Pekerjaan rumah sudah beres semua, akhirnya Kana bisa masuk ke dalam kamarnya, mengunci pintu, dan beristirahat agar tenaganya pulih. Ia kelelahan. Kemarahan ibunya beberapa menit yang lalu semakin membuat Kana menghela napas panjang.
Cewek itu mengelap peluh yang membasahi pelipisnya. Kemudian ia beringsut mendekati nakas. Sudah jadwalnya Kana meminum obat. Kana memandangi obat ditangannya. Tanpa itu, mungkin saja Kana sudah berbaring menyatu dengan tanah.
Hidup bergantung pada obat itu melelahkan.
Tapi Kana harus menelan bulat-bulat pemikiran dangkal seperti itu. Ia harus tetap semangat. Urusan hidup dan mati biar di atur oleh Tuhan. Kita sebagai manusia hanya menjalani semua perintahnya, dan menjauhi semua larangannya.
Hari ini Kana sungguh bahagia. Elang tidak lagi mempermasalahkan kesalahpahaman Kana. Memikirkan kejadian sore itu, membuat pipi Kana merona. Ia malu karena sudah menangis dihadapan cowok itu. Ini bukan pertama kalinya.
Kana kemudian mengecek ponselnya, hampir pukul sembilan malam. Ia harus tidur karena besok akan melalui hari-harinya yang berat. Kana hendak mematikan lampu kamarnya, sebelum tiba-tiba ketukan pelan di jendela kamarnya mengagetkannya.
Kana tersentak dan langsung menolehkan wajahnya. Jantungnya langsung bereaksi. Kana menelan ludah. Ia menatap jendela dengan harap-harap cemas. Kana tidak percaya sepenuhnya tentang hantu, tapi ...
Tok! Tok! Tok!
Kembali terdengar ketukan itu. Kana sudah setengah takut, hampir saja ia berlari keluar dari kamar. Sebelum akhirnya niatnya itu gagal ketika telinganya menangkap desisan suara yang memanggil namanya.
"Kana!"
Kana mengerjapkan matanya. Suara itu tidak asing baginya. Setelah berpikir beberapa saat, Kana langsung bergerak cepat dan membuka jendela. Rupanya benar yang ada dipikirannya saat ini, Elang berada di luar jendela. Cowok itu nyengir sewaktu wajah Kana terpampang dihadapannya.
"Hai," sapa Elang sambil melambaikan tangannya.
Kana menatap Elang tidak percaya. Kenapa cowok itu bisa ada di sini? Dan sejak kapan Elang tahu bahwa ini kamarnya? Kana menelan ludahnya dengan cemas. Ia menatap pintu kamarnya dengan takut. Ia yakin pintunya sudah terkunci dan ibunya tidak akan bisa masuk. Tapi tetap saja, ketakutan sudah menjalar di tubuhnya.
"Elang? Lo ngapain di sini?" tanya Kana panik. Ia takut jika keberadaan Elang ketahuan oleh orang rumah. Lana dan Luna pasti juga belum tidur.
"Kangen, pengin ketemu langsung. Tadinya mau video call, tapi lebih enak natap wajah Kana di depan mata," jawab Elang jujur.
Kana berusaha tenang, ia menghirup napas dalam. "Ya tapi ... lo kenapa bisa tau kamar gue?"
"Apa yang Elang nggak tau dari Kana?" tantang cowok itu. "Tenang aja, nggak bakal ketahuan kok. Elang udah taruh motor jauh-jauh dari sini."
Kana menggertakkan giginya cemas. Tubuhnya bergerak dengan gelisah. "Tapi tetap aja, kalo ibu lihat lo gimana? Lo bakal di marahin Elang. Ibu pasti marah sama gue." Kana menggigit bibirnya. "Baiknya sekarang lo pergi aja deh. Sana pulang buruan."
"Baru nyampe udah di usir, mana sempat obatin rasa kangennya?" tanya Elang. Bibirnya mengerucut ke depan.
"Bukan waktunya buat becanda Elang," sahut Kana gemas. "Lo pergi buruan, gue mau tidur."
"Kana kok panik gitu sih mukanya? Santai aja kali, Elang nggak bakal apa-apain Kana."
"Bukan gituuu ih!" Kana gemas, kakinya menghentak di lantai berulang kali. "Gue takut kalo ibu lihat lo, terus marahin lo. Turutin kemauan gue, ya? Lo pulang aja."
"Kalo Elang nggak mau?" tanya Elang enteng, cowok itu menyangga dagunya sambil menatap Kana dengan alis terangkat satu. Lesung pipitnya terlihat jelas ketika tersenyum.
"Harus mau!"
"Nggak mau, masih kangen Kana."
Kana menatap Elang kesal karena cowok itu tidak mau mendengarkan apa yang dirinya ucapkan. "Ya udah, terserah lo aja. Gue mau tutup jendelanya. Selamat malam." Kana mengusung senyuman secara paksa, ia hendak menutup jendela, tapi Elang menahannya.
"Bentar aja, Elang pengin ngobrol sama Kana. Nggak bakal ketahuan asal nggak berisik. Masa sih udah jauh-jauh datang ke sini langsung di usir gitu? Nggak ngehargai perjuangan Elang banget."
"Yang nyuruh lo datang ke sini siapa?" ucap Kana, sedikit berang.
"Ya Elang sendiri sih." Cowok itu menggaruk belakang kepalanya sambil tersenyum, gigi putihnya yang tersusun rapi kini terlihat jelas.
"To the point aja, mau ngomong apa?"
"Judes banget responnya."
"Ck, gue lagi takut Lang. Gimana kalo ibu tau kalo lo ada di sini, ibu pasti mikir yang enggak-enggak."
"Jangan mikir yang nggak pasti gitu," ujar Elang. "Ibu Kana tidur jam segini, tenang aja. Lagian kamar Kana di kunci, kan? Udah aman berarti."
"Ya udah cepetan, mau ngomong apa?"
"Santai aja dong, let it slow. Jangan buru-buru gitu."
"Gue mau tidur!" tandas Kana.
"Nggak boleh sekarang, ada yang mau pendekatan nih hehehe."
"Lo jauh-jauh ke sini buat ngurus sesuatu nggak penting. Emangnya lo nggak ada kerjaan lain lagi?"
"Ada kok," jawab Elang.
Alis Kana menukik satu ke atas. "Apa?"
"Selain mikirin Kana, kerjaan Elang yang lain itu ngerinduin Kana, bayangin Kana yang lagi senyum, mimpiin Kana, bayangin wajah Kana yang cantik, wangi rambut Kana. Dan hal-hal lain seputar Kana. Kana itu udah kayak matahari di dunia Elang, selalu menerangi hehehe."
Kana menahan senyumannya, pipinya sudah memerah. Kana memalingkan wajahnya karena malu. "Ngomong apaan sih!" ucapnya cukup keras.
Elang tersenyum. "Jadi?"
"Jadi apa?"
"Elang kayak apa di hidup Kana?"
"Maunya kayak apa?"
"Ya terserah Kana."
Kana berpikir sejenak, menatap cowok dihadapannya sambil menyipitkan matanya. Sejenak Kana melupakan rasa takutnya. "Dihidup gue, lo itu kayak ... Orang."
"Kok orang?" tanya Elang bingung. Sedikit kesal karena ia sudah berekspektasi tinggi.
"Lo kan emang orang, emangnya lo mau kalo gue manggil lo orang utan?" Kana tertawa kecil sambil menggeleng. "Nggak mau, kan?"
"Ya kan, Elang mintanya perumpamaan. Kayak tadi contohnya, Kana itu bagai matahari dihidup Elang. Nah kayak gitu, masa sih nggak paham?"
"Lo temen gue Lang," jawab Kana. "Temen yang paling pengertian. Makasih ya selalu bikin gue senyum." Entah mendapatkan keberanian dari mana, Kana mengusap puncak kepala Elang dengan lembut. Senyumannya semakin lebar. "Makasih atas kehadiran lo selama ini."
Cuma teman?
Jahatnya ....
Elang berusaha menampilkan raut wajah baik-baik saja dan tidak terluka. Ia cowok, tidak sepatutnya untuk sakit hati. Tapi sayang, hatinya berkata lain. Elang nyesek.
Perhatian kecil yang selama ini Elang tunjukkan kepada Kana hanya dianggap teman. Elang berusaha untuk tersenyum. Ia menatap Kana sedih. Padahal Elang mengharapkan lebih dari itu.
"Jadi kita temenan?" tanya Elang.
"Emangnya kenapa? Lo nggak mau?" tanya Kana, ekspresi yang beberapa detik lalu terlihat bahagia, kini lebur. Senyum itu tidak hadir lagi. "Lo masih belum rela maafin gue soal kesalahan gue selama ini sama lo?"
"Bukan itu Kana," ucap Elang. Cowok itu mengeluarkan napas pendek dan menggeleng. "Elang ... sayang Kana." Tidak berani menatap kedua bola mata Kana, Elang menunduk.
"Tapi lo cuma teman gue Lang."
"Iya tau," jawab Elang lesu. Ia kembali menatap Kana. Kana tersenyum lagi, meskipun tidak selebar beberapa saat lalu.
Kana terkekeh setelah itu, membuat Elang bingung dan memicingkan matanya. Kana memajukan wajahnya, membuat Elang mendelik. Cowok itu tampak salah tingkah. Jarak wajah mereka hanya terpaut beberapa senti. Hidung mancung keduanya bahkan hampir bersentuhan.
Kana memiringkan kepalanya, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Elang. "Maksud gue, teman hidup."
Elang terkejut, bola matanya terbelalak. Ia menatap Kana tidak percaya. Apa yang Kana omongin barusan itu nyata? Atau hanya main-main semata?
"Ja ... jadi, Elang sama Kana sekarang pa-pacaran?"
Kana menunduk cepat, bermaksud menghindari tatapan Elang. Jantungnya sudah terpompa keras. Kana menggigit bibir bawahnya. "Maunya gimana?"
Elang tersenyum. "Maunya ... mulai sekarang kita papa mama-an. Kana manggil Elang papa, terus Elang manggil Kana mama. Setuju nggak?"
Kedua alis Elang naik turun, menggoda Kana.
***
Tatapan kosong Kana mengarah ke depan, ia berjalan di lantai koridor rumah sakit dengan langkah pelan. Cewek itu tidak memperhatikan situasi di sekitarnya, sampai akhirnya ia menabrak bahu seseorang. Kana mengerjapkan matanya, menatap orang yang ia tabrak.
"Mbaknya kalo jalan lihat-lihat dong," ujar seorang ibu-ibu yang barusan Kana tabrak. Air mukanya nampak kesal. Menatap Kana berang dengan matanya yang lebar.
Kana mengangguk sekilas, bibirnya bergerak. "Iya, maaf Bu, saya yang salah." Kana mengakui karena memang dirinya tidak lihat situasi di sekitarnya yang memang cukup padat. Kana melanjutkan perjalanan keluar dari rumah sakit setelah meminta maaf.
Ucapan Dokter Farhan kembali memenuhi kepalanya.
Saya bingung mau ngomong apa lagi sama kamu Kana. Saya nggak mau kamu sedih, tapi saya memang harus kasih tahu kamu karena kamu sendiri memang harus tau. Saya udah pernah ingatkan kamu, bahkan terlalu sering. Kamu jangan banyak ngelakuin aktivitas yang berat. Dan sekarang ... Jantung kamu lebih lemah dari sebelumnya. Kalo kamu nggak bisa jaga diri, nyawa kamu taruhannya Kana.
Setetes air mata turun membasahi pipi Kana. Tapi, sedetik kemudian ia langsung mengusapnya. Kana tidak tahu harus merespons seperti apa ketika penjelasan Dokter Farhan dapat ia tangkap dengan jelas. Kana bingung, takut, dan merasa tidak lagi memiliki semangat hidup.
Ia akan gagal. Dan berakhir menutup mata.
Kana menghirup udara sebanyak mungkin ketika dirasa dadanya sesak. Ia butuh udara lebih banyak. Kana merasa lelah.
"Kana!"
Kana berhenti melangkah. Ia diam dan memikirkan suara seseorang yang memanggil namanya. Kana berpikir sejenak, kemudian menggeleng pelan. Tidak mungkin ia bertemu dengannya di tempat seperti ini. Kana masih berada di area rumah sakit.
Kana hendak melanjutkan langkah kakinya, namun tiba-tiba saja bahunya tersentak. Kana sedikit bergetar, sebelum akhirnya ia menolehkan kepalanya ke belakang.
Kana salah. Dia memang di sini. Tapi, apa yang membuatnya ada di tempat seperti ini?
Kana menatap seorang cowok berhoodie hitam yang sedang menatapnya sambil melambaikan tangannya. Kana belum juga merespons. Cewek itu hanya menatap wajahnya, wajah yang kemarin malam muncul di jendela kamarnya. Dia, cowok yang sekarang mengisi hatinya.
Haruskah Kana berjuang bahagia demi dirinya?
Kana terpaku, tatapannya tidak beralih dari wajah Elang. Bahkan ia tidak berkedip. Berada di dekatnya, Kana memang akan terasa hidup dan mudah melupakan masalahnya. Melihat tawa dan senyumnya, cukup membuat Kana terlena.
Elang adalah penguatnya. Kana bertahan karena cowok itu. Pandangan Kana semakin mengabur. Ia tersenyum kecil, bersamaan dengan air matanya yang turun.
"Kana?" Elang panik ketika melihat Kana mengeluarkan air matanya. Elang langsung mengambil sikap, menyentuh kedua bahu Kana. "Kana kenapa nangis? Ada yang jahatin Kana di sini? Atau apa? Bilang sama Elang Kana."
Elang mengguncangkan bahu Kana cukup kuat. "Kana harus kasih tau Elang sekarang. Elang nggak rela ada orang yang gangguin Kana, sampai buat Kana nangis kayak gini. Ngomong sama Elang, biar Elang pukul mereka."
Kana menggeleng, bibirnya bergetar. Ia mendongak menatap Elang. Cowok itu terlihat sangat khawatir. Kana bisa merasakan itu. Elang memang benar-benar sayang kepadanya. Tapi, apa rasa sayang itu akan bertahan lama? Sampai kapan Elang bertahan untuk orang seperti dirinya?
"Kana ...." Elang menggumam lirih. Ia mengusap air mata Kana dengan jempol tangannya. "Jangan nangis, ya?" Elang tersenyum, kemudian menarik Kana untuk masuk ke dalam pelukan hangatnya.
Mereka tidak peduli dengan tatapan orang-orang disekitarnya. Terlebih Elang, ia tidak memikirkan apapun saat ini, kecuali Kana. Ia tidak tahu apa yang membuat Kana menjadi seperti ini. Terlihat begitu rapuh dan kecil. Elang tidak suka Kana menangis. Kana tidak boleh sedih, Kana harus selalu bahagia. Dengan ataupun tanpa Elang di sisinya.
"Elang, hiks." Kana mengeratkan pelukannya. Ia menangis semakin kencang. Air matanya membasahi pakaian yang Elang kenakan. Kana merasa sesak. Hidupnya di dunia tidak lama lagi akan berakhir.
"Elang tau saat ini Kana pasti ada masalah. Kana boleh cerita kapan pun Kana mau, Elang bakal siap jadi sandaran buat Kana. Kana nggak boleh sedih lagi, Elang selalu ada buat Kana. Elang sayang banget sama Kana." Elang mengeratkan pelukannya. Elang yakin, Kana pasti punya masalah yang berat. Walaupun Elang belum mengetahuinya, tapi ia yakin kalau dirinya bisa membuat Kana merasa aman dan bahagia jika di dekatnya.
Kana melepaskan pelukan Elang. Ia mengusap air matanya. Ia harusnya malu menangis dihadapan Elang, lebih-lebih lagi di tempat seperti ini. Kana merasa .... Bodoh.
Tapi, ada sesuatu yang membuat Kana merasa lebih baik. Kana percaya kalau Elang memang benar-benar sayang kepadanya. Kana bisa memegang kata-kata itu. Kana harus semangat, ia harus kuat, ia harus tetap menjalani hidup sebagaimana mestinya.
Elang melihat Kana yang lebih baik dari beberapa menit lalu. Elang menghela napas lega, kemudian memberanikan diri untuk bertanya. "Ada yang mau Kana ceritain, hm?"
Kana menggeleng. "Nggak ada."
"Yakin?"
Kana mengangguk.
"Kana jangan nutupin kesedihan sendiri. Ada Elang yang selalu siap menampung kesedihan Kana. Kalo ada apa-apa bilang, jangan sungkan minta bantuan sama Elang. Elang bakal selalu ada buat Kana. Dan Kana harus ingat itu." Elang menghirup napas dalam-dalam. "Kana bahagia, Elang lebih bahagia lagi. Elang tau kalo sebenarnya Kana ada masalah. Kalo nggak ada, nggak mungkin Kana nangis kayak tadi. Elang nggak bakal maksa buat Kana cerita, tapi Elang bakal selalu siap nunggu."
Kana menatap Elang tanpa berkedip. Bola matanya kembali berkaca-kaca. Cowok dihadapannya ini selalu membuatnya merasa lebih baik. Tapi, apa benar Elang selalu berada di sisinya ketika ia tahu bahwa Kana memiliki penyakit yang serius? Bahkan sewaktu-waktu bisa merenggut nyawanya?
Jika tidak, Kana akan mulai menjauhi cowok itu meskipun sudah merasa nyaman. Kana bakal terima apapun konsekuensinya. Ia terima jika Elang tidak mengharapkan kehadirannya lagi.
Mungkin suatu saat Elang bakal menjauhi Kana setelah tahu apa yang selama ini Kana pendam dan sembunyikan. Kana sudah siap jika masa-masa itu datang.
Tak apa, Kana sudah biasa menerima luka dan memendam dalam kesendirian.