24. SALAH PAHAM

1638 Kata
"Nah gimana sih kak? Ganteng-ganteng kok nggak bisa nembak cewek?" Gadis kelas sepuluh dihadapan Elang menyeletuk sambil terkekeh. Membuat Elang memutar bola matanya, sebal karena sudah diejek seperti itu. Merasa jika pernyataan gadis dihadapannya ini kurang tepat, Elang pun membantah. "Eh denger ya, gue bukannya nggak bisa nembak, tapi cewek yang gue tembak belum mau sama gue." "Sama aja itu kak, artinya kak Elang nggak bisa nembak, kurang pro, kurang eksekusi, dan pasti kurang romantis. Pantas aja cewek yang kak Elang tembak nggak mau." "Aduh bocah! Lo diem bisa nggak? Jangan mancing emosi gue. Lo sebenernya mau bantuin gue atau mau ceramahin gue sih?" timpal Elang kesal. "Sabar kak, Dinda pasti bantuin kak Elang. Tapi ingat, jangan lupa bayarannya, ya? Bakso sama es teh manis di kantin." "Iya iya, bawel lo!" "Tiga kali, ya?" Elang membelalakkan matanya. "Perjanjiannya nggak kayak gitu Bambang! Masa tiga kali, es teh sama bakso udah dua puluh ribu aja tuh, dan ini lo malah ngelunjak tiga kali lipat. Mending gue beli kuota lah." "Lah gimana sih kak? Mau dibantuin nggak?" "Lo sama Ragas sama aja, ya? Kakak adek sama-sama nyebelin." Ingin rasanya Elang menjitak kepala Dinda. "Gimana nih? Jadi nggak? Nyesel loh kalo nggak jadi, Dinda jamin gebetan kak Elang bakal mau pacaran sama kakak meskipun itu cuma khilaf." "Eh eh, kok khilaf? Beneran mau dia! Jaga dong mulut lo Din. Gue lagi serius nih, jangan main-main gini." Dinda terkekeh, sahabat kakaknya ini benar-benar gampang sekali dibuat marah. Ia geleng-geleng kepala, namun detik selanjutnya ia sudah berdehem, kembali fokus. "Dinda bakal ajarin kak Elang cara nembak cewek yang benar, dijamin bakal diterima dan bikin si cewek baper! Dinda jamin kak! Ini Dinda juga serius banget nih." "Oke deal, tiga mangkok kuah bakso!" Elang menjulurkan tangannya. Dinda berdecak kecil dan menyubit pinggang Elang. "Sama baksonya juga dong! Masa sih kuahnya doang." "Oh ya lupa hehehe." Elang nyengir, lalu kembali berkata serius. "Tiga mangkuk bakso, terserah lo maunya ditraktir kapan. Deal?" Dinda tersenyum, kemudian mengangguk dan menjabat tangan Elang. "Deal, jangan lupa sama es teh juga! Gorengan plus batagor lima piring!" "Lo emang nggak ada akhlak, ya? Tuh mulut pengin gue masukin gerobak sampah dah." Dinda tersenyum kelewat lebar, hingga giginya yang putih dan tersusun rapi terlihat. Kedua matanya menyipit. "Becanda kak, jangan diseriusin lah." "Lah terus mulainya kapan nih? Udah keburu Upin Ipin gede kalo kelamaan." *** "Ralin, pelan-pelan dong!" Kana menegur Ralin sambil berusaha menyejajarkan langkahnya dengan sahabatnya itu. Sekarang, tangannya sedang diseret Ralin untuk pergi ke toilet. "Nggak keburu Na, udah kebelet banget nih gue," jawab Ralin tanpa menoleh kepada Kana, tatapannya terus menancap ke arah depan. Kana hanya mendengkus pasrah. Langkah kaki mereka semakin cepat. Toilet tidak lama lagi akan terlihat di hadapannya. Namun, Ralin tiba-tiba saja berhenti, membuat Kana otomatis berhenti melangkah juga. Kana yang bingung, langsung menoleh menatap Ralin. "Kok berhenti Lin? Udah nggak kebelet lagi?" tanya Kana sambil menyerngitkan keningnya bingung. Ralin masih tidak menatap Kana. Pandanganya menyipit. "Itu bukannya Elang, kan?" tanya Ralin seraya menunjuk ke depan. "Ha?" Kana mengerjapkan matanya, lalu perlahan ia mengikuti jari telunjuk Ralin. Dan benar, tidak jauh dihadapannya ada Elang. Kana terkejut, pasalnya saja Elang sedang berduaan dengan seorang cewek. "Itu siapa, ya?" tanya Ralin, yang segara dijawab Kana dengan bahu terangkat. Dari tempat mereka berdiri, cewek itu belum diketahui karena posisinya sedang membelakangi Kana dan Ralin. "Gue juga nggak tau," jawab Kana sedikit lesu. Entah kenapa, tanpa ia sadari, Kana merasa bagian hatinya tercubit. Ia tidak tahu itu, hanya saja Kana sedikit kesal melihat itu. "Dari sini nggak kelihatan dia siapa, tapi kayaknya tuh gebetan lo lagi ngomongin hal serius deh Na." Kana setuju dengan Ralin. Elang sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang penting. Sampai akhirnya, Kana membelalakkan matanya ketika suara Elang terdengar cukup keras. Bukan hanya Kana, ekspresi Ralin juga tidak kalah kaget. "Gimana, lo mau nggak jadi pacar gue?" Tenggorakan Kana terasa tercekat mendengar kalimat itu. Dadanya sesak. Barusan tidak mungkin ia salah dengar. Suara Elang benar-benar menusuk gendang telinganya sangat jelas. Elang menembak seorang cewek. Perlahan lutut Kana lemas dan matanya memanas. Apakah Elang sudah menyerah memperjuangkan Kana karena sudah ditolak dua kali? Entahlah, Kana hanya merasa cukup sakit mendengar pernyataan itu. Elang sudah melupakan dirinya. Tapi Kana juga tidak bisa marah, itu keputusan cowok itu sendiri, Kana tidak bisa mengekang. Tentu saja Elang lelah karena pernyataan cintanya terus di tolak Kana. Kana langsung berbalik badan setelah air matanya menetes. *** Ada yang aneh. Ini tidak seperti biasanya. Elang sebenarnya sudah mempunyai nyali lagi untuk menyatakan cintanya kepada Kana. Berkat Dinda, adik Ragas, Elang sudah sedikit tahu hal-hal yang akan membuat cewek melayang hanya dari sebuah tindakan dan kata-kata manis. Tapi kembali lagi ke pokok masalahnya, aneh. Ya, sudah tiga hari Elang merasa jika Kana menghindari dirinya. Setiap kali Elang pergi ke kelas cewek itu, Kana selalu tidak ada. Kalaupun ada, teman kelasnya mengatakan kepada Elang bahwa Kana sedang tidak ingin ketemu siapa-siapa. Bukan hanya itu saja, ketika sedang berada di kantin dan Elang ingin menuju meja di mana Kana sedang duduk. Kana langsung bangkit berdiri dan memilih berjalan menjauh. Kemarin sepulang sekolah, Elang juga menunggu di depan kelas, tapi sayang, Kana tidak mau bertemu dengannya. Cewek itu berkata jika sedang terburu-buru cabut untuk pulang. "Kenapa lo nyari gue? Ada yang mau lo omongin?" Elang tersentak dan mengerjapkan matanya. Detik berikutnya ia terseret ke dalam kenyataan lagi. Elang mendesah panjang dan baru sadar jika ia sedang melamun. Namun, beberapa detik kemudian Elang menoleh ke samping kanan, di mana Ralin berdiri sambil menatapnya dengan alis yang memicing satu. "Ralin?" "Lo kenapa sih? Kok kelihatan bingung gitu?" tanya Ralin, kemudian berdiri di samping Elang. Mereka sedang berada di lantai dua, berdiri di pembatas lorong. Elang melarikan pandangannya ke arah depan, menikmati embusan angin yang menerpa wajahnya. "Gue mau ngomong penting sama lo Lin." ujarnya. Ralin mengangguk mengerti, "soal Kana?" Sejurus setelah Ralin menyelesaikan kalimatnya, Elang langsung menoleh. Kedua matanya menyipit," kok lo tau? Cenayang ya lo?" Kekehan kecil keluar dari bibir Ralin. "Ada-ada lo emang, bisa-bisanya mikir gitu," ucapnya tidak habis pikir. Ralin menggeleng pelan sambil mengeluarkan napas sedikit demi sedikit. "Jelas gue tau tujuan lo minta gue ke sini. Udah ketebak banget, lo mau tanya-tanya soal Kana. Kalo bukan Kana, terus lo mau tanya apa lagi?" Elang membenarkan itu. "Gue bingung Lin soal sahabat lo itu." "Kenapa?" "Kana rese akhir-akhir ini," ucap Elang, bibirnya mencebik. "Selalu ngehindar kalo gue berusaha deketin. Udah tiga hari gue ngerasa kalo Kana lagi jaga jarak sama gue. Chat nggak dibalas, gue sapa nggak jawab, senyum juga kagak. Yang lebih parahnya lagi kemaren Lin, dia pura-pura nggak lihat gue waktu pas-pasan. Sakit nih hati gue. Belum berjuang, udah kalah duluan. Gue jadi curiga kalo Tuhan emang nyiptain gue buat jomblo ngenes seumur hidup." Elang menarik napas panjang sembari memijit keningnya yang pening. Apa sih yang sebenarnya sudah Elang lakukan sampai Kana menghindar seperti itu? Kalau tidak ada masalah, tidak mungkin hal seperti ini bakal terjadi. Elang tahu ada yang tidak beres, hanya saja ia tidak tahu apa itu masalahnya. Ia bingung dan pusing. Atau memang Kana memang tidak menyukainya? Terus dia milih menghindar? Jika itu jawabannya .... "Lo ngerasa nggak Lang?" tanya Ralin kemudian, setelah berhasil mencerna dengan baik curhatan hati seorang Elang Sangga Pradipta yang ngenes sekali. "Ngerasa apa Lin?" "Kenapa Kana bisa kayak gitu karena ulah lo sendiri?" ujar Ralin, melanjutkan ucapannya. Ia menatap Elang tanpa memberikan cowok itu jawaban terlebih dahulu. Ralin tahu masalahnya, Kana juga beberapa kali curhat dengannya. Hanya saja Ralin ingin membuat Elang menemukan jawabannya sendiri. "Karena gue Lin?" tanya Elang. Gurat kebingungan terlihat jelas di wajah cowok itu. "Gue ngelakuin apa sampai bikin kayak gini? Gue ngerasa nggak pernah bikin dia kecewa kok." "Yakin?" "Yakin Lin, masa sih gue bohong." Ralin tersenyum kecut. "Ada Lang, lo pernah buat salah sama Kana. Itu yang buat Kana ngehindar dari lo. Coba lo pikir baik-baik lagi." "Apa Kana benci sama gue sekarang?" Ralin mengangkat bahunya. "Mungkin aja." "Gue nggak tau Lin," kata Elang, ia menunduk dan mengeluarkan napas panjang. "Gue nggak ngerti. Maka dari itu gue minta bantuan lo, tolong lo bilang sama Kana, gue pernah buat salah apa sama dia. Ngomong, biar di sini gue bisa perbaiki itu." "Jelas-jelas kesalahan lo nyata banget Lang. Nggak perlu gue ngorek dari Kana, gue sendiri pun tahu apa yang udah lo lakuin. Tapi anehnya, lo malah nggak tau letak kesalahan lo sendiri itu apa. Lo gimana sih sebenarnya? Pusing sendiri gue." Elang mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Lo tau masalahnya?" Elang bertanya dengan wajah penuh harap. Ia kini menghadap ke arah Ralin sepenuhnya, sampai akhirnya Elang mengguncangkan kedua bahu Ralin. "Plis Lin, kasih tau gue! Gue emang bodoh! Gue nggak tau apa yang udah gue lakuin. Gue minta tolong sama lo Lin." Ralin melepaskan kedua tangan Elang dari pundaknya. Ia menyorot cowok itu muak. "Nggak bisa Lang. Mau lo mohon-mohon sekalipun gue nggak bakal kasih tahu lo. Bukannya gue kejam dan nggak mau bantuin lo. Tapi gue pengin lo berpikir dan bersikap dewasa. Lo pikir sendiri apa yang udah lo lakuin sama Kana. Maaf gue nggak bisa." Setelah berucap panjang, Ralin perlahan mundur dan balik badan. Meninggalkan Elang dengan sorot mata teduh dan penuh penyesalan. Beberapa langkah berjalan, kemudian ia berhenti dan membalikkan tubuhnya. "Oh ya, lebih baik lo nggak usah ngejar Kana lagi deh. Buat apa? Percuma aja, kan? Gue rasa Kana juga udah nggak mau sama lo. Hati lo udah ke isi sama cewek lain. Nggak ada ruang lagi buat Kana. Lagian seganteng apa sih lo mau coba-coba macarin dua cewek sekaligus?" Elang menatap kepergian Ralin sambil mengerjapkan matanya. Apa yang Ralin bicarakan sungguh tidak bisa Elang pahami. Terlalu cepat ucapan Ralin sampai Elang sendiri kewalahan mencerna setiap katanya. Kenapa malah jadi rumit seperti ini masalahnya? Elang hanya ingin bersama Kana. Cuma Kana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN