Bab. 3

1193 Kata
Suara percikan air dari arah kamar mandi terdengar pada indera pendengaran Aisyah. Ia menatap gelapnya langit yang ditutupi oleh awan dari jendela kamarnya. Wanita itu terdiam, mencoba untuk mencari satu bintang yang terlihat. Namun, tak satu pun bintang yang menghiasi langit malam itu. “Seperti menggambarkan suasana hatiku,” ucapnya pelan. Masih memerhatikan langit, Aisyah tersentak mendengar suara pintu kamarnya diketuk diiringi dengan suara Rahma yang memanggil Wahid. Mendengar hal itu, ia segera membuka pintunya. Senyuman ramah Aisyah mengembang untuk mertuanya, walaupun tahu tak akan terbalas. “Di mana suamimu?” tanya Rahma singkat. “Mas Wahid lagi di kamar mandi. Ada apa, ya, Umi? Nanti Aisyah sampaikan pesan Umi ke Mas Wahid,” jawab Aisyah santun. “Kyai Reza dan anaknya datang bertamu. Mereka berdua ingin bertemu dengan Wahid. Sampaikan pada suamimu, ya!” Rahma melenggang pergi setelah menyampaikan kedatangan tamu di rumah mereka. Setelah mertuanya tak terlihat, Aisyah segera kembali masuk ke dalam kamar. Namun begitu dirinya masuk, ia dikejutkan dengan kehadiran Wahid yang sudah berada di luar kamar mandi. Sang suami yang heran dengan reaksi istrinya itu pun segera menghampirinya. “Kenapa kamu kaget liat aku, Dek?” tanya Wahid seraya membelai pipi Aisyah. Aisyah menggeleng pelan. “Aku cuman kaget karena Mas tiba-tiba udah keluar kamar mandi.” Wanita cantik itu merentangkan kedua tangannya, kemudian memeluk suaminya. Wahid yang melihat Aisyah seperti itu hanya terkekeh pelan. Tangannya lantas tergerak mengelus kepala istrinya itu. “Lucunya,” ucap wahid yang kemudian mengecup kepala Aisyah. “Mas, tadi Umi bilang, Kyai Reza datang bertamu dengan anaknya, dan mereka berdua mau bertemu dengan Mas Wahid.” Aisyah berkata seraya merasakan wangi tubuh suaminya. Wahid terdiam sejenak. Memikirkan mengapa mereka berdua bertamu malam-malam dan ingin bertemu dengannya? Namun, pemikiran itu segera ia tepis, toh mereka akan bertemu. “Kamu juga ikut saja, Dek,” pinta Wahid diikuti senyuman hangat. Dijawab dengan anggukan, Aisyah lantas melepaskan pelukannya. Ia meraih jilbabnya beserta cadar yang sebelumnya ia gunakan. Tak lupa, Aisyah juga membantu merapikan gulungan sarung suaminya. Wanita itu senang melakukan hal itu dengan memanjakan suaminya selain urusan di atas ranjang. Setelah mereka berdua selesai bersiap, keduanya lantas pergi ke ruang tamu. Di sana tak hanya ada kyai Reza dan anaknya, melainkan istri kyai Reza pun turut serta bertemu dengan Wahid. Sayangnya, bukan suasa hangat yang tergambar di antara para tamu dan kedua mertua Aisyah, melainkan ketegangan yang mendominasi suasana. Wajahnya tiba-tiba sedikit cemas melihat wajah tegang yang tersirat dari pada wajah mereka semua yang ada di sana. Namun, ia memilih tenang dan mengikuti ajakan suaminya yang duduk di sebelahnya. Entah kenapa, wanita bercadar itu merasa kalau ia dan suaminya seperti hendak disidang. “Hm, maafkan saya kalau sudah membuat Pak Kyai dan keluarga menunggu. Saya tidak tahu kalau Pak Kyai akan datang bertamu,” ucap Wahid berbasa-basi memecahkan suasana tegang di ruang tamu. Lelaki tua di hadapan mereka yang memakai sorban putih, jambang dan janggut panjang yang sudah memutih memenuhi wajahnya menyimpulkan senyuman tipis nan mencurigakan. Ia adalah Kyai Reza, pemilik pondok pesantren tempat Wahid mengajar. Kemudian ia melirik pada gadis cantik di sampingnya yang memakai hijab lebar berwarna hijau tua. “Sepertinya saya akan langsung saja, Nak Wahid. Saya tak ingin berbasa-basi lagi karena sudah malam juga,” sahut Kyai Reza dengan nada berat. “Kedatangan saya ke mari untuk meminta pertanggung jawaban Nak Wahid yang sudah menghamili anak saya, Nurul.” Aisyah tersentak. Ucapan dari Kyai Reza sukses membuatnya refleks membulatkan kedua bola matanya. Jantungnya berdegup dengan kencang seiring keheningan menyeruak di antara mereka. Aisyah berharap apa yang dikatakan oleh kyai Reza tidaklah benar. Bahkan ia berpikir bahwa suaminya itu tidak mungkin sampai berbuat zina dengan wanita lain. “I–itu tidak benar! Tidak mungkin Mas Wahid menghamili Nurul, Pak Kyai.” Aisyah mencoba memberi pembelaan untuk suaminya. “Saya datang kemari bukannya untuk mengarang cerita, saya bukan asal menuduh!” sentak Kyai Reza dengan tatapan tak terima. “Kami datang pun dengan bukti Wahid menghamili Nurul!” Aisyah menatap Wahid yang berada di sampingnya. Suaminya itu tidak memberikan tanggapan apa pun, ia malah terdiam seraya kepalanya tertunduk dengan wajah bingung. Melihat itu seketika tangan Aisyah bergetar, dan matanya pun mulai memanas. Apa yang salah? Mengapa Wahid sampai mendapatkan tuduhan keji seperti itu? Kalau memang ucapan kyai Reza benar, kenapa Wahid melakukan hal yang sepatutnya tidak ia lakukan? Berbagai pertanyaan serupa muncul di benak Aisyah. Ia mencoba mencerna dan menelaah ucapan kyai Reza agar dirinya dapat membela Wahid lagi. Dalam diamnya, Aisyah ingat bahwa Nurul sebenarnya anak pemberontak. Kyai Reza yang merupakan seorang pemilik pondok pesantren itu menuntut anaknya itu menjadi anak yang baik dengan berbagai aturan yang ketat. Ia mengetahui hal itu sejak dirinya memergok Nurul kabur bersama dengan pacarnya. Padahal dalam aturan agama seorang perempuan dan seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk berpacaran terlebih dahulu. Akan tetapi, beberapa kali ia melihatnya bersama dengan seorang laki-laki di tempat yang cukup jauh dari desa mereka. “Saya tahu Pak Kyai bukan seseorang yang gegabah, tapi apa Pak Kyai benar mempercayai ucapan Nurul bahwa dia benar mengandung anak Mas Wahid? Kenapa Pak Kyai begitu percaya anak yang dikandungnya bukan dikarenakan Mas Wahid?” papar Aisyah mencoba tenang. “Umi tahu kamu tidak terima, tapi bisakah kamu menunggu penjelasan dari Kyai dan Nurul?” sergah Rahma yang sama-sama terkejut. Wanita itu menghembuskan napasnya kasar seiring jantungnya yang berpacu semakin cepat. Wahid yang mengetahui istrinya sedang tidak baik-baik saja segera meraih tangan Aisyah. Menggenggam erat tangan istrinya sembari mengelus pelan punggung tangannya. Berharap istrinya tenang dalam situasi yang dipenuhi oleh tekanan ini. “Apa yang membuat kamu yakin bahwa anak saya bukan mengandung anak suamimu? Selama ini Nurul cukup dekat dengan Nak Wahid, dan anak gadis saya hamil karena suamimu!” pekik Kyai dengan emosinya yang semakin naik. Tak bisa ditahan lagi, air mata yang terbendung di pelupuk mata Aisyah meluncur membasahi cadarnya. Semua yang didengarnya bagaikan omong kosong. Ia sungguh tak mempercayai ucapan Kyai Reza. Tentu Aisyah tahu betul bahwa suaminya tak bisa memberikan seorang keturunan. Namun di satu sisi, ia tak bisa mengatakan hal itu begitu saja karena itu adalah aib menurut Wahid. Bingung, sesak, kesal dan marah menguasai diri Aisyah. “Wahid, benarkah apa yang dikatakan Kyai bahwa kamu menyentuh wanita lain selain istrimu?” tanya Ibrahim, sang ayah mertua. “Demi Allah, saya tidak pernah menyentuh Nurul, Abi!” bela Wahid dengan lantang. “Jadi kamu menolak untuk jujur, Mas?” celetuk Nurul dengan nada parau. Ucapan Nurul berhasil membuat dunia Aisyah terasa berhenti berputar. Aliran udara terasa menipis, dadanya sesak seiring kepalanya yang terasa pusing. Ia bingung harus berkata apa lagi supaya mereka percaya bahwa bukan Wahid pelakunya. Dalam riuhnya suasana di sana, memori Aisyah tentang kejanggalan-kejanggalan suaminya terputar kembali. Sebulan terakhir ia mendapati celana dalam Wahid basah. Tentu Aisyah bukanlah wanita bodoh. Ia mengendus aroma cairan itu, dan aromanya tak hilang saat diendus. Saat itu, Aisyah tak mau berprasangka buruk. Ia percaya bahwa cairan suaminya selalu tumpah di luar seperti kala mereka berhubungan. Wanita itu berprasangka baik, sehingga berpikir bahwa Wahid melihat sesuatu yang membuat cairan miliknya itu keluar. “Apa semua ini benar? Bahkan Nurul sampai berkata bahwa kamu menolak untuk jujur, Mas,” ucap Aisyah dengan tatapan kosong.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN