Mendapatkan Bukti

1025 Kata
Bagian 10 Terdengar suara pintu terbuka, muncullah sosok seorang lelaki yang kukenal dari balik pintu itu. Ia adalah orang yang sudah mendampingiku selama empat tahun, dan ia juga lah yang telah membuatku kehilangan janinku. "Dek." Mas Farid menghampiriku, mengelus kepalaku kemudian mengecup keningku. Aku membuang muka karena masih marah dan benci padanya. "Ma." Mas Farid meraih tangan Mama, tapi Mama menepisnya. "Kenapa baru datang Sekang?" tanya Mama ketus. "Farid baru pulang dari kantor, Ma, terus langsung pulang ke rumah!" Mas Farid menundukkan kepalanya, mungkin ia takut melihat Mama. Selama menjadi menantu Mama, Mas Farid belum pernah sekalipun mendapatkan perlakuan buruk atau kata-kata kasar dari Mama. Mama sayang sama Mas Farid dan sudah menganggapnya seperti anak sendiri. "Maafkan Farid, Ma," lirihnya, masih belum berani menatap wajah mama. "Oh ya, siapa wanita hamil yang bersamamu tadi?" Mama menatap wajah Mas Farid dengan tatapan tajam. "Itu sepupunya Farid, Ma," kilahnya untuk menutupi kebohongannya. "Sepupu atau selingkuhan?" Mas Farid terlihat terkejut mendengar pertanyaan mama. Mungkin ia tidak menyangka jika pertanyaan seperti itu akan keluar dari mulut mama. "Kenapa pertanyaan Mama tidak dijawab?" Mama bertanya sambil melipat tangannya di depan d**a. "Dia Rini, sepupunya Farid, Ma. Farid tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Farid hanya kasihan melihatnya, suaminya sudah meninggal dan dia sekarang sedang hamil." Mas Farid menjelaskan siapa wanita itu dan berusaha meyakinkan mama. "Kamu kasihan pada wanita itu? Apa mama tidak salah dengar. Nyatanya bukan itu yang mama lihat, mama memperhatikan caramu memperlakukan wanita itu. Kamu memperlakukannya dengan istimewa. Lagi pula, kamu 'kan lebih pedulikan pada wanita itu dibanding istrimu sendiri. Kamu lebih mementingkan wanita itu, sedangkan istrimu sendiri tidak kamu pedulikan. Jika saja kamu mau mengangkat telpon dari Adel, mungkin Adel tidak akan kehilangan janinnya. Adel keguguran gara-gara kamu." Mama membentak Mas Farid, ini kali pertama mama marah pada Mas Farid. "Apa? Keguguran?" Mas Farid menatapku, seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh mama. Mas Farid mendekatiku, kemudian mengelus pelan perutku, "maafin Mas, Dek. Mas lalai, Mas tidak bisa menjagamu." Ia menitikkan air mata, dan aku tidak tau apakah air mata itu tulus atau palsu. Saat ini, aku tidak bisa lagi mempercayai setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya setelah mengetahui semua kebohongan yang disembunyikannya. "Tuh, kan, bahkan kamu tidak tahu kalau istrimu keguguran. Kamu terlalu fokus mengurusi kehamilan wanita itu sehingga kamu mengabaikan Adel, istrimu sendiri." Mama mulai meninggikan nada bicaranya. "Dek, Mas minta maaf ya. Mas mohon, maafin Mas ya!" Mas Farid meraih tanganku, tapi aku menepisnya. Bahkan seribu kata maaf darinya pun sudah tidak berarti bagiku. "Oh ya, kamu mau tahu kenapa Adel bisa keguguran? Adel keguguran setelah meminum jus buah buatanmu. Apa kamu mencampurkan sesuatu ke dalam jus itu?" Mama sengaja memancing Mas Farid untuk melihat seperti apa ekspresi nya. "Nggak, Ma. Farid tidak mencampur apapun ke dalam jus buah itu. Mana mungkin Farid melakukan hal itu, Farid sangat menyayangi Adel, Ma." Mas Farid berkilah. Aku tahu betul kalau Mas Farid lah yang membuat jus itu, tapi ia tidak mengakuinya. "Baiklah jika memang bukan kamu pelakunya. Mama akan mencari tahu sendiri. Jika mama sudah mengetahui siapa pelakunya, mama tidak akan segan-segan untuk menjebloskannya ke penjara," ancam mama. Wajah Mas Farid seketika berubah, mungkin ia takut pada ancaman mama. Sorot matanya juga meredup, aku tahu Mas Farid merasa bersalah padaku, tapi penyesalannya darinya sudah tidak ada artinya lagi. "Dek, Mas mohon, tolong maafin Mas. Jika kamu mau mukul Mas, pukul saja, Dek. Asalkan kamu bersedia maafin Mas." Mas Farid terus memohon, tapi aku tidak menghiraukannya. Sepertinya Mas Farid sengaja berkata seperti itu untuk mengalihkan pembicaraan. Jikalau pun aku memukulnya dan melampiaskan semua kemarahanku, tidak ada gunanya lagi. Janinku tidak akan kembali walaupun aku memukulnya hingga babak belur. "Sudah, sudah. Sekarang kamu pergi ke kasir, bayar biaya pengobatan istrimu dan tanyakan pada dokter, kapan Adel boleh pulang," perintah Mama kepada Mas Farid. "Boleh pinjam uang Mama dulu, nggak? Farid lagi nggak pegang uang, Ma." Mas Farid tampak ketakutan melihat Mama saat mengatakan kalau ia sedang tidak memiliki uang. "Apa? Apa Mama tidak salah dengar? Kamu tidak memiliki uang untuk membayar biaya berobat istrimu?" Mama menghela nafas, mengelus dadanya sambil beristighfar beberapa kali. "Mama nggak habis pikir, Farid. Wanita itu kamu dampingi saat periksa kehamilan dan kamu juga yang membayar biayanya. Benar-benar nggak punya hati." Nada bicara mama semakin pelan, mungkin mama takut jika penyakit jantungnya kumat lagi jika mama tidak bisa mengontrol emosinya. "Gaji Mas Farid sudah habis untuk membeli AC dan juga untuk uang jajan wanita itu, Ma! Bahkan Mas Farid belum membayar cicilan rumah bulan ini. Mas Farid membebankannya padaku, Ma," sahutku, aku membongkar semuanya. Sebelum Mas Farid ke sini, aku sudah mengatakan hal ini pada mama. Aku memang sengaja mengatakannya di depan mama agar Mas Farid menyadari bahwa apa yang ia lakukan itu salah. "Yasudah, sekarang kamu pulang. Jual AC yang baru kamu beli itu untuk membayar biaya berobat Adel. Mama nggak mau dengar alasan apapun," tegas mama sambil menjatuhkan bokongnya di atas kursi. "Ingat, jangan kembali sebelum mendapatkan uangnya," ucap mama lagi. Mas Farid terdiam. Aku tahu, pasti ia sedang berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan uang. Salah sendiri, lebih mementingkan wanita lain dari pada kewajibannya sendiri. Beginilah akibatnya. "Farid permisi, Ma," ucapnya, kemudian berlalu dari hadapan kami. "Iya," jawab Mama singkat. Mas Farid perlu digituin, biar ia tahu rasa. Aku tahu pasti tidak akan mudah menjual AC. Terserah bagaimana caranya, yang penting kamu harus berusaha, Mas. Selamat berjuang, Mas! *** Mama mendorong pintu kamar tempatku dirawat dengan sedikit kasar, kemudian mama menjatuhkan bokongnya di atas kursi sambil menghela nafas. Aku pun heran melihat sikap Mama yang tidak seperti biasanya. Akhirnya aku pun bertanya, "Mama kenapa, kok' kelihatannya kesal begitu?" "Bukan hanya kesal, Del, Mama marah, kesal dan juga benci kepada suamimu itu." "Kenapa lagi, Ma?" "Ternyata kecurigaan kita benar, Del. Suamimu ada main sama wanita itu. Tadi mama habis dari ruangan dokter, mama meminta rekam medis pasien yang bernama Rini itu. Awalnya dokter menolak, tapi setelah mama memberikan alasan, akhirnya dokter menyuruh asistennya untuk mengambil rekam medisnya Rini dan mengijinkan mama melihatnya. Di dalamnya tertulis bahwa Farid adalah ayah dari anak yang ada di dalam kandungan Rini," ungkap Mama. Mama beristighfar berulang kali untuk meredam emosinya. Mungkin takut jika sakit jantungnya kumat lagi. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN