Kana berpijak di koridor kelas sepuluh karena perintah dari seorang guru untuk mengantarkan sebuah surat ke salah satu kelas. Tapi sayang, ia dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang membuat dadanya sesak, hatinya remuk, dan kakinya lemas. Elang terlihat sedang memeluk Dinda, seorang gadis yang waktu itu Kana dan Ralin lihat.
Gadis itu yang berhasil membuat hati seorang Elang terisi. Bukan Kana. Kana kalah, dan itu karena dirinya yang tidak pernah memberikan Elang peluang, membuat Elang menyerah dan memilih memacari cewek lain.
Kana segera bergerak menjauh dari sana dan langsung mencari kelas yang dituju.
***
"Kak Kana!"
Kana terperenyak, lalu ia langsung mengusap air matanya yang mengalir dipipinya, lalu ia mendongak, mengerjapkan mata, dan berusaha menjernihkan pandangannya. Sejurus kemudian, Kana pun berbalik badan. Tubuhnya menegang, matanya terbelalak beberapa saat. Sedangkan napasnya berhenti keluar dan tersangkut di tenggorokan. Dia? Kenapa bisa ada di sini?
Tiga meter dihadapan Kana, Dinda berdiri sambil menatap Kana dengan raut wajah ramah. Dinda melambaikan tangannya ketika Kana menatapnya. Akhirnya, Dinda bisa menyempatkan diri bertemu dengan kakak kelasnya itu di sini, di perpustakaan sekolah. Tempat yang menurut Dinda sangat tepat karena tidak banyak siswa-siswi yang mengunjungi tempat ini.
Kana berusaha menetralkan ekspresinya, wajahnya terlihat datar. Kana hendak menjauhi Dinda, namun Dinda berhasil mencegah kepergian Kana. Dinda mencekal pergelangan tangan Kana.
"Mau ke mana kak? Dinda ada perlu sama kak Kana. Ini penting kak," ujar Dinda.
"Maaf, gue ada urusan yang lebih penting. Lepasin tangan gue," ucap Kana, berusaha terlihat tidak kesal. Kana menyorot Dinda dengan tatapan datar.
"Ini lebih penting kak, Dinda jamin."
"Lo maksa gue?"
"Kalo kak Kana nggak mau ngomong sama Dinda, kakak bakalan nyesel."
"Gue nggak pernah nyesel sama pilihan yang udah gue buat," ujar Kana yang sudah mulai terpancing emosi. Kecuali satu, gue udah nolak Elang.
Dinda menarik napas dalam-dalam, ia menggeleng sambil memejamkan matanya. Ia harus memikirkan bagaimana caranya menahan Kana di sini.
"Kalo kak Kana nggak mau ngomong sama Dinda, Dinda bakal teriak dan nuduh kalo kak Kana sedang malak Dinda. "
Kana benar-benar menahan kekesalannya. Namun, ia pun akhirnya menyerah dan memutuskan untuk mengikuti kemauan gadis dihadapannya ini, yang notabenenya adalah pacar Elang.
Kana mengeluarkan napas panjang. "Mau ngomong di mana?" putus Kana, membuat Dinda tidak percaya karena Kana akhirnya menuruti kata-katanya. Dinda tersenyum semringah, tidak menyangka apabila Kana lumayan mudah di bujuk.
Dinda menarik tangan Kana, menuntunnya pergi ke bangku yang posisinya tidak jauh dari mereka berdiri saat ini. Mereka berdua pun kini duduk berhadapan.
"Bentar lagi gue ada ulangan, jadi gue nggak ada waktu banyak," ujar Kana.
Dinda mengangguk mengerti, walaupun sebetulnya ia yakin apabila Kana berusaha untuk menghindar. Dinda sadar kalau Kana kesal dengannya.
"Dinda paham kak, Dinda bakal ngomong singkat aja dan seperlunya. Ini menyangkut soal kak Elang," ujar Dinda, kemudian ia melihat gurat keterkejutan yang mampir di wajah Kana.
"Apa urusannya sama gue?" tanya Kana, berusaha menjaga suaranya agar terkesan biasa.
"Kakak tau kan kalo kak Ela—
"Pacar lo, gue tau!" potong Kana. Bola matanya beradu dengan manik milik Dinda. Kana menghela napasnya dengan gusar. "Cuma itu yang mau lo omongin? Sebenarnya nggak penting buat gue. Nggak ada urusannya sama gue juga. Dan cukup, gue nggak mau waktu gue terbuang sia-sia."
Kana hendak bangkit dari duduknya, tapi lagi-lagi Dinda menahan pergelangan tangan Kana. Dinda menggeleng tegas. "Duduk dulu kak, Dinda belum tuntas ngomongnya," ujar Dinda kalem. "Dan Dinda mohon sama kakak jangan motong ucapan Dinda. Dinda belum tuntas ngomong. Kak Kana dengerin dulu."
Kana diam dan kembali duduk, menatap Dinda lebih dalam lagi.
Dinda mengisi paru-parunya dengan udara segar lebih banyak. "Dari mata kak Kana, Dinda sadar kalo kak Kana benci Dinda. Tapi demi apapun, Dinda nggak tau masalahnya kak." Dinda menggeleng, "tapi maaf, kak Kana salah. Dinda bukan pacar kak Elang. Dinda nggak ada hubungan apa-apa sama kak Elang. Karena yang kak Elang suka dan sayang itu cuma ada satu, yaitu kak Kana."
Dinda berhenti sejenak, memperhatikan ekspresi wajah Kana yang terlihat terkejut. Hanya seperkian detik saja, selebihnya Kana bisa kembali menjaga ekspresinya agar normal.
Dinda meletakkan tangannya di atas telapak tangan Kana. "Kak Kana lagi marahan sama kak Elang?"
Kana masih mengunci mulutnya, membiarkan Dinda menjelaskan sesuatu lagi.
"Kak Elang cerita ke Dinda kalo kak Kana udah nolak dua kali pernyataan cinta kak Elang. Dinda cuma mau kasih tau, tapi sebelumnya mohon maaf kalo agak menyinggung." Dinda menerbitkan senyuman tipisnya, "hanya orang bodoh yang nolak cowok sebaik kak Elang."
"Walaupun kepo, tapi Dinda nggak mau maksa kak Kana buat ngomong alasan kenapa kak Kana nggak mau pacaran sama kak Elang. Itu bukan hak Dinda." Gadis dihadapan Kana tersebut menatap Kana lagi setelah menunduk sejenak.
"Dinda agak sedih waktu kak Elang cerita, dia kayaknya sedih dan kecewa. Tapi satu hal yang perlu kak Kana tau, kak Elang itu nggak nyerah semudah itu. Dia tau kalo suatu saat nanti kak Kana bakal nerima kak Elang. Maka dari itu kak Elang minta bantuan sedikit dari Dinda."
Dinda terus berkata, "Kak Elang ngerasa kalo cara dia ngungkapin perasaannya kurang mendalami, mungkin aja terkesan main-main. Kak Elang pikir, kak Kana nolak kak Elang karena kak Elang kurang romantis. Maka dari itu kak Elang minta tolong sama Dinda."
Kana memperhatikan Dinda semakin serius. Gadis dihadapannya ini membuat Kana berpikir, otaknya tidak berhenti bekerja untuk mencerna setiap kata yang keluar dari bibir Dinda.
Maksudnya apa? Kenapa gadis dihadapannya ini mengaku kalau dia bukan pacar Elang? Kana bingung, setengah percaya dan tidak percaya apa yang diucapkan Dinda. Tapi, jelas-jelas waktu itu Kana melihat Elang menyatakan cintanya kepada Dinda. Hari ini Kana juga melihat Elang memeluk Dinda. Apa yang salah sebenarnya?
Mana yang harus Kana percayai? Ucapan Dinda atau matanya yang sudah melihat kejadian itu secara langsung?
"Penjelasan lo muter-muter," ujar Kana sambil mengembuskan napas panjang.
"Sebelumnya Dinda mau tahu dulu, kenapa Kak Kana ngehindar kak Elang?"
"Apa urusannya sama lo?" tanya Kana jutek.
"Ck, jawab aja kak, biar Dinda bisa jelasin lebih rinci."
Kana berpikir sejenak untuk merangkai kata-kata yang tepat. "Karena dia udah punya pacar."
"Kata siapa? Kak Elang jomlo! Dia naksirnya cuma sama lo kak, kenapa kak Kana mikir gitu? Apa buktinya? Emang pacar kak Elang siapa?"
"Lo pacarnya," jawab Kana spontan. "Gue lihat Elang nembak lo, dan lo terima dia. Gue juga lihat lo pelukan sama dia. Puas sekarang?"
"Pfffttt ..." Dinda menutup mulutnya dengan telapak tangannya, ia mati-matian menahan tawa. Tidak tahan, tawa Dinda pun menyembur keluar. Gadis bertubuh pendek itu tertawa ngakak. "Hahahaha."
Dinda tertawa lepas, lain lagi dengan Kana yang menatap Dinda dengan air muka bingung. Tawa menggelar Dinda membuat beberapa siswa yang berada di perpustakaan merasa terganggu. Mereka sudah menatap Dinda horor. Dinda yang sadar jika perpustakaan adalah tempat yang haram oleh kericuhan, langsung kicep dan meminta maaf.
"Kak Kana cantik, tapi sayang agak b**o," ujar Dinda. "Cari tau info dulu sebelum menyimpulkan sesuatu kak," lanjutnya. "Udah Dinda duga, kak Kana itu salah paham."
"Salah paham? Maksudnya apaan sih?"
Dinda berdehem, menit berikutnya ia mulai menceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi.
***
"Lo serius Din? Nggak lagi coba ngibulin gue, kan?" Sepulang sekolah, Elang dikejutkan oleh kabar dari Dinda lewat sambungan telepon. Cowok itu masih duduk dibangkunya seorang diri, kelas sudah kosong.
Elang menggaruk alisnya, mencoba menyimak ucapan Dinda lagi. Perasaan Elang entah kenapa langsung lega dan plong, seolah beban yang selama ini ia rangkul dipundaknya sudah melebur.
"Mana ada Dinda bohong? Dinda nggak sekejam itu sama orang, kak Elang lagi nggak baik-baik aja, Dinda nggak tega lah bohongi kakak."
Jawaban dari Dinda semakin membuat senyuman Elang tersungging lebar. "Din, gue nggak tau mau ngomong apa lagi. Gue terlalu seneng, apapun yang udah lo lakuin, gue salut dan banyak terima kasih sama lo."
"Nah sekarang kak Elang tau kan apa yang Dinda mau?"
"Lo mau apa? Ngomong aja biar gue beliin, anggap aja sebagai hadiah dari gue karena lo udah mau bantuin gue nyelesain masalah ini. Makasih Din sekali lagi."
"Asiikk! Beneran kak?"
"Beneran," jawab Elang sungguh-sungguh.
"Untuk saat ini Dinda lagi nggak pengin apa-apa, nggak tau nanti sih. Kesempatan ini masih berlaku sampai kapan aja, kan kak?"
Elang mengangguk cepat. "Iya, asal jangan diluar batas kemampuan gue. Awas aja kalo lo minta yang aneh-aneh."
"Nggak kak, tenang aja," jawab Dinda. "Kalo gitu Dinda tutup dulu ya telponnya, Dinda udah di tungguin sama temen. Selamat ngejar cintanya lagi, semoga ditolak lagi ya hahaha."
Elang hampir saja mengumpat dan menyumpah serampah. Tapi sayang seribu sayang, Dinda sudah menutup akses telepon, membuat Elang tidak jadi melakukan aksinya. Cowok itu hanya menggertakkan giginya dan mendesah panjang.
Menit berikutnya, Elang menatap ke arah depan. Senyuman manis kembali bermain dibibirnya. Elang bisa mencobanya lagi untuk mendekati Kana. Tidak ada lagi hal-hal yang menjeda pergerakannya. Elang akan membuat Kana mau menerimanya. Apapun itu resikonya, Elang siap menanggung.
Dan kali ini, Elang yakin bahwa Kana tidak bisa mengelak lagi. Elang percaya, Kana akan menerima dan memberikan hatinya kepada Elang.
"KANAAAA!!! I'M COMIIINGG DARLING!"
Elang berdiri dan berlari kecil keluar dari kelas. Ia melompat kegirangan, tertawa dan berteriak tidak jelas. Elang sungguh bahagia hari ini.
Akibat terlalu aktif bergerak melompat kian kemari, kejadian nahas pun tidak bisa dihindari. Elang menabrak salah satu meja, membuatnya mengumpat dan mengaduh kesakitan.
"Siapa yang naruh meja di sini woy! Aduh pinggang gue geser."
***
Jadi cuma salah paham. Kana sudah salah mengambil langkah dan keputusan. Elang mendekati Dinda hanya karena Elang kurang percaya diri untuk mendekati Kana. Oleh karena itu Elang butuh sedikit bimbingan.
Namun sayang, Kana salah tanggap. Ia pikir Elang sudah tidak mengharapkan kehadirannya lagi dan memilih untuk cari pengganti.
Kali ini Kana sungguh merasa bersalah.
Ia salah sudah menghindari Elang, padahal jelas kalau cowok itu tidak bersalah. Kana yang selalu salah.
Hanya orang bodoh yang tidak mau mengharapkan kehadiran cowok sebaik kak Elang.
Ucapan Dinda terputar kembali di otak Kana. Benar, Kana tidak bisa mengelak lagi. Kana merasa tersindir oleh ucapan Dinda. Kana bodoh karena berusaha menyangkal perasaannya.
Bagaimanapun caranya, Kana harus meminta maaf. Ia salah, ia tidak boleh egois. Kesalahan Kana cukup fatal, dan jika dibiarkan akan terus membesar. Bisa jadi Elang membencinya.
Kalau Elang sudah terlanjur kecewa dengan dirinya, Kana hanya bisa menerima dengan lapang d**a. Perlu ditekankan lagi, di sini Kana yang salah. Kana tidak bisa berpikir apa-apa lagi untuk saat ini. Apapun reaksi Elang nanti, yang penting Kana harus mencoba meminta maaf terlebih dahulu.
Kana turun dari angkutan umum di jalan utama kompleks perumahannya. Setelah membayar ongkos, Kana melanjutkan jalan kaki menuju rumahnya. Hari belum cukup gelap. Kana tidak perlu khawatir jika dirinya dimarahi oleh ibunya. Kecuali jika ibunya memang ingin melimpahkan emosinya kepada Kana.
Elang.
Hanya satu nama yang sedari tadi memenuhi isi kepala Kana. Semoga saja Elang bisa menerima permintaan maafnya nanti. Kana berjalan menunduk, sesekali ia menendang kerikil yang berada didekatnya. Rasanya Kana belum bisa lega jika perasaan bersalah bersarang semakin kuat di benaknya.
Asik memikirkan Elang membuat Kana tidak sadar jika rupanya ia sudah berada di dekat rumahnya. Cewek berambut panjang itu kemudian meluruskan pandangannya.
Dan sesuatu yang ia lihat dihadapannya membuatnya terpaku beberapa saat. Langkah Kana terjeda bersamaan dengan bibirnya yang merapat. Bola mata cewek itu mengarah tepat ke motor besar yang terparkir tepat di gerbang rumahnya.
Sering berada diboncengan motor itu membuat Kana sudah cukup hapal siapa pemilik motor itu.
Hanya ada satu, yaitu Elang.
Kana meneguk ludahnya dengan kasar, kemudian ia menyapu pandangannya. Hingga akhirnya berhenti kepada seorang cowok berjaket hitam yang bersandar di gerbang rumahnya.
Pupil mata Kana membesar, ia mengerjap berulang kali ketika meragukan kemampuan indera penglihatannya. Tapi apa yang ia lihat tidak berubah.
Dia di sini. Berdiri di dekatnya. Pelupuk mata Kana langsung memanas. Tatapannya tidak berpindah dari cowok itu.
Bibir Kana sudah bergetar. "E-elang?"
Elang tersenyum menatap Kana, lesung pipitnya langsung tercetak dengan jelas. Tangannya kemudian melambai.
"Halo gebetan? selamat sore menjelang malam. Gimana kabarnya? Baik-baik aja atau butuh pundak buat sandaran?" Elang terkekeh diakhir kalimatnya.
Kana hampir saja menumpahkan air matanya karena terharu. Ia berjalan cepat mendekati cowok itu. "Ke-kenapa lo bisa ada di sini?" tanya Kana. Posisinya sudah berdiri di hadapan Elang saat ini.
Elang pura-pura memasang wajah berpikir. Jari telunjuknya mengetuk dagunya berulang kali. "Kenapa, ya? Kayaknya lagi kangen nih sama gebetan. Bakal lebih kangen sih kalo udah resmi jadi pacar."
Tidak pernah berubah. Elang hanya seorang cowok biasa yang tampil apa adanya. Menunjukkan sifatnya yang akan membuat orang lain nyaman berada didekatnya, termasuk Kana sendiri.
Kana tersenyum, lalu menghapus sudut matanya yang berair. "Lo nggak pernah berubah Lang."
"Emang nggak pernah berubah karena masih jomblo hehe, kalo hati Elang udah terisi oleh seseorang, baru deh berubah. Jadi nggak kesepian lagi deh."
Kana menghela napas panjang. "Gue boleh ngaku sesuatu?"
"Kana ngapain ijin ngomong?"
"Berarti boleh?"
Elang mengangguk.
"Gue seneng lo ada di sini, berdiri dihadapan gue sekarang. Lo muncul di saat yang tepat ketika cuma lo yang ada dipikiran gue. Makasih Lang."
"Elang lebih seneng lagi," tandas Elang, bergerak maju mengikis jarak. Cowok itu menarik napas panjang. Elang menatap Kana lekat-lekat, mereka saling beradu pandang. Tangan cowok itu kemudian bergerak, mengambil sejumput anak rambut Kana, lalu menyelipkan di belakang daun telinga cewek itu, membuat Kana terpaku.
Sudut bibir Elang terangkat kembali. "Harusnya Elang yang makasih sama Kana. Elang bisa ngomong lagi sama Kana. Kana nggak ngehindar seperti beberapa hari ini. Dan itu ...."
Belum sempat Elang melanjutkan ucapannya, Kana sudah terisak terlebih dahulu. Cewek itu menunduk, setetes air mata keluar dari matanya. "Maafin gue Lang."
Dan Elang merasa jika perasaannya jauh lebih lega.