Wanita berparas cantik tertutup kain hitam yang menutupi kepala serta mulut dan hidungnya itu segera menghapus jejak air matanya. Ia menghela napas panjang seraya memejamkan matanya. Aisyah lantas melihat pantulan dirinya di cermin seraya tersenyum menyemangati diri sendiri.
“Semangat, Aisyah!” ucapnya.
Aisyah lantas keluar dari kamar dan kembali membantu Rahma menjamu para tamu. Suasana yang tidak mengenakkan tadi kini berkurang secara berangsur-angsur berkat senyuman dan keramahan Aisyah. Dalam benak wanita bercadar itu bersyukur bahwa mereka semua tidak mengungkit lagi mengenai masalah tadi hingga waktu pengajian dimulai.
Waktu demi waktu berlalu, matahari yang awalnya menyinari tepat di atas atap rumah kini menurun menghiasi langit cakrawala di sore hari itu. Acara pengajian yang diadakan oleh Rahma pun sudah selesai. Hingga akhirnya tugas Aisyah membereskan ruang tamu.
Aisyah mengumpulkan piring dan gelas kotor, kemudian membawanya ke wastafel untuk dicuci olehnya. Dengan telaten ia meraih busa yang sudah dicelupkan ke air yang sudah dicampur dengan sabun cuci piring, sementara di tangan lainnya ia memegang piring kotor. Setidaknya semua kesibukan itu sedikit mengalihkan rasa sakit hatinya.
“Assalamualaikum,” ucap seorang pria dari arah pintu.
Aisyah dan Rahma yang mendengarnya pun menyahuti salam dari pria tersebut. Zalimar, nama kakak ipar Aisyah yang baru pulang kerja itu segera menyalami ibunya. Namun ketika dirinya melangkah, telapak kaki Zalimar menginjak sesuatu yang tajam. Ia merintih sembari melihat telapak kakinya.
“Kenapa, Zalimar?” tanya Rahma mendengar anak perempuannya itu.
“Ada benda tajam nusuk kaki Zalimar, Umi.” Zalimar menunjukkan kakinya yang terluka.
Kedua bola mata Rahma hampir terlepas dari tempatnya saat melihat benda tersebut. “Hadeuh ... itu pasti gara-gara Aisyah. Tadi dia pecahin gelas, dan minumannya tumpah di depan banyak orang.”
Indera pendengaran Aisyah menangkap percakapan mereka dan segera menghentikan aktivitasnya. Ia bergegas pergi ke ruang tamu dengan tisu dan kotak P3K ditangannya. Ia lantas memberikan tisu itu pada Zalimar, agar darahnya tidak berceceran.
“Maaf, padahal tadi Aisyah sudah memastikan tidak ada lagi beling yang tertinggal.” Aisyah menunduk seraya melihat Zalimar mencabut beling kecil dari telapak kakinya.
“Kenapa nggak sampai bersih? Akibat kecerobohan kamu Zalimar menginjak sisa beling yang kamu tinggalin! Punya otak, kok, gak dipake. Mau dijadiin pajangan doang otak kamu, hah?” hardik Rahma dengan tatapan penuh emosi.
Aisyah terdiam. Ia tak mau menjawab ucapan mertuanya. Tentunya ia tahu jika dijawab akan memperpanjang masalah.
Wanita itu lantas mencari kepingan-kepingan kaca yang mungkin saja masih tersisa. Ia berusaha untuk menghindari masalah yang akan berakhir menyakiti hatinya sendiri. Ada rasa sesal, kenapa ia begitu ceroboh? Padahal, Aisyah yakin sudah membersihkan pecahan belingnya dengan baik.
“Lain kali kalau bertindak jangan ceroboh, Aisyah! Sudah menumpang tapi malah nyusahin!” cecar Zalimar.
Bukan keinginan Aisyah untuk menumpang hidup di rumah yang tengah ia tinggali. Namun, sebagai kewajiban menuruti apa kata sang suami, Aisyah terpaksa harus dicap sebagai penumpang rumah itu. Tentu mendengar ucapan seperti itu akan membuatnya sakit hati, terlebih lagi hampir setiap harinya ia mendapatkan pertanyaan dan sindiran dari para tetangga karena tidak kunjung hamil.
Setelah memastikan luka Zalimar ditutup dengan plester, Aisyah lantas kembali mengerjakan aktivitasnya yang tertunda. Suara pancuran air dari kran wastafel seperti menggambarkan perasaan Aisyah saat ini. Air yang mengalir tampak seperti suasana hatinya yang ingin meluapkan segala rasa sedihnya.
Tak membutuhkan waktu yang lama, selesai mencuci semua peralatan makan yang kotor termasuk wajan-wajan. Dirasa semua pekerjaannya sudah selesai, ia melenggang masuk ke dalam kamarnya. Ia duduk di pinggir ranjang dan termenung mengingat kembali kejadian siang tadi.Larut dalam lamunannya, Aisyah sampai tidak sadar bahwa Wahid, suaminya sudah pulang.
“Ngelamunin apa, Dek?” tanya Wahid sembari duduk di samping istrinya.
Aisyah menggeleng pelan seraya tersenyum. Walau ia tersenyum, Wahid tahu bahwa istrinya itu sedang menyembunyikan kesedihannya yang tersirat. Aisyah pun tahu dirinya tak pandai berbohong.
Sadar bahwa suaminya cepat menyadari hal itu. Ia lantas mengikuti tatapan suaminya yang berselancar ke setiap penjuru kamarnya. Mulut Aisyah langsung mengatup, menyadari tatapan suaminya tertuju pada bungkus pembalut yang terlihat di balik lemari kaca dekat pintu.
“Kamu pasti sedih karena haid, ya?” tanya Wahid seraya merangkul istrinya dan membawanya dalam pelukannya.
Aisyah mengangguk. Ya, alasan itu paling tepat untuk menutupi rasa kesalnya dan sedihnya pada ucapan mertua dan kakak iparnya. Wahid makin memeluknya erat dan membelai kepala istrinya lembut.
“Sabar ya, Dek!” ucap Wahid lembut dan halus dan langsung dijawab anggukan Aisyah yang masih dalam pelukan suaminya.
Perlahan ia menanggalkan hijab yang sedari tadi menutup rambut istrinya. Aisyah tahu apa yang sedang dilakukan suaminya, ia memilih pasrah dengan perlakuan lembut suaminya tanpa berniat menolaknya. Mengikuti permainan sang suami, dan berusaha untuk memuaskannya.
Padahal Wahid tahu bahwa istrinya tengah berada di fase menstruasi. Namun, Aisyah tetap mengizinkan suaminya mencumbunya lembut di atas ranjang megahnya. Ia hanya perlu membantu suaminya melepaskan penat saja.
Aisyah tersenyum tipis mengiringi langkah suaminya menuju kamar mandi di dalam kamarnya. Indera penglihatannya tertuju pada ceceran basah di atas seprai kasurnya. Itulah alasan Aisyah tak menolak permintaan suaminya walaupun ia tengah haid.
Benar, ceceran basah pada seprainya itu adalah cairan yang seharusnya menembus rahimnya dan membentuk gumpalan darah lalu menjadi janin. Aisyah menahan rasa sesak di dadanya. Ingin rasanya ia mengungkapkan kalau suaminya yang bermasalah jika ditanya tentang kehamilan, tetapi ia sadar mungkin itu adalah aib.
Selama lima tahun menikah dengan Wahid, kesuciannya belum tersentuh oleh suaminya. Cairan itu tak pernah sekalipun melewati dinding kewanitaannya, dan akan berakhir di luar jangkauannya.
Bukannya tidak pernah ia mengajak suaminya menjalani pengobatan ataupun pemeriksaan. Wahid merasa itu adalah aib, hingga ia selalu menolak ajakan ataupun nasehat istrinya. Aisyah harus menerima dirinya jadi bahan ledekan dan sindiran karena suaminya. Ingatannya menerawang mundur saat terakhir kalinya membujuk suaminya untuk memeriksakan kesuburannya.
“Mas, bukankah Allah menyuruh hamba-Nya untuk berusaha dan berdoa? Allah meridai usaha kita asalkan di jalan yang benar, dan ke dokter itu sangat disarankan,” bujuk Aisyah lembut.
“Aku sudah berusaha, Dek! Aku menjaga kesehatanku, aku tidak merokok, dan rutin berolah raga,” tolak Wahid berpegang teguh pada pendiriannya. “Lagipula, apa kata dokter nanti? Yang ada, aku dipandang hina lagi.” Wahid menghembus napasnya kesal.
“Ya Allah, Mas. Aku yakin dokter tidak akan begitu. Mereka sudah disumpah sebelum mendapatkan gelar dokter. Tugas mereka mengobati, bukan menghina. Kamu jangan suuzon, Mas!” tegas Aisyah.
Penjelasan Aisyah membuat Wahid menatapnya kecewa. Sungguh, ia tidak berniat menyinggung perasaan suaminya. Ia hanya ingin mengajaknya berusaha untuk mendapatkan sang buah hati, dan menurutnya ajakannya itu adalah bentuk dukungan pada suaminya. Bukan maksud Aisyah untuk mementingkan dirinya sendiri agar menghindari segala bentuk cercaan dari para masyarakat, melainkan sebagai sebuah usaha untuk mendapatkan keturunan.
“Apakah harus? Bukankan Rasulullah menerima Aisyah yang tidak bisa memiliki anak? Apakah kamu tidak mau menerima aku dengan kekuranganku?” Wahid menatapnya dengan tatapan kecewa.
Aisyah melemah dan tak berdaya. Akhirnya ia tak lagi meminta suaminya untuk menjalani pemeriksaan dan pengobatan. Setidaknya ia bersyukur tak perlu bersusah payah untuk memuaskan birahi suaminya.
Hanya saja, keputusannya membuat dirinya harus menerima semua cibiran dan hinaan perihal keturunan. Bahkan hari ini ia harus menahan rasa sakit hati dari cibiran mertuanya. Aisyah ikhlas menahan semuanya dan ia hanya berserah diri, semoga Allah memberi imbalan yang setimpal atas kesabarannya.
“Ya Allah, jika memang ini adalah jalanku, maka kuatkanlah hati hamba,” ucapnya masih memandangi cairan yang membasahi kasurnya.