“Siapa yang bertamu, Aisyah?”
Pertanyaan dari Rahma, mengejutkan menantunya. Aisyah yang baru saja menutup pintu langsung menunduk, tak berani menatap wajah mertuanya. Tangannya terlihat gemetar.
Aisyah, wanita itu sudah berusaha menutup pintu sepelan mungkin agar tak mengganggu mertuanya. Bukan mengganggu, tetapi menghindari Rahma. Niatnya, setelah menutup pintu akan berjalan cepat menuju kamarnya, menyembunyikan bungkusan yang berada di tangannya.
“Kurir, Umi,” jawab Aisyah pelan. Ia tak mungkin berbohong.
Rahma sudah melihat bungkusan berukuran sedang pada tangannya. Benar dugaan Aisyah. Mertuanya langsung memasang wajah tak suka saat ia memberanikan diri menatap wajah Rahma.
“Kamu beli paket apa?” tanya Rahma ketus.
“Mm ... beli pembalut, Umi. Kebetulan lagi ada diskon besar. Ais pikir lumayan untuk berhemat, lagi pula gratis ongkir,” jawab Aisyah dengan nada was-was. Dalam hatinya berharap mertuanya menerima alasannya.
Sayangnya, Rahma tak menerima alasan menantunya itu. Ia makin menunjukkan wajah tak sukanya. Bahkan wanita tua itu mengehembuskan napas berat.
“Astaghfirullah, Aisyah! Kalau soal pembalut, di warungnya bi Imas ‘kan ada. Malah lebih baik beli di bi Imas, tetangga kita! Lebih berkah membeli dagangan saudara sesama muslim!” Rahma meninggikan suaranya. “Kamu kayaknya seneng gaya-gayaan, ya? Biar kelihatan keren gitu belanja online terus menghabiskan uang suamimu, hah?” tuduhnya.
“Demi Allah tidak, Umi,” sahut Aisyah cepat.
Rahma menyeringai penuh amarah. “Punya uang itu ditabung, jangan sering belanja online! Jangan mentang-mentang kamu belum punya anak, jadi seenaknya menghambur-hambur uang!” tuduhnya.
“Maaf, Umi. Aisyah akan mengingatnya,” sahut Aisyah seraya menundukkan wajahnya.
Tak ada lagi yang bisa Aisyah utarakan jika mertuanya terus merundungnya dengan praduga yang membuat wanita itu tak berdaya. Tiba-tiba wajah wanita yang masih mengenakan cadar itu panik saat melihat mertuanya berjalan menuju dapur. Baru saja ia hendak menyusul, Rahma sudah memekik penuh amarah.
“Maaf, Umi. Aish akan membereskannya sekarang, tadi—“
“Dari subuh, kamu ngapain aja sih? Sudah jam segini masih belum beres pekerjaan dapur?” geram Rahma memotong penjelasan menantunya, seraya melentikkan telunjuknya pada wajah Aisyah.
Aisyah hanya bisa menunduk. Ia tak berani menyela ucapan mertuanya sebelum Rahma selesai bersuara. “Maaf, Umi, hari ini hari pertama Aisyah PMS, Umi. Tadi pagi sakit banget, sekarang sudah mendingan setelah perut Ais dikompres pakai handuk hangat. Sekarang baru mau dikerjain,” jawab Aisyah mencoba mempertahankan bahasa santunnya tanpa menunjukkan rasa kesalnya.
Rahma menatapnya sinis. Aisyah tahu, mertuanya tak pernah mau mengerti alasannya. Mungkin, dulu Rahma tidak pernah mengalami PMS atau Premenstrual Syndrome? Sehingga tak tahu rasa sakitnya jika tengah PMS.
“Alasan saja kamu ini! Buktinya pas denger suara teriakan kurir langsung gesit,” sindir Rahma, hingga membuat Aisyah makin menundukkan pandangannya. “Ini kali yang bikin kamu susah hamil?” celetuknya.
“Awas saja, jika sore pekerjaan rumah belum selesai! Nanti sore ada pengajian di rumah umi, jangan buat malu bisa nggak sih!” sambung Rahma murka.
***
“Aisyah! Aisyah!” pekik Rahma seraya menggedor-gedor pintu kamar Aisyah dengan kasar.
“Iya, sebentar, Umi,” jawabnya dari kamar.
Aisyah segera beranjak dari atas kasur. Ia meletakkan handuk hangat yang mengompres perutnya yang masih terasa sakit dan ngilu. Aisyah kemudian meraih kain hitam panjang yang langsung dipakaikan untuk menutup kepalanya. Selembar kain hitam lainnya yang tampak kecil ia gunakan untuk menutupi bagian wajahnya dan hanya memperlihatkan matanya saja.
“Cepet buka pintunya!” teriak Rahma tampak tak sabar
“Sebentar, Umi,” ujar Aisyah dengan terburu-buru.
Pintu segera Aisyah buka, dan tampak Rahma di balik pintu tersebut tengah berkacak pinggang dengan raut wajah yang terlihat kesal. Waita bercadar itu yang melihatnya pun tahu bahwa mertuanya itu mempunyai keluhan tentang dirinya yang masih berada di dalam kamar hingga menjelang tengah hari.
“Buka pintu, kok, lama? Kamu mau jadi menantu nggak tahu diri ngebiarin Umi tunggu kamu buka pintu?” cecar Rahma dengan tatapan berapi-api.
“Maaf, tadi Aisyah pakai kerudung dulu, Umi. Omong-omong ada apa, ya, Umi?” tanya Aisyah dengan nada yang hati-hati.
“Kenapa pake tanya segala, Aisyah? Kamu lupa kalau hari ini Umi ngadain pengajian? Kamu malah diam di kamar padahal Umi sibuk nyiapin semuanya! Sebagai menantu kamu harusnya sadar dan langsung membantu Umi tanpa disuruh, padahal Umi sudah berpesan tadi pagi. Udah kaya bocah aja yang apa-apa harus disuruh dulu!” geram Rahma seraya menunjuh wajah menantunya dengan jari telunjuk.
“Maaf, Umi ... Aisyah bukannya nggak mau bantu Umi, Aisyah tadi kram haidnya terasa lagi. Sekarang perut Aisyah sudah nggak sesakit tadi dan baru bisa keluar dari kamar sekarang,” jawabnya sebisa mungkin tidak menyinggung Rahma.
Jantung Aisyah berdebar lebih kencang. Ia tahu Rahma tak akan pernah bisa menerima alasan tersebut, tetapi dia berkata sejujurnya. Wanita bercadar itu lantas menunduk, tidak berani melihat langsung sang ibu mertua yang emosinya bisa saja kian memuncak.
“Kenapa kamu masih haid, hah? Bukannya ini sudah waktunya kamu mengandung seorang anak dan memberikan cucu pada Umi?” ketus Rahma dengan alisnya yang berkerut.
Rasanya Aisyah ingin menjawab, tapi ia memilih untuk mengurungkan niatnya itu. Dirinya berusaha untuk menahan air mata yang hampir saja terbendung di pelupuk matanya. Ia mencoba untuk mengatur napasnya supaya ia tidak menangis di depan Rahma.
“Cepat ke ruang tamu, sana! Siapin semuanya sebelum orang-orang datang. Kalau masih belum siap, nanti kamu yang terima ganjarannya, Aisyah,” titah Rahma, kemudian melenggang ke arah dapur.
Tangan Aisyah tergerak menghapus air mata yang hampir keluar dari pelupuk matanya. Ia lantas menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk mengendalikan emosinya. Sembari memegang perutnya yang masih terasa sedikit sakit, ia segera menggerakkan tungkainya ke tempat penyimpanan karpet di samping dapur.
Mendapatkan kata-kata yang sebenarnya tidak mau Aisyah dengar adalah konsekuensinya tinggal bersama dengan ibu mertuanya. Itu dikarenakan Rahma yang meminta Wahid, suaminya untuk tetap tinggal di rumah tempat suaminya tumbuh sebagai bakti kepada sang ibu. Meski harus mendapatkan perlakuan seperti itu, ia harus tegar mendengar kata-kata yang terkadang menyakiti hatinya, karena ia tahu bahwa hal itu adalah salah satu ujian dari Allah Sang Maha Kuasa supaya dirinya bisa menjadi pribadi yang kuat.
“Hati-hati bentangkan karpetnya, jangan sampai kena perabotan lain! Sudah berapa vas bunga yang kamu pecahkan agara-gara keteledoranmu!” celetuk Rahma saat menantunya melewati dirinya yang tengah berada di sapur.
“Baik, Umi,” sahut Aisyah pelan.
Aisyah lantas mengangkat karpet dengan hati-hati ke ruang tamu, lalu membentangkan karpet yang lebarnya sangat luas itu sendirian. Sementara itu, Rahma tengah mempersiapkan makanan yang akan disajikan pada para tamu yang akan datang.
Setelah merapikan karpetnya, ia mengambil beberapa makanan ringan dari lemari dapur. Rahma yang melihatnya meminta agar ia hanya mengeluarkan makanan yang murah saja. Sesuai dengan permintaan mertuanya itu, ia hanya mengeluarkan beberapa makanan ringan yang murah dan beberapa wadah untuk menuangkan makanannya.
Tak terasa Aisyah berkelut membantu mertuanya dengan perasaan was-was, semua persiapan pengajian sudah selesai. Tiba waktunya para tamu datang menghadiri pengajian tersebut. Sembari menyalami ibu-ibu yang masuk ke dalam rumah Aisyah tersenyum dibalik cadarnya. Beberapa ibu-ibu begitu ramah dan terkadang mengajak Aisyah mengobrol ringan sambil menunggu para jamaah lain datang.
“Aisyah, tolong hidangkan minumannya, ya, sambil tunggu ibu-ibu yang belum datang,” perintah Rahma terdengar ramah. Tentu saja, ia ramah bila berhadapan dengan ibu-ibu lain.
Setelah mengangguk, Aisyah lantas bergegas menyusun minuman ke dalam baki agar lebih mudah dibawa dalam jumlah yang banyak. Wanita bercadar lantas membagikan minuman tersebut pada para jamaah. Merasa jumlahnya kurang, Asiyah kembali lagi ke dapur dan membawa baki kedua. Naas, saat berjalan ada dua anak laki-laki yang tengah bermain kejar-kejaran tak sengaja menyenggol tubuhnya sehingga badan Aisyah condong ke depan, hingga baki di tangannya terlepas.
Suara pecahan beling yang bersentuhan dengan lantai terdengar nyaring. Cairan berwarna jingga yang terbendung oleh gelas pun berceceran membasahi lantai dan ujung karpet. Beberapa gelas terpecah-belah setelah menerpa keramik. Aisyah membulatkan matanya dengan sempurna.
Wanita itu tak menyangka akan menimbulkan masalah di depan jamaah. Rahma yang melihat hal itu tampak murka. Acara pengajian yang seharusnya dilaksanakan dengan damai malah ditimpa kesialan yang mempermalukannya.
“Kenapa, sih, kamu buat onar di depan orang-orang? Bawa minuman aja nggak becus! Pantes aja kamu masih belum hamil, Aisyah ... bawa yang kaya gini aja kamu nggak bisa, apalagi bawa bayi di perut kamu!” hina Rahma dengan nada tinggi.
“Maaf, Umi, tadi Aisyah kurang hati-hati bawanya dan nggak sengaja tersenggol, jadi—“
“Jangan banyak alasan kamu, cepat bereskan beling dan minuman yang tumpahnya,” titah Rahma murka.
Aisyah terdiam seribu kata sembari mengumpulkan beling-beling yang berserakan di lantai. Mendapat hinaan dari sang mertua membuat hatinya begitu sakit, terlebih lagi Rahma menghinanya di depan orang-orang yang menyaksikannya. Para insan yang ada di sana seketika membicarakan ucapan Rahma yang mereka percayai bahwa Aisyah memang tidak mampu mengandung anak.
Bisikan-bisikan mereka cukup terdengar jelas oleh Aisyah. Walaupun ia pura-pura tidak mendengar, tapi hatinya tetap sakit untuk menahan hinaan-hinaan yang tertuju padanya. Perlahan-lahan air mata mulai muncul di pelupuknya saat ia mengelap minuman yang tumpah. Kumpulan beling yang berserakan sudah ia bawa dan sapu, lantai yang lengket akan minuman pun sudah bersih kembali berkatnya. Aisyah membuang pecahan gelas tersebut ke dalam tempat sampah di dapur, lalu setelahnya ia simpan lap kotor bekas mengelap minuman tadi.
Wanita bercadar itu lantas melenggang pergi ke kamar untuk menenangkan diri. Air matanya mulai membasahi cadar hitamnya, bahunya naik turun seiring air mata yang terus mengalir. Aisyah mengusap-usap lengannya, mencoba untuk menyemangati dirinya sendiri agar tetap kuat mendengar cercaan orang-orang.
“Nggak apa-apa, Aisyah ... nggak apa-apa! Kamu harus kuat, ini ujian dari Allah kepada kamu supaya menjadi seorang hamba yang bisa bertahan dalam dunia yang seperti ini. Maksud Umi nggak jahat, kok. Umi marahi aku supaya tahu kalau aku harus hati-hati saat melakukan apa pun. Semangat, Aisyah!” Aisyah menyemangati dirinya sendiri agar tak berlarut dalam kesedihan.