Bab. 4

1118 Kata
“Itu semua fitnah, Dek!” jawab Wahid yakin dengan nada lantang. “Kamu terus menyangkal, Mas?” celetuk Nurul dengan nada parau. Suasana makin memanas. Nurul menatap Wahid dengan tatapan nanar dan menahan emosi. Hati Aisyah terasa ditusuk ratusan duri. “Yang diucapkan Mas Wahid memang benar,” seru Aisyah lantang dan yakin, hingga seluruh mata tertuju padanya. “Kenapa kamu begitu yakin, Aisyah? Apa kamu begitu yakin kalau suamimu tidak berbuat nakal di luar rumah? Apa kamu punya bukti?” cecar Sarah, istrinya kyai Reza. Oksigen di dalam tubuh Aisyah serasa berkurang. Napasnya sesak dan tubuhnya melemas. Ia lalu menoleh pada suaminya dan meminta membantunya memberi penjelasan, tetapi Wahid hanya bisa diam. Aisyah bingung harus menjawab apa agar mereka yakin kalau suaminya infertilitas. “Karena sampai sekarang saya juga belum hamil, jadi tidak mungkin Mas Wahid menghamili wanita lain,” jawabnya dengan nada lemas. “Itu karena kamu mandul, Aisyah!” celetuk Rahma seraya menunjuk menantunya. “Selama ini Umi diam yah, tapi perkataanmu tadi seolah menyudutkan kalau Wahid yang mandul.” “Aku setuju dengan Umi. Seharusnya kamu bercermin dan sadar diri, Aisyah! Kamu tidak bisa memberikan keturunan, jadi wajar saja jika Wahid mencari wanita lain. Untuk apa mempertahankan wanita mandul?” seru Zalimar mendukung ucapan Rahma. Kedua bola mata Wahid langsung membulat sempurna mendengar ibu dan kakaknya menghina istrinya. “Umi, Kak Zalimar! Hati-hati dengan perkataan kalian!” pekiknya kesal. Air mata Aisyah langsung mengalir deras. Ia sungguh tak menyangka mertua dan iparnya justru menyerangnya, padahal ia tengah memperjuangkan suaminya. Wahid lantas mengelus punggungnya. “Tenang, Dek! Kita bisa bicarakan ini baik-baik,” bujuk Wahid seraya terus mengusap punggungnya dan menggenggam tangannya erat. Lelaki dengan jambang tipis itu lalu menoleh ke arah depannya tanpa melepaskan genggaman tangannya dari istrinya. “Nurul, apa yang membuatmu yakin kalau saya yang menghamilimu?” tanyanya mencoba setenang mungkin. “Munafik kamu, Mas!” cibir Nurul dengan tatapan berapi-api. “Kamu lupa saat bulan lalu kamu mengantarku ke Dinas kabupaten dan pulang kemalaman? Sejak saat itu kamu diam-diam mendekatiku.” Wahid terdiam dan mematung. Aisyah menatapnya bingung dan cemas. Ada sirat kecemasan yang ia lihat dari wajah suaminya, hingga air matanya langsung terhenti. “Mas, apa maksud Nurul bicara seperti itu?” tanya Aisyah curiga. “Tapi, saya hanya mendekatimu hanya sebatas sama-sama pengajar, tidak lebih,” jawab Wahid sedikit bergetar. Nurul kembali mencibir. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan menggulir layarnya dengan gerakan cepat. Kemudian ia menyodorkannya pada hadapan Aisyah. “Lalu apa kamu bisa jelaskan isi pesan itu pada istrimu?” ucapnya seraya menatap tajam wanita bercadar di hadapannya. Tangan Aisyah terlepas dari genggaman Wahid. Ia langsung meraih ponsel Nurul yang berada tepat di hadapannya. Aisyah mempertahankan kesadarannya dan membaca secara perlahan percakapan pesannya. Percakapan mesra yang ditampilkan layar ponselnya Nurul langsung mengundang derasnya air matanya. Tangannya lalu menekan nomor pengirim pesan di sana, memastikan nomor suaminya. Tangan Wahid tiba-tiba meraih lengannya mencoba menarik ponsel tersebut. “Dek, Mas bisa jelaskan! Ini tidak seperti dugaanmu, Dek!” ucap Wahid dengan nada cemas. Aisyah terdiam dan tubuhnya terasa membeku, tetapi ia merasakan tubuhnya panas seperti terbakar. Ponsel di tangannya terjatuh tanpa disadarinya. Ingatannya tiba-tiba membawanya mundur pada beberapa kejanggalan yang sempat membuatnya berpikir buruk. Suaminya yang lebih asik dengan ponselnya. Aisyah juga seringnya memergoki Wahid tengah tersenyum pada layar ponselnya. Namun, suaminya pandai beralasan hingga ia selalu percaya. “Asal kalian tahu saja, Nurul itu gadis baik-baik! Putri saya tak mungkin berbuat keji," ucap kyai Reza membuyarkan ingatan Aisyah. "Sejujurnya, saya kecewa karena saya begitu menghargai Nak Wahid sebagai pengajar di pondok pesantren yang saya miliki. Tak disangka kamu berani merusak putri saya,” tambahnya dengan nada penuh amarah. Hati Aisyah mencibir. Andai saja ia bisa membuktikan kalau ucapan kyai Reza adalah bohong. Atau setidaknya ia punya selembar foto yang menunjukkan Nurul sering keluar bersama kekasihnya di luar desa, ia pasti bisa memperjuangkan suaminya. Akan tetapi, bukti pesan yang ditunjukkan gadis itu seolah membenarkan tuduhan tersebut. Mungkin saja jika suaminya tak mengalami infertil, pasti Wahid benar-benar menghamili Nurul. d**a Aisyah terasa semakin sesak. Ia kesulitan bernapas. “Sa--saya ingin ke kamar mandi dulu,” ucap Aisyah mengakhiri pikirannya. Tanpa menunggu persetujuan dari suaminya atau mereka yang ada di sana, wanita itu langsung bangkit. Tatap matanya terasa kosong, hingga ia tak bisa berjalan dengan benar. Aisyah limpung, hingga pot kaca di sudut dinding menuju ruang tengah ditabraknya. Prang! “Maafkan saya ... saya tidak sengaja,” ucap Aisyah tak berdaya seraya membawa tubuhnya turun untuk mengambil pecahan pot kaca tersebut. Sayangnya, pandangan matanya kabur karena berembun, pecahan kaca itu justru melukai tangannya. Akan tetapi, wanita bercadar itu tak merasakan rasa perih atau sakit pada lukanya. Wahid tak tinggal diam, ia langsung menghampirinya. “Dek, kamu terluka?” tanyanya seraya meraih tangan istrinya yang sudah berlumuran darah. Aisyah menepis tangan suaminya. Entah kenapa ia merasa jijik pada suaminya. Dadanya makin sesak dan embun pada matanya sudah pecah, tetapi tetap saja pandangan matanya terasa kosong. “Sudah biarkan saja, Wahid! Istrimu hanya perlu menenangkan diri saja. Kamu tetap di sini, Wahid!” seru Rahma membuat tatapan kosongnya Aisyah kembali berembun dan langsung pecah. “Sepertinya memang anak saya yang salah, Kyai. Saya akan pastikan Wahid bertanggung jawab atas kesalahannya. Kyai Reza tak perlu khawatir! Besok pagi saya akan datang dengan Wahid untuk menikahi Nurul.” “Abi!” pekik Wahid seraya bangkit. “Saya tidak akan menikahi Nurul!” tegasnya. Wajah kyai Reza tampak murka. Nurul bahkan langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Wahid yang masih berada di samping Aisyah. Sementara wanita bercadar itu merasakan seluruh tubuhnya melemas, hingga ia tak kuasa untuk mengangkat tubuhnya menjauh dari sana. Nurul melemparkan beberapa lembar foto pada tubuh Wahid. Tentu saja lembaran itu langsung beterbangan dan sebagian jatuh di hadapan Aisyah. Tubuh Aisyah makin melemas. Foto yang menunjukkan mereka berpelukan hangat. “Kamu bisa jelaskan pada istri dan keluargamu tentang foto-foto itu? Kamu sudah menghancurkan hidupku, dan aku hanya meminta pertanggung jawaban kamu saja, Mas,” ucap Nurul lirih diikuti air matanya. Kemudian Nurul mendekati Aisyah dan menurunkan tubuhnya menghadap wanita itu. Ia bahkan meraih tangan Aisyah dengan gerakan cepat, lalu menempelkannya pada perutnya. “Maafkan aku jika aku egois, Mbak! Di dalam perutku ini sudah tertanam benih suamimu. Kita sama-sama seorang wanita, jadi aku mohon mengertilah!” lirih Nurul dengan wajah memelas. Tiba-tiba Rahma muncul dan meraih tubuh Nurul . “Sudah cukup, Nak! Tak pantas kamu memohon pada wanita mandul!” ucapnya seraya melirik jijik pada Aisyah yang bermandikan air mata. “Dengarkan Umi, Nak! Selama ini umi memimpikan seorang cucu dari Wahid, akhirnya kamu mewujudkan impian Umi. Umi sangat bahagia sekali,” ucap Rahma seraya menghapus air mata Nurul dan diikuti senyuman bahagianya. “Jangan cemas, Umi akan pastikan Wahid menikahimu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN