Membersihkan halaman yang lumayan luas akhirnya sudah selesai Kana kerjakan. Cewek itu duduk di kursi kayu yang letaknya tepat berada di bawah pohon. Kana memegangi dadanya yang sakit, napasnya pun sedari tadi sulit untuk dikeluarkan. Bagaimana tidak, segala pekerjaan rumah dari bersih-bersih rumah, mencuci piring dan baju, memasak, hingga membersihkan halaman sekalipun, semua itu ia lakukan sendiri. Rasa lelah tentu saja mampir kepadanya.
Semakin hari tenaganya terkuras, nyeri yang dadanya rasakan juga semakin besar. Dan Kana tahu, ucapan Dokter Farhan tidak bisa ia abaikan begitu saja. Jantungnya lemah, Kana seharusnya tidak melakukan pekerjaan berat. Apalagi banyak tekanan seperti ini.
Setelah merasa tenaganya sudah cukup pulih, Kana pun berdiri dari duduknya dan berjalan masuk ke dalam rumah. Ia meminum air putih sebanyak mungkin. Setelah itu, Kana memutuskan diri untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket.
Lima belas menit kemudian, Kana sudah rapi dengan pakaian rumahnya. Ia duduk di tepi kasur sambil menatap jam beker yang menunjukkan pukul lima sore. Acara pesta dansa akan diadakan sebentar lagi. Hal itu membuat Kana melupakan beban rumahnya. Ia tersenyum, tinggal menunggu hitungan jam acara itu akan dimulai. Entah kenapa, Kana sungguh antusias. Ia tidak sabar.
Ngomong-ngomong soal pesta dansa, Kana pun teringat akan gaun Cinderella itu. Ia pun langsung bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah lemari. Menyetrika gaun tersebut tidak ada salahnya, dan Kana hendak melakukan itu. Tapi, tiba-tiba saja sebuah suara menggelegar mampir ditelinganya.
"KANAAA! BURUAN MASAK!"
Pergerakan Kana yang hendak membuka lemari pun terurung. Ia menghela napas panjang sembari menguatkan hatinya. Belum ada satu jam ia bisa istirahat dengan tenang, sebuah perintah tegas sudah ia dapatkan lagi. Dan Kana sadar, sampai kapanpun ia tidak akan bisa beristirahat dengan tenang.
***
Tidak ada waktu lagi, sekarang sudah hampir pukul setengah tujuh malam. Kana pun masuk ke dalam kamarnya hendak siap-siap. Namun sebelum itu, dering ponselnya yang tergeletak diatas nakas berbunyi. Kana mendekat, mengambil benda canggih tersebut dan membuka pesan yang rupanya dikirimkan oleh Elang.
Elang :
Kana usah siap-siap, kan?
Bentar lagi acaranya udah mulai, Elang otw meluncur ke rumah Kana
Kana :
iya, hati-hati di jalan ya
Kana menjawab singkat. Lalu ia buru-buru membuka lemari untuk mengambil gaun Cinderella tersebut. Betapa terkejutnya Kana setelah gaun itu sudah berada ditangannya.
Napas Kana tertahan ditenggorokan beberapa detik dengan bola mata yang nyaris melompat dari tempatnya. Hati Kana tertohok melihat kondisi gaun ditangannya ini. Kana pun berjalan dan duduk di tepi ranjang.
Air matanya tiba-tiba saja luruh membasahi pipinya. Kana menyentuh gaun tersebut dengan tangan bergetar. Kenapa jadi seperti ini? Siapa yang melakukan ini kepadanya? Tentu saja rasanya Kana ingin menangis melihat gaun yang sekarang tidak berbentuk lagi. Banyak sekali bekas guntingan hingga berlubang. Bukan hanya itu, beberapa bagian juga ada yang gosong terkena setrika.
Air mata Kana meleleh dengan deras, ia menangis sesenggukan sembari memeluk gaun cantik itu. Padahal, ia sangat ingin pergi ke pesta itu, ia ingin merasakan bahagia seperti teman-temannya. Tapi, sekarang ia tidak akan bisa pergi tanpa sebuah gaun. Ia menangis keras.
Apa sesulit ini dirinya menerima kebahagiaan?
Tangis Kana seketika saja terhenti ketika pintu kamarnya terbuka. Ia mendongak, dan kedua matanya menangkap Lana dan Luna dengan gaun masing-masing yang sudah melekat ditubuh mereka.
"Duh kasihan banget gaunnya bolong, nggak bisa ikut ke pesta dong? Hahaha ..." Lana tertawa terbahak.
"Nggak usah nangis, ya? Alay tau nggak? Lagian muka lo itu nggak cocok pakai gaun mahal kayak gitu," timpal Luna.
"Sebaiknya lo nggak usah pergi. Cukup di sini aja, itu sih kalo lo nggak malu pakai gaun bolong sama bekas setrikaan hahaha ...."
Tawa mereka pecah begitu saja. Sebuah tawa renyah yang ditunjukkan buat Kana. Setelah itu, mereka berlalu setelah melambaikan tangannya kepada Kana. Meninggalkan Kana dengan sejuta perasaan hancur.
Kenapa mereka begitu jahat? Padahal Kana tidak pernah mencari gara-gara dengan mereka.
Kana berdiri dan menutup pintu kamarnya. Lalu ia kembali naik ke atas kasur, Kana menangis sambil menutup wajahnya dengan bantal. Semuanya gagal, hancur, dan Kana tidak akan pernah pergi ke acara itu. Terlebih lagi, ia akan mengecewakan hati Elang.
Cowok itu pasti akan terluka akan fakta ini. Tangis Kana semakin keras, tapi suaranya sedikit teredam karena bantal yang menutupi wajahnya.
"Elang, maafin gue," ucap Kana lirih sambil terisak pelan. Ia pun mengambil ponselnya dan menghubungi nomor Elang.
Panggilan pertama tidak diangkat. Kana tidak gentar mencobanya lagi, tapi lagi-lagi panggilannya tidak kunjung menerima jawaban. Tidak mau menyerah sampai di situ, Kana pun mencoba untuk yang ketiga kalinya.
Sambungan terhubung.
Buru-buru Kana duduk di atas kasur dan langsung berbicara. "Halo? Elang di mana?" tanya Kana langsung. Setelah mendapatkan jawaban dari Elang yang katanya ia sudah berada di depan gerbang rumah, cewek itu pun bangkit dari duduknya. Ia berdiri di depan cermin untuk merapikan sedikit rambutnya yang berantakan. Tidak lupa, Kana mengusap air matanya agar tidak terlalu kentara jika baru saja ia habis menangis.
Kana pun bergegas keluar dari kamarnya dan akhirnya ia membuka gerbang rumahnya. Kana dapat melihat wajah Elang yang terkejut melihatnya tanpa sebuah gaun cantik itu. Kana memaklumi hal itu. Ia hanya bisa memaksakan senyumannya.
Elang masih diam, tapi sorot matanya tidak lepas dari Kana. Cewek itu berjalan mendekati Elang yang sudah berpakaian sangat rapi ala-ala pangeran. Cowok itu terlihat sangat tampan. Kana menyesal karena membuatnya sakit hati seperti ini.
"Elang ma—
"Ayo naik, kita cerita di tempat lain," ujar Elang, memotong ucapan Kana. Elang mengangguk berusaha meyakinkan cewek itu. Hingga akhirnya, Kana pun menghela napasnya pelan dan segara naik ke atas motor Elang.
***
Mendengar cerita Kana membuat Elang tersentuh sekaligus tidak percaya jika selama ini cewek itu menutup lukanya dengan senyuman manis diwajahnya. Dan Elang sadar, bahwa orang yang kelihatannya baik-baik saja, justru terlalu banyak menyimpan beban dibenaknya.
Elang juga tidak menyangka jika kedua orang tua Kana sudah meninggal dan mengharuskan Kana tinggal bersama ibu dan kedua saudari tirinya. Tentu saja Elang ikut merasakan sakit. Hatinya ikut tersayat. Dan Elang kini paham, inilah alasan Kana kenapa waktu itu melarang Elang mampir ke rumahnya.
Fokus Elang sekarang bukan mengarah ke pesta dansa itu lagi. Elang benar-benar tidak memikirkan acara itu lagi. Ia dan Kana kini duduk di halaman rumah Elang. Tatapan Elang tidak pernah terlepas dari wajah cantik Kana.
"Elang, maafin gue, ya?" ujar Kana diiringi isakan pelan. Rasa bersalahnya semakin terbuka lebar, dan Kana bingung bagaimana caranya menebus rasa salahnya ini.
Elang tersenyum tipis, tangannya bergerak dan berakhir diwajah Kana. Jempol tangannnya pun bergerak mengusap air mata Kana yang sedari tadi terus meluncur bebas.
"Nggak usah minta maaf, ini bukan salah Kana. Udah ya jangan nangis terus," ucap Elang sambil tersenyum.
"Gara-gara gu—
"Husst!"
Sebelum ucapan Kana bisa meluncur bebas, Elang terlebih dahulu meletakkan jari telunjuknya di bibir Kana, membuat kalimat cewek itu tidak berani untuk keluar. Elang tersenyum tipis, "jangan bahas itu lagi. Elang nggak pa-pa kok kalo nggak ikut acara itu. Elang nggak marah sama Kana. Ini bukan salah Kana. Jadi stop salahin diri sendiri. Elang baik-baik aja."
Kana mengusap air matanya, perlahan senyumannya terbit. "Serius?"
"Sejutarius deh biar Kana kenyang," timpal Elang, membuat Kana terkekeh kecil. Hatinya sudah mulai membaik hanya karena cowok itu.
"Lagi nggak pengin becanda," ujar Kana sembari mencubit pelan pinggang Elang.
Elang terkekeh kecil. "Ngomong dong kalo mau diseriusin sekarang," timpalnya. Yang semakin membuat Kana melotot.
"Ih Elang, jangan becanda terus! Nggak lucu tauk."
"Ya udah, Kana tungguin di sini bentar, ya?"
"Mau ke mana?"
"Ke dalam bentar, nggak lama kok."
Kana mengangguk kecil, sementara Elang sudah ngacir masuk ke dalam rumahnya, masih memakai pakaian ala pangeran. Kana menunduk sedih, ia sudah merusak acara cowok itu atau lebih buruknya adalah sudah mengecewakan Elang.
Mendengar derap langkah kaki, Kana pun menoleh ke belakang, kemudian menyipitkan mata. Elang membawa gitar? Cowok itu mau ngapain?
Dengan senyuman yang masih bermain dibibirnya, Elang lantas kembali duduk bersila di samping Kana, yang masih kebingungan.
"Kenapa natap Elang gitu banget? Kelihatan gantengnya, ya?" Elang terkekeh pelan. Tingkat kepercayaan dirinya benar-benar tinggi.
Kana menggeleng pelan sambil mendesah panjang. "Lo ngapain bawa gitar? Emangnya bisa main gitar?"
"Nggak boleh ngremehin gitu, gini-gini Elang jago loh main gitar. Kalo nggak bisa main ngapain juga Elang bawa ke sini? Malu-maluin dong?"
"Iya gue percaya, terus?"
"Elang mau nyanyi pake gitar, biar Kana nggak sedih lagi. Elang pengin lihat Kana senyum."
Kana terpaku beberapa detik, bingung mau mengucapkan kalimat seperti apa. Ia hanya menatap cowok disampingnya ini.
"Ke-kenapa?"
Sial. Bibir Kana terlalu kaku sekarang. Pertanyaan bodoh macam apa yang barusan keluar dari bibirnya? Dalam hati ia merutuki dirinya yang bodoh.
Dan lihat sekarang, Elang malah tertawa kecil. Membuat pipi Kana merona merah karena malu. Ia memalingkan wajahnya. Hingga sebuah tepukan dipuncak kepalanya membuatnya kembali memusatkan perhatiannya kepada Elang.
"Kana murung aja dari tadi, Elang ikut sedih. Padahal kalo senyum, cantik Kana meningkat loh."
Kana memilih diam, kali ini bukan tidak tahu ingin merespons seperti apa, melainkan Kana sedang menahan debaran jantungnya yang semakin cepat tidak terkendali. Cewek mana sih yang nggak baper kalo dibilang cantik?
"Elang mulai, ya?" Cowok itu bersuara kembali, dan sedetik selanjutnya jari tangannya mulai memetik gitar, membuat irama yang enak di dengar di telinga.
Perlahan, seiring nada suara gitar mengalun lembut, suara serak Elang mulai terdengar. Cowok itu bernyanyi, membuat Kana terpaku dan sedikit merinding.
Biarlah dikata lebay, Kana tidak peduli dengan itu. Air matanya jatuh begitu saja. Ia terharu sekaligus tidak percaya jika cowok disampingnya ini adalah Elang Sangga Pradipta. Cowok aneh, nyebelin dan sering mengeluarkan jurus andalannya agar orang disekitarnya bisa tersenyum.
Bagaimana bisa Kana tidak terhanyut? Suara Elang yang bernyanyi merdu barusan langsung membuatnya candu. Elang sudah menjebaknya untuk terus mengingat hal kecil ini.
Elang meletakkan gitar disampingnya setelah selesai, lalu kembali menatap Kana. Mereka saling berpandangan untuk seperkian detik. Sementara Kana yang sedang berusaha mengontrol detak jantung dan rasa gembiranya, Elang sendiri perlahan mengusung senyuman manis.
Tanpa Kana duga sebelumnya, Elang kini mengambil kedua tangan Kana dan menggenggamnya erat. Suaranya muncul seperkian detik selanjutnya. "Kana?"
Dengan bola mata yang masih berkaca-kaca, Kana meneguk salivanya, kemudian menjawab lirih. "I-iya?"
"Elang nggak mau Kana sedih lagi, atau yang lebih buruknya Kana nangis. Elang nggak mau kalo hal itu sampe terjadi. Elang bakal berusaha agar Kana selalu senyum dan nggak sedih lagi."
Kana menatap pantulan dirinya di kedua mata Elang. Ia gugup saat ini meskipun ucapan Elang masih bisa ia cerna dengan baik. Ia paham apa yang cowok itu katakan.
"Kana, Elang janji bakal terus jagain Kana, nggak bakal buat Kana mengeluh ataupun menyesal dengan semua keputusan-keputusan Kana. Elang bakal ngelakuin hal-hal terbaik yang bakal buat Kana nyaman." Genggaman tangan Elang semakin mengerat. Tatapan cowok itu kini semakin dalam.
"Kana, mungkin ini bukan waktunya yang tepat, tapi Elang nggak tau lagi harus ngomong ini kapan. Elang emang nggak kayak orang lain yang bisa romantis, tapi Elang mau jujur sama Kana. Hati nggak bisa dibohongi lagi."
Tatapan Kana tidak lepas dari wajah serius Elang. Kana tidak berkedip menatap cowok itu, bibirnya ia rapatkan, sementara jantungnya sudah bergejolak dengan kencang. Tanpa sadar, Kana sudah menelan salivanya secara kasar.
Sorot mata Elang melayang dan menancap tepat di manik mata Kana. Cowok itu juga merasakan jika jantungnya terlalu cepat bergerak. Ia berhenti berkata sejenak, lalu menarik napas panjang.
Tangan Elang perlahan sudah mulai bergerak, kemudian ia menggenggam tangan Kana dengan erat, membuat Kana terhenyak. Tubuh Kana menegang seketika itu juga. Baru kali ini ia di pegang sedemikian oleh seorang cowok.
Tapi Kana tidak bisa melepaskan tangannya, ia terkunci oleh tatapan Elang. Entah kenapa lidahnya juga mendadak kelu, ia hanya bisa diam dan mendengarkan penuturan cowok itu.
"Kana?" panggil Elang lirih.
"I-iya?"'
"Kana mau nggak jadi tuan putri yang bakal ngisi hatinya Elang?"
Dan boom! Pertanyaan yang tidak Kana sangka-sangka akhirnya keluar dari bibir tipis Elang, membuat jantung Kana nyaris saja meledak.