5

1556 Kata
Bebi dan Pink berusaha menenangkan diri sejenak terutama Bebi yang masih syok karena teriakan Martin tadi. Mereka terdiam sambil melihat minuman dingin yang ada di atas meja yang telah mereka pesan di salah satu kedai minuman yang ada di food court mall tersebut. Bintang duduk di samping Pink dengan wajah keheranan. Ia tak lagi sedih seperti tadi saat Pink meninggalkannya pergi. “Menakutkan sekali,” ujar Bebi memecah keheningan. “Ya, benar. Apa kau juga melihatnya Beb?” tanya Pink dengan wajah serius. “Tentu saja! Aku melihatnya membentak kita, menyeramkan sekali. Bahkan ayahku tidak pernah membentak seperti itu. itu membuatku hampir menangis. Lagipula kamu ngapain sih tadi?! Aku menyesal ngajak kamu kesini!” bentak Bebi. “Sorry, aku juga enggak tahu bakal kejadian seperti itu Beb,” jawab Pink datar “Tapi kamu tadi lihat apa sih? Sampai histeris gitu?” “Kecelakaannya Bintang,” jawab Pink singkat sambil bersedekap. “Yang bener? Terus tadi kamu bilang ada hantunya Bintang ke polisi?” Bebi penasaran namun sedikit takut. “Becanda doang mah kalau itu, habisnya itu polisi nyebelin banget. Lenganku sampai sakit waktu dia tarik tadi,” kilah Pink. “Berarti hanya kamu yang bisa lihat. Menarik juga. Terus apa yang harus kita lakukan?” tanya Bintang yang tidak dijawab oleh Pink. Bebi memajukan kursinya dan berbisik, “katanya, mobil Bintang itu enggak bisa dipindahin Pink. Makanya mobil itu masih disana sampai sekarang.” “Emang iya?” Pink melirik Bintang yang menganggukkan kepalanya. “Terus ada yang pernah lihat penampakannya Bintang disana. Katanya serem banget, kulitnya hitam, pandangannya kosong dan muter-muter di area situ. Emang tadi kamu beneran enggak lihat arwahnya Bintang?” lanjut Bebi makin lirih. Pink tentu saja tidak percaya pada rumor yang berkembang itu karena Bintang terus berada di atas atap rumahnya. Ia juga tidak bisa berpindah tempat sesuka hatinya seperti perkiraan orang-orang. “Enggak ada Beb, memangnya kalau ada kamu mau ketemu sama Bintang?” Bebi merubah posisi duduknya menjadi lebih rileks dengan bersandar pada bahu kursi. Ia menghabiskan minumannya dan berkata, “Ya enggak lah Pink. Takut.” Bintang terkikik mendengar kata-kata Bebi. “Masa iya dia takut kalau melihat hantu tampan seperti aku?” Pink melihat Bintang dengan kecut dan memelototinya yang membuat Bintang menutup mulutnya. Pink belum terbiasa dengan hadirnya Bintang yang hanya bisa dilihat dan didengar olehnya dan ia tidak bisa leluasa berbicara dengan Bintang saat ada orang lain. Ia ingin memberitahu Bebi tapi Bebi pasti tidak percaya dengan ceritanya. “Oh iya, Mbak Misca emang kenapa Beb?”  “Oh iya, jadi Mbak Misca kan pacarnya kuliah di Rusia. Pacarnya itu enggak bisa lulus tahun depan karena penelitiannya emang lama, jadi mungkin dua tahun lagi baru bisa lulus dan balik ke sini. Nah orang tuanya Mbak Misca itu punya hutang Pink ke koleganya. Aku enggak tahu sih berapa nominalnya tapi katanya banyak banget. Mbak Misca udah bayar setengahnya tapi masih kurang terus dia coba pinjem ke pacarnya itu dan pacarnya enggak bisa bantu. Singkat cerita kolega orang tua Mbak Misca punya anak yang seumuran dan dia entah kenapa dan kok bisa gitu naksir berat sama Mbak Misca!” “Lah, kayak sinetron sih? Jangan bilang dia bakal nikahin Mbak Misca dan dengan demikian utangnya lunas?” protes Pink. “Sedihnya iya.” “Terus Mbak Misca terima gitu aja? Terus pacarnya gimana? Diem aja gitu?” cecar Pink. “Aku belum ketemu Mbak Misca lagi terus undangannya tiba-tiba datang Pink. Mungkin gak sih takdir sekejam ini?” “Kasihan banget sih. Tapi ya kita bisa apa Beb? Kita juga enggak punya uang buat bantu Mbak Misca bayar hutang,” ujar Pink miris. “Semoga aja ini yang terbaik buat mereka ya. Aku juga enggak bisa bayangin kalau aku ada di posisi Mbak Misca ataupun pacarnya. Mereka LDR pula.”  “Ya udah, kalau kamu mau cari make up, cari sendiri ya. Aku tunggu disini aja ya, lenganku masih sakit nih.” “Oh, ya udah kalau gitu. Pesenin makanan sekalian ya.” “Iya beres,” ujar Pink. Bebi beranjak pergi dari sana diikuti oleh Bintang yang berpindah dan duduk di depan Pink. Wajahnya sudah tak muram lagi. semangatnya seakan kembali setelah tahu Pink kini bisa membantunya memecahkan masalahnya. “Jadi kita harus gimana?” Pink mengambil ponselnya dan mendekatkan ke telinganya. Ia tak mau orang lain salah paham saat melihat Pink yang bicara sendiri karena orang lain tidak bisa melihat Bintang. “Entahlah. Tapi apa kamu ingat gantungan berbentuk bintang yang kamu pungut?” Bintang celingukan dan tidak paham bahwa Pink sedang bicara padanya. “Heh? Kamu bicara sama aku?” “Iya, siapa lagi?” “Haha, aku pikir kamu lagi nelepon beneran,” ujar Bintang sambil menggaruk kepala bagian belakangnya. “Aku lempar ke pojok. Memangnya kenapa?” “Bodoh, itu bisa jadi bukti tahu. Mungkinkah polisi sudah menemukannya?” “Ya kan aku tidak tahu kalau akan kejadian seperti itu. kamu menyalahkan aku terus sih? Kan aku korban.” Bintang cemberut. “Iya, maaf, maaf. Kalau gitu, kita coba cari dulu benda itu.” Pink memasukkan ponsel ke dalam tas, meminum es tehnya dan kemudian pergi dari sana menuju parkiran mobil. Ia melihat Martin sedang naik escalator menuju food court yang berarti investigasi di area tersebut telah usai. Sesampainya di tempat parkir, Pink mencari gantungan bentuk bintang yang tadi ia bicarakan di sekitar sana. Garis polisi masih terpasang tetapi mobil Bintang sudah tidak ada disana. Beberapa polisi juga masih ada di sana tapi Martin sudah tak tampak. Bintang ikut mencari benda itu di tiap sudut tapi tidak menemukannya. Ia lalu mencari di sekirat tempat sampah dan melihat ada kilauan dibawahnya. “Pink, sini deh!” teriak Bintang. Pink menghampiri Bintang dan melihat kilauan di arah yang ditunjuk Bintang dengan jarinya. Ia menggesar tempat sampah itu dan menemukan gantungan bintang disana lalu ia segera menggambil dan memasukkannya ke dalam tas.  “Nona, kamu sedang apa?” seorang polisi menghampiri Pink dan mengagetkannya. “Ah, ini Pak, saya sedang mencari gelang saya yang jatuh disini, tapi ternyata enggak ketemu,” kilah Pink agar polisi tak curiga. “Ya sudah, kamu coba ke bagian informasi saja, siapa tahu ada yang menemukannya.” “Iya Pak, terima kasih,” ujar Pink yang kemudian kembali ke food court yang berada di lantai 3. Pink kembali duduk di tempat duduknya yang tadi dan menunggu Bebi kembali dari belanja. Sedangkan Bintang, ia berdiri di sebelah Pink. Matanya sedang mencari makanan enak yang ingin dia makan karena sudah tiga hari ia tidak menghirup aroma makanan. Di atas atap, ia hanya ditemani oleh burung-burung kecil, embun pagi, sinar matahari dan rembulan. Di sana ia memikirkan banyak hal yang tidak pernah terlintas dalam pikiran kekanakannya sebelumnya. Saat ia melihat orang-orang yang sedang makan, ia melihat Martin duduk di tengah dan sedang memilih makanan. “Wah Pink, ada polisi itu lagi,” kata Bintang. Pink menenggok ke arah tempat duduk Martin yang sedang sendirian. Pink lalu mengalihkan pandangannya dari Martin karena ia jengkel bila melihat wajah Martin. Bila dilihat dari wajahnya, Pink menebak umurnya sekitar 30 tahun, memang lebih tua dari dirinya. Ia memiliki rahang tegas yang ditumbuhi brewok rapi dan maskulin. Mata miliknya tajam dan beralis tebal nan tegas. Hidungnya mancung seperti orang Arab dan bibirnya tipis. Pria ini berkulit sawo matang dan bertubuh kekar. Jarinya tidak memakai cincin, mungkin ia masih sendiri. Tapi jika peringainya seperti itu, siapa juga yang mau menjalin hubungan dengannya. “Huh, menyebalkan sekali wajahnya,” dengus Pink. “Tapi dia yang menangani kasusnya. Mau tidak mau aku juga akan bertemu dengannya lagi. Apa kita harus memberikan benda ini padanya?” “Bagaimana kalau kita simpan dulu saja? Aku sedikit ragu padanya,” ujar Bintang yang duduk di atas meja.  Pink memperhatikan Bintang dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Kenapa kamu hanya memakai baju ini?” “Aku tidak tahu caranya ganti baju. Apakan sama seperti kalian?” Bintang mengangkat kausnya dan memperlihatkan perutnya yang masih kotak-kotak. Pink sontak menutup matanya dan mengayunkan tangannya ke bawah sebagai kode untuk Bintang agar ia menurunkan kausnya. Saat itu Martin tidak sengaja melihat ke arah Pink dan heran dengan tingkahnya yang seperti sedang berbicara sendiri. Bintang segera menurunkan kausnya. “Oh, ternyata bisa diangkat, aku kira enggak bisa,” ujarnya polos. Memang dia hantu yang baru. Harusnya ada yang membimbingnya menjadi hantu professional. “Jangan bikin kaget dong!” Seumur hidup Pink, baru kali ini dia melihat pria membuka baju dihadapannya langsung. Tetapi kenapa juga yang membuka baju itu harus hantu? Bukan Ken yang ia sukai? “Sepertinya aku harus membuat eksperimen. Ajak aku ke toko baju dong Pink!” “Iya, nanti. Nunggu Bebi selesai belanja dulu. Tapi aku enggak bisa beliin kamu baju loh ya.” Bintang mengangguk dengan girang. Di sisi lain, Martin terus memperhatikan Pink sambil memakan makanannya yang baru saja disajikan. Tak lama kemudian Bebi datang dengan membawa dua tas kertas kecil yang berisi make up barunya. Saat ia datang, ia melihat Martin yang sedang memperhatikan Pink. “Kok ada dia sih Pink?” tanya Bebi sambil meletakkan tas belanjanya di atas meja. “Lagi makan siang kali. Tapi kasihan banget makan siangnya sendirian, enggak punya teman kayaknya,” ledek Pink yang disambut tawa Bebi dan Bintang. Mereka berduapun memilih kedai untuk makas siang. Pink memilih masakan jepang dan Bebi memilih steak. Seperti biasa, Bintang hanya akan melihat mereka berdua makan dengan riang. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN