"Ini ponselmu," kata Hande sambil menyodorkan ponsel itu pada pemiliknya.
Lakeswara menerima ponselnya dan menatap layarnya sekilas. "Sebenarnya kau menganggap aku ada atau tidak? Kenapa kau sejak tadi kau berusaha mengabaikan pertanyaanku?" tanyanya geram.
Ia tidak bisa menahan emosinya lagi melihat sikap istrinya. Jika tidak mungkin berkata jujur kalau ia ingin menemui selingkuhannya. Setidaknya, buat alasan apa pun untuk menjawab pertanyaannya. Tidak berpura-pura seolah tidak mendengar pertanyaan yang berkali-kali ia lontarkan.
Sontak, Hande langsung mengangkat kepala menatap Lakeswara terkejut. Jantungnya berdegup kencang mengakui kesalahannya. Raut wajahnya menunjukkan rasa takut dan kekhawatiran.
"Maaf, aku tidak dengar. Memang kau tanya apa tadi?" Hande berpura-pura bodoh seolah ia tidak tahu kemarahan suaminya.
Lakeswara menatap Hande kesal. Daripada nanti ia keceplosan dan menguak kebohongan istrinya yang belum sempurna ia dapatkan informasinya. Lebih baik ia pergi tanpa perlu menjelaskan apa pun.
"Lake, tunggu!" teriak Hande melihat suaminya keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Hande mulai panik. Ia bergegas memakai sandal dan mengejar suaminya keluar. Ia berlarian dan langsung mencekal tangan suaminya tepat di depan pintu lift.
"Lepaskan tanganku!" seru Lakeswara sambil menghempaskan tangan istrinya.
"Sayang, maaf. Aku benar-benar tidak mendengar ketika kau bertanya," rengek Hande. Ia lekas berdiri di depan Lakeswara dan merengkuh kedua jemarinya.
"Aku sudah sangat terlambat. Jadi, biarkan aku pergi," ujar Lakeswara datar.
"Iya, tapi jangan marah. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi, jika kau masih marah padaku. Aku tidak akan bisa tenang, Sayang," bujuk Hande melihat kemarahan di bola mata suaminya.
Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Tidak, aku sama sekali tidak marah. Kau tahu bukan, kalau pekerjaanku sangat banyak di dua perusahaan. Jadi, biarkan aku pergi."
Pria itu berusaha menahan emosinya kuat-kuat. Ia terpaksa harus tersenyum lembut meski hatinya murka. Ini bukan saatnya bagi Lakeswara untuk memberontak. Ada saat di mana waktu yang benar-benar ia tunggu. Dan kapan waktunya, hanya waktu sendiri yang bisa menjawabnya.
"Sebentar. Biarkan aku memelukmu sebentar saja." Hande langsung memeluk suaminya. Ia tiba-tiba merasa jauh padahal mereka sangat dekat.
Kedua tangan Lakeswara tetap setia berada di tempat. Ia tidak memiliki rencana sekedar untuk balas memeluk. Hatinya sudah langsung mengeras bagai es yang ada di kutub mengingat penghianatan istrinya.
"Cukup, Hande. Aku sudah sangat terlambat," ujar Lakeswara sambil menjauhkan tubuh istrinya.
"Ah iya, maaf. Nanti kalau di Candramawafood kau membutuhkan bantuan, aku siap membantumu," balasnya sambil menunjukkan kepedulian.
Dulu sebelum mengenal Lakeswara, ia pernah bekerja selama beberapa tahun di Metrofood. Beberapa ide yang ia buat pun membuat Metrofood bangkit berdiri tegak, meski harus diubah menjadi Candramawafood. Jadi, ia akan dengan senang hati membantu pekerjaan suaminya di kantor. Barangkali saja, ia bisa sedikit membantu meringankan beban suaminya mengurus perusahaan.
Pria itu mengangguk dan berkata, "Aku berangkat dulu."
Lakeswara masuk ke dalam lift tanpa lepas dari penglihatan Hande. Setelah pintu lift benar-benar tertutup, barulah wanita itu bisa menghembuskan nafas lega. Yah, meskipun seluruh tulang di tubuhnya terasa lemas.
"Untung saja Lake bisa diatasi. Kalau tidak, mungkin aku akan menyesali kejadian hari ini," gumam Hande sambil menyentuh dadanya dengan tubuh yang disandarkan ke dinding.
Setelah itu, ia masuk ke apartemen dan langsung menuju ke dapur. Ia mengambil gelas kosong dan menuangkan air ke dalamnya hingga penuh. Kemudian, ia meneguknya sampai habis tanpa mengambil atau membuang nafas. Gelas kosong itu langsung ia hentakkan ke meja diiringi hembusan nafas lega yang entah sudah ke berapa kali.
"Aku yakin, pasti dia marah karena aku terlambat. Bisa-bisa, bukannya aku yang dipuaskan justru aku yang disuruh memuaskan dia," lirih Hande sambil bergegas mengambil kunci mobil, tasnya, dan keluar menuju parkiran bawah tanah.
Sementara di jalan, Lakeswara merutuki pekerjaannya yang sangat banyak. Andai ia tidak mengurus dua perusahaan sekaligus. Mungkin ia bisa membuntuti Hande pergi menemui selingkuhannya.
"Sial!" umpat Lakeswara kesal.
Pria itu memukul setir mobil beberapa kali sebagai pelampiasan kekesalannya. Padahal, ia memiliki anak buah yang sangat banyak. Hanya perlu menjentikkan jari dan mereka siap melakukan apa saja perintahnya. Sepertinya, sejak dulu Lakeswara memang tidak pandai untuk sekedar memata-matai orang. Selalu alasan klise yang ia gunakan.
"Aku harus menyewa detektif atau pakai anak buahku saja, ya?" bingung Lakeswara.
Dulu, ia memiliki pengalaman buruk ketika menyewa detektif. Semua informasi Ragana yang ia minta selalu gagal didapatkan. Ia membayar mahal, tetapi hasilnya selalu di bawah kata memuaskan.
Jika ia meminta anak buahnya untuk memata-matai Hande. Ia takut mereka akan mengadu pada Kanagara, ayah Lakeswara sendiri. Akan jadi seperti apa, jika sang ayah tahu ia diselingkuhi. Terlebih, sang ayah dan seluruh anggota keluarganya tidak setuju pernikahannya dengan Hande. Bahkan mendiang neneknya pun sama sekali tidak setuju, mengingat bagaimana keinginannya untuk menjodohkan Lakeswara dengan Hexagon.
Lakeswara langsung membanting setir dan menepikan mobilnya. Rasa-rasanya ia tidak bisa mengemudi dengan baik, jika pikirannya sedang kacau. Jadi, daripada terjadi hal buruk lebih baik ia menepikan mobilnya dan berusaha berpikir.
"Kalau Papa sampai tahu, pasti aku akan diejek dan ditertawakan. Aku berharap Oza tidak menceritakan masalah Hande pada Papa dan Mama," harap Lakeswara sambil menghela nafas panjang.
Salahnya selalu menolak dijodohkan dengan Hexagon. Salahnya memilih menikahi Hande yang baru ia kenali di perusahaan tanpa tahu asal-usul dan pribadi wanita itu. Kini, ia hanya perlu memetik buah dari pohon yang sama sekali tidak diberi restu oleh pemilik tanah di mana ia menanam pohonnya.
"Apa aku minta pendapat Raga, saja?" Pria itu nampak berpikir bagaimana baiknya, "Iya, benar. Aku tanya Raga saja yang jelas-jelas bisa menjaga rahasia," imbuhnya.
Ia kembali mengemudikan mobilnya dan langsung menuju perusahaan. Ia tidak bisa terus tinggal diam sementara ia tidak memiliki bukti sama sekali tentang perselingkuhan istrinya di belakangnya.
Sampai di perusahaan, ia lekas masuk ke dalam lift dan mencari di mana ruangan Ragana berada. Tepat di depan sebuah ruangan yang terdapat papan bertuliskan direktur utama, Lakeswara membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
Pemilik ruangan sempat terkejut. Namun, melihat sosok Lakeswara membuat keterkejutannya langsung musnah. "Ada apa?" tanya Ragana.
"Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu," sahut Lakeswara sambil melangkah masuk ke dalam.
Pria itu menghempaskan tubuhnya di sofa. Menyandarkan tubuhnya dan menengadahkan kepalanya ke atas sambil menyugar rambutnya ke belakang. Ekspresi wajahnya terlihat sangat kacau dan Ragana bisa melihatnya dengan sangat jelas.
"Memangnya hal penting apa yang ingin kau bicarakan, Lake?" Ragana beranjak bangun dan melangkah ke arah adik iparnya.
"Ini tentang Hande. kau tahu bukan, kalau ada yang tidak beres dengan dia?" Lakeswara membenarkan posisi duduknya sambil menghadap ke arah Ragana yang sedang berjalan ke arahnya.
"Ya, aku tahu. Sebelumnya, aku dan Oza pernah melihat Hande sedang bermesraan dengan seorang pria di sebuah restoran. Jadi?" Ragana ingin Lakeswara menjelaskan lebih detail tentang apa yang membuat adik iparnya itu, tiba-tiba menemuinya selain urusan pekerjaan.
"Aku hanya sedang bingung saja. Aku butuh pendapatmu, Raga." Lakeswara kembali menyandarkan tubuhnya ke belakang, "Haruskah aku menyewa detektif untuk mengawasi Hande atau memakai anak buahku saja?"
"Itu hal penting yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Ragana tidak percaya.
Bagaimana bisa adik iparnya tidak bisa memilih dua pilihan yang sangat mudah untuk dipilih. Bukankah kedua pilihan itu sama baiknya?
"Kau tidak tahu masalahnya, Raga. Aku memiliki alasan penting mengapa sampai meminta pendapat darimu," ujar Lakeswara mengerti maksud pertanyaan yang diselipkan sebuah ejekan di dalamnya.
"Masalah apa? Bagaimana aku bisa tahu kalau kau saja tidak mengatakannya padaku?" tanya Ragana ikut duduk di sofa. Hanya saja, ia duduk di seberang meja.
Akhirnya, Lakeswara menjelaskan alasan mengapa ia terlihat kebingungan dan lebih memilih untuk meminta pendapat kakak iparnya.
"Oh, jadi begitu. Baiklah, aku mengerti." Ragana kembali beranjak dan berjalan ke sana kemari, "Kalau menurut aku, lebih baik kau suruh anak buahmu saja," imbuhnya setelah beberapa saat berpikir.
"Kalau anak buahku sampai mengadu sama Papa bagaimana?" Lakeswara memicingkan matanya mengetahui pilihan yang Ragana ambil.
"Astaga, Lake! Kau itu pintar, tapi kenapa jadi bodoh seperti ini? Kau hanya perlu mengatakan pada anak buahmu untuk merahasiakannya dari Papa. Lagi pula, kalau seandainya Papa tahu memangnya kenapa? Aku yakin Papa akan sangat mendukungmu," sanggah Ragana benar-benar tidak habis pikir dengan sikap adik iparnya.
Ia tahu seperti apa sifat ayah mertuanya. Di luar memang terlihat sangat dingin. Kadang cara bicaranya suka sangat ketus dan menyakitkan hati. Namun di balik semua itu, ada kelembutan yang sengaja disembunyikan.
"Aku malu, Ga. Aku malu karena wanita yang aku pilih justru menghianatiku seperti ini. Kau ingat bukan, bagaimana kerasnya aku menolak dijodohkan dengan Hexa dan justru memilih menikahi Hande? Aku malu harus menghadapi Papa dan Mama." Lakeswara terlihat sangat menyesali perbuatannya di masa lalu. Namun sayangnya, ia tidak bisa memutar kembali waktu.
"Ya sudah. Sekarang kau pilih saja, mau merahasiakannya dari Papa dan meminta anak buahmu untuk tutup mulut atau mengatakannya. Kalau saran aku, katakan semuanya pada Papa dan Mama. Minta dukungan dari mereka agar semuanya dipermudah," saran Ragana tidak ingin melihat adik iparnya berada dalam kesulitan.
"Apa perlu?" tanya Lakeswara ragu.
Jujur, ia tidak memiliki keberanian untuk menceritakan masalahnya pada sang ayah. Ia benar-benar takut sang ayah akan marah.
"Kalau kau bertanya padaku, maka akan kujawab perlu. Kau tahu kenapa? Karena aku tahu orang seperti apa Papa. Kalau kau tidak berani, setidaknya katakan pada Mama. Aku yakin, Mama akan memberimu banyak solusi terbaik," jelas Ragana menggebu.
Sejak pertama kali bertemu dengan Shalom, Ragana sudah langsung merasa nyaman. Ia menganggap wanita itu sebagai ibu kandungnya sendiri. Begitu juga dengan Shalom yang langsung menganggap Ragana menjadi anaknya sendiri.
Lakeswara terdiam sesaat. Ia tidak tahu, apakah harus mengatakannya atau tidak pada sang ayah. Meskipun ia sudah mendengar saran dari kakak iparnya, tetapi ia tetap masih ragu. Ia takut sang ayah akan marah dan mengejeknya. Padahal, ia tahu sendiri seperti apa sosok ayahnya. Selalu mengutamakan kebahagiaan anaknya di atas segalanya.
"Aku ke ruanganku dulu." Lakeswara beranjak berdiri dan berjalan ke arah pintu. Namun, tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya tepat ketika ia hendak memutar gagang pintu, "Ngomong-ngomong, kapan kau siap menggantikan posisiku?"
"Nanti setelah aku layak," sahut Ragana.
Baru bergabung di perusahaan selama satu tahun sudah ditanya kapan siap menjabat sebagai posisi CEO. Padahal, belum lama ini ia menjabat sebagai direktur utama. Karena sebelumnya, ia benar-benar masuk dan bekerja di perusahaan itu di mulai dari karyawan biasa. Ia menolak ketika ayah mertuanya memberikan posisi yang bagus. Ia tidak ingin mendapatkan posisi itu secara instan.
"Kapan? Ayolah, Ga! Aku lelah mengurus dua perusahaan sekaligus. Aku ingin fokus membesarkan Candramawafood," rengek Lakeswara terlihat sangat putus asa.
"Satu tahun lagi. Aku janji, setelah lulus aku akan langsung menggantikan posisimu," janji Ragana.
Ia merasa belum pantas dan kemampuannya perlu diasah lagi. Ia tidak ingin asal menerima tawaran Lakeswara dan membuat perusahaan tidak stabil. Apalagi perusahaan itu sangat besar. Ia takut setelah kepemimpinannya di perusahaan itu akan mengalami keterpurukan.
"Astaga, Raga! Apa kau gila? Satu tahun itu terlalu lama," terkejut Lakeswara dengan raut frustasi.
Sebelumnya, ia memang berpikir hal yang sama dengan Ragana. Namun, mendengar hal itu keluar langsung dari mulut orangnya membuat Lakeswara hampir gila.
"Tidak kalau tidak ditunggu. Jadi, biar semuanya mengalir seperti air. Aku yakin, waktu satu tahun tidak akan terasa, jika kau tidak menunggunya. Oke?" sanggah Ragana santai.
"Sial!" Lakeswara menatap Ragana sinis. Kemudian, ia langsung membuka pintu dan menutupnya dengan sangat keras menimbulkan suara gebrakan yang cukup memekakkan telinga.
Pria itu lekas pergi ke ruangannya dan bergegas mengeluarkan ponselnya yang ada di saku jas. Kemudian, ia menghubungi salah satu anak buahnya untuk membuntuti Hande dan memberinya informasi apa saja yang istrinya lakukan di belakangnya.
"Halo, Raptor."
Setiap pemimpin anak buahnya di organisasi memiliki julukan tersendiri. Jika ada sepuluh pemimpin, maka akan ada sepuluh julukan juga. Setiap pimpinan itu pun memberi julukan khusus untuk anak buahnya. Jadi, mereka tidak menggunakan nama asli mereka. Sehingga, keluarga mereka akan tetap aman, kalau-kalau ada musuh yang ingin membalas dendam.
"Iya, Bos. Apa ada yang bisa saya bantu?"
"Ada tugas penting untukmu, tapi tidak ada satu orang pun yang boleh tahu kecuali kau."
Sepertinya Lakeswara lebih memilih menyembunyikan masalahnya dari ayah dan juga ibunya. Pria itu terlihat tidak mempercayai ayahnya sendiri. Padahal, Ragana yang hanya seorang menantu saja sangat mempercayai Kanagara.
"Siap, Bos. Jadi, tugas penting apa yang akan Bos berikan?"
"Buntuti ke manapun istriku pergi dan laporkan apa saja yang dia lakukan di luar sana."
"Baik, Bos. Kalau begitu, saya akan langsung bergerak."
"Bagus. Untuk lokasi awal, kau bisa mencarinya di setiap hotel yang tidak jauh dari apartemen tempatku tinggal. Kau akan menemukan istriku di salah satu hotel itu."
"Siap, Bos "