belakang Erick. “Dia mau berbuat tidak senonoh pada saya.”
“Salam, seharusnya kamu katakan dari tadi.” Kemudian Erick memanggil petugas keamanan melalui alat komunikasi yang ia pakai.
Segera dua petugas keamanan masuk ke kamar tersebut. Mereka tidak peduli dengan status tamu tersebut, jika mereka sudah diperintahkan untuk mengeluarkan tamu tersebut, maka mereka akan melakukannya dengan segera—karena begitulah mereka diperintahkan oleh Aileen Grizelle—sang pemilik Bar.
“Jangan sentuh aku!” teriak pria yang sekiranya berusia 40 tahun itu. Sorot matanya memperlihatkan kemarahan. “Kalian berani memperlakukan aku seperti ini? Rupanya belum tahu siapa aku.”
Erick tersenyum dangkal. “Siapa pun Anda, kami tidak akan memaklumi perbuatan Anda pada karyawan kami. Bawa dia keluar dan masukkan dalam black list.”
“Apa? Black list? Berani sekali kamu. Hanya seorang manajer kecil, tapi sudah berani kurang ajar lada Direktur perusahaan besar—”
“Direktur Haryono,” sebut sebuah suara perempuan dari balik pintu.
Semua orang menoleh ke arah pintu. Mendapati Aileen Grizelle berdiri di sana. Ekspresi tenang dan sedikit angkuh terlukis di wajahnya. Sebuah senyum seringai juga mengembangkan di bibirnya. Perempuan itu terlihat cantik dengan pesona yang ia miliki.
“Direktur, maaf sudah membuat Anda kemari.”
“Aku sedikit merasa bosan. Mendengar keributan di kamar VIP membuat darahku terasa dipanaskan. Jadi aku putuskan untuk mendinginkan darahku sebentar.”
Tidak kuasa semua orang menahan tawa kecuali Direktur Haryono yang terlihat bingung dengan kedatangan Aileen Grizelle dan ucapannya itu.
“Erick, kamu berani sekali memperlakukan Direktur perusahaan besar dengan tidak sopan—”
“Hmph! Bahkan Bosmu tahu di mana tempatnya. Harusnya kalian bisa lebih sopan terhadapku. Asalkan kamu mau minta maaf, aku akan melupakan kejadian ini,” dia berkata angkuh.
Sekali lagi, semua orang mencoba menahan tawa. Entah berapa IQ yang dimiliki pria itu, sehingga tidak mengerti ucapan Aileen yang adalah sebaliknya.
“Oh, mau aku minta maaf? Oh, ya. Aku paling tidak suka jika ada yang memotong ucapanku.” Sorot mata Aileen berubah seram.
“Apa pun yang tidak disukai calon istriku adalah hal yang tidak aku sukai.” Damian Cakra Kaelan datang seperti seorang pahlawan kesiangan. Pria itu membawakan beberapa orang di belakangnya. Mereka tengah menunggu di depan pintu. Berjaga-jaga kalau tuannya meminta mereka menghajar Haryono.
Mata Haryono terbuka lebar-lebar melihat Damian—CEO perusahaan yang mana Haryono bekerja. Sungguh pria itu tidak menyangka akan bertemu Damian di sini.
“CEO Damian.” Haryono panik lalu berlari ke arah Damian. “CEO Damian, mengapa Anda di sini? Mereka... mereka ini sungguh orang-orang yang tidak sopan.”
“Tidak sopan? Direktur Haryono, sekarang aku merasa kalau kecerdasanmu memang di bawah rata-rata.” Damian memerintahkan orang-orangnya membawa pergi Haryono. Tampaknya sudah muak dengan keberadaan pria itu.
Beberapa orang yang dibawa oleh Damian segera menangkap Haryono. “CEO Damian, apa maksud Anda?!”
“Kau masih tidak mengerti? Kubilang apa pun yang tidak disukai calon istriku adalah hal yang tidak aku sukai. Dan ... kau sudah tidak layak bekerja di perusahaanku.”
Haryono ditarik oleh orang-orang Damian, tanpa memberikannya waktu untuk bicara. Damian sudah tidak ingin mendengar suara pria itu lagi.
Karyawan Bar tampak tercengang mendengar pernyataan Damian yang mengatakan Aileen adalah calon istrinya. Mereka terlihat canggung saat ini.
Aileen merasakan pipinya berubah panas. “Jangan dengarkan dia.”