“Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu. Mohon maaf jika kedatangan saya dan keluarga mengganggu waktu istirahat Pak Ibrahim,” ucap kyai Reza seraya bangkit dari duduknya.
“Ah, jangan bicara seperti itu, Kyai Reza! Justru kalau ada masalah, lebih baik dibicarakan baik-baik agar ada solusinya,” sahut Ibrahim ikut bangkit berdiri.
Ibrahim bahkan terlihat memberikan senyuman ramah yang dipaksakan sebelum menjabat tangan kyai Reza. Sementara Rahma langsung memeluk Nurul. Entah apa yang sedang diperbuatnya, yang jelas ia memeluk gadis itu lembut. Kemudian ia memeluk Sarah, ibunya Nurul.
“Tolong maafkan kesalahan Wahid, Bu. Saya akan pastikan anak saya bertanggung jawab atas kesalahannya,” ucap Rahma seraya melepaskan pelukannya. Kemudian ia berpindah pada Nurul dan menggenggam lembut gadis itu. “Sabar ya, Nurul. Besok umi akan datang dengan Wahid!”
“Terima kasih, Umi,” sahut Nurul tersenyum tipis.
Aisyah yang sedari tadi terdiam merasakan lemas pada kedua kakinya, tak kuasa mendengar percakapan mereka. Walaupun suara mereka pelan, tetapi percakapan mertua dan tamunya berada tepat di belakang tubuhnya. Mereka semua benar-benar melupakan Aisyah.
Wanita itu mendadak memiliki banyak kekuatan. Ia menghempaskan tangan suaminya yang masih memegangi tangannyaya yang terluka. Aisyah langsung bangkit dan berlari menuju kamarnya.
“Dek!” panggil Wahid.
“Wahid! Kyai Reza dan keluarganya mau pulang, antar mereka ke depan rumah!” perintah Ibrahim dengan suara lantang.
Wahid mendadak seperti orang linglung. Ia menoleh pada Ibrahim, tetapi hatinya terus tertuju pada istrinya. “Tapi, Bi. Aisyah—“
“Biarkan saja istrimu itu! Kamu harus bertanggung jawab atas kesalahanmu!” sentak Ibrahim memotong kalimat anak lelakinya.
Lelaki itu tak punya pilihan lain. Wahid pun memilih menuruti permintaan ayahnya mengantarkan kyai Reza. Sementara Aisyah mendadak punya kekuatan ekstra, ia berlari ke kamarnya. wanita itu langsung melepaskan cadar dan hijabnya, lalu melemparnya sembarang.
Wanita itu seperti kesulitan bernapas. Ia lalu meraih tas kerja suaminya mencari ponselnya dengan tangan yang gemetar. Bahkan luka pada telapak tangannya yang masih mengeluarkan darah tak ia rasakan.
Air mata Aisyah langsung banjir saat membuka ponsel suaminya. Ia bahkan membekap mulutnya agar tak mengeluarkan isak tangis. Wanita itu hanya ingin memastikan dan mencocokan isi pesan pada ponsel suaminya dengan isi pesan yang diterima Nurul.
“Ternyata sama,” lirih Aisyah dengan nada lemas.
Tiba-tiba perutnya terasa mual saat membaca percakapan mesra suaminya dengan Nurul. Ia lalu melempar ponsel suaminya ke atas kasur, lalu berjalan cepat menuju pintu kamar mandi yang terdapat di dalam kamar tidurnya. Isi perut Aisyah keluar tanpa ada sisa, hingga membuat tubuhnya lemas.
Wanita itu lalu mendorong pintu kamar mandi, menutupnya dengan sisa tenaganya. Tubuhnya langsung ambruk di atas lantai kamar mandi. Tangannya masih bisa menjangkau keran air dan membukanya.
Suara derasnya air keran menutupi isak tangisnya. Aisyah memeluk lututnya kuat. Hatinya benar-benar sakit, hancur dan kecewa. Bukan kenyataan suaminya harus menikahi gadis lain, tetapi kebodohan dirinya yang tak menyadari suaminya berkhianat.
Benar. Ia menjaga kesuciannya demi suaminya, tetapi lelaki itu justru merayu gadis lain. Aisyah bahkan menurut pada suaminya menutup wajahnya dengan cadar, walaupun ia tahu itu sunah.
Gadis itu rela berdiam di rumah dan mengerjakan semua pekerjaan rumah, padahal teman-temannya mengajaknya bekerja dengan gaji yang lumayan besar. Semuanya ia lakukan demi rasa taat dan patuhnya pada Wahid, suaminya.
“Kenapa kamu tega, Mas?”
Suara Aisyah pilu. Bahkan dirinya saja jarang bertukar kabar dengan ayah dan ibunya. Menjenguk kedua orang tuanya pun jarang. Tentu saja ia curahkan hidupnya untuk melayani suaminya dan kedua orang tua suaminya.
Seingatnya, ia selalu bisa memuaskan suaminya dan tak pernah mengeluh atau pun menuntut untuk dipuaskan balik. Ia juga melayani mertuanya dengan baik, tetapi tadi Rahma bahkan membentaknya. Kalimat yang ia dengar dari mulut orang lain, ternyata keluar juga dari mulut mertuanya.
Selama ini ia mengira kalau mertuanya memahami keadaan dirinya. Namun, ia lupa kalau ibu dan bapak mertuanya, serta iparnya tak tahu kalau suaminya lah yang bermasalah. Aisyah begitu rapat menutupi aib suaminya.
“Dek, buka pintunya, Dek!” panggil Wahid dari luar kamar mandi diikuti suara ketukan pintu. “Kita bicarakan masalah ini, Dek! Dengarkan penjelasan aku dulu, Dek!”
Air mata Aisyah makin deras. Suara suaminya membuatnya makin muak. “Pergi, Mas! Aku nggak mau diganggu! Aku mau sendiri!” teriak Aisyah dengan suara parau.
“Tapi, Dek, kamu bisa sakit kalau kelamaan di dalam kamar mandi. Ayo keluar, ya!” bujuk Wahid lembut.
Sakit katanya? Saat ini, dia sudah sakit. Bahkan sakit sangat parah. Entah butuh berapa lama agar bisa sembuh, yang jelas saat ini ia tak bisa menjamin akan bisa sembuh.
“Aisyah Humairah! Dengerin aku suamimu, aku mohon!” bujuk Wahid seraya menguatkan ketukan pintunya dengan suara frustrasi. “Aisyah tolong maafkan, aku!”
“Untuk apa kamu minta maaf, Wahid?” suara Rahma mengejutkan lelaki yang tengah tak berdaya di depan pintu kamar mandinya.
Wahid menoleh dan menatap pilu pada wanita yang sudah melahirkannya. “Maksud Umi apa?” tanyanya dengan nada yang hampir tak jelas.
Rahma tak segera menjawab. Wanita paruh baya itu lalu berjalan mendekati pintu kamar mandi. Tanpa izin, ia meraih handle pintunya dan mendorongnya ke dalam.
Aisyah terkejut. Rahma benar-benar membuka pintu kamar mandinya tanpa meminta izin darinya. Wanita itu langsung menatap menantunya yang terlihat kacau.
“Keluarlah! Kita bicara di depan!” perintah Rahma tegas.
“Aku sedang ingin sendiri, Umi. Maaf,” sahut Aisyah cepat.
Bukan maksudnya menolak perintah ibu mertuanya, tetapi ia benar-benar ingin sendiri. Tiba-tiba Wahid langsung menerobos masuk ke dalam kamar mandi. Lelaki itu langsung meraih tubuh istrinya dan mendekapnyalembut.
“Maafkan aku, Dek!” ucapnya lirih.
“Abi yang memerintahkan kamu untuk keluar bukan Umi!” tegas Rahma tanpa berniat melihat tatapan sedih dan pilunya Aisyah. Ia lalu menoleh anak lelakinya yang masih memeluk menantunya. “Sudah cukup, Wahid! Cepat ajak istrimu keluar, jangan buat abimu menunggu lama!” titahnya.
Aisyah benar-benar tak berdaya. Ia seperti tak diberi kesempatan untuk menolak. Wahid membawa tubuhnya untuk bangkit dan ia hanya bisa menurut dengan tubuh lemas.
Suaminya bahkan memakaikan hijab untuknya setelah keluar dari kamar mandi. Gerak tangannya tiba-tiba terhenti saat indera penglihatannya tertuju pada ponsel miliknya yang masih dalam keadaan menyala. Ia bisa melihat jelas layar ponselnya menampilkan percakapannya dengan Nurul.
“Aku, benar-benar minta maaf, Dek. Aku, bersalah, khilaf,” sesal Wahid dengan suara lemas.
Aisyah mendesis. Muak rasanya mendengar ucapan suaminya. Begitu mudahnya ia mengatakan maaf, mengakui bersalah dan beralasan khilaf. Sayangnya, Aisyah benar-benar tak berdaya.
“Sudahlah, Mas! Sebaiknya cepat temui abi, aku ingin segera beristirahat!” seloyor Aisyah melangkah meninggalkan suaminya.
Wahid pun tampak kehabisan kata-kata. Ia langsung mengekori Aisyah menemui kedua orang tuanya dan iparnya yang masih berada di ruang tengah. Ibrahim menunjuk sofa di hadapannya pada keduanya. Tentu saja, Aisyah dan Wahid hanya bisa menurut.
“Aisyah, seperti yang sudah kamu ketahui. Suamimu tidak punya pilihan lain, karena dia yang bermain api jadi dia juga yang harus memadamkannya!” ucap Ibrahim mengawali penjelasannya. “Jadi, Abi dan Umi berharap, kamu bisa merelakan suamimu menikahi Nurul. Kamu tenang saja, abi tidak akan meminta Wahid untuk menceraikanmu. Abi hanya ingin kamu ridha dimadu!”
Aisyah terdiam. Sakit? Memang benar, sakit sekali rasa hatinya, tetapi ia sudah menduga akan berakhir seperti ini.
Wanita cantik itu menghela napas panjang, mengakhiri tetes air matanya. Kemudian ia mengusap air matanya. Aisyah lalu tersenyum kecut.
“Jika itu sudah menjadi keputusan Abi dan Umi, serta Mas Wahid, aku bisa apa? Jika aku menolak pun, tetap aja Mas Wahid akan menikahi Nurul, ‘kan?” ujar Aisyah mencoba tangguh, tatapannya bahkan terasa kosong.
“Aisyah, jangan seperti itu! Nurul sedang hamil anak dari suamimu. Bukankah itu kabar baik untukmu juga, kamu bisa mempunyai anak dari madumu karena kamu tidak bisa memberikan keturunan pada suamimu.”