Fakta Mengejutkan

1271 Kata
Nayla masuk ke laboratorium komputer yang sangat sunyi. Ya, di jam istirahat seperti ini siapa yang mau menghabiskan waktu di dalam tempat tertutup itu? Tampak Edwin sedang sibuk membuat sesuatu, layar monitornya gelap, hanya ada garis-garis bergerak-gerak yang kadang melengkung dan kadang lurus. Pemuda itu tidak terusik dengan kehadiran Nayla yang sudah berdiri di sisi tempat duduknya. "Makasih sudah bantu bersihin toilet. Sudah ya, impas. Tolong jangan suruh-suruh aku lagi, aku lapar belum makan." Nayla meletakkan makanan dan minuman yang dibawanya di atas meja Edwin tersenyum lebar, merentangkan tangannya tinggi-tinggi melemaskan otot-ototnya akibat terlalu lama duduk di depan komputer. "Ya udah, makan sini aja bareng aku, napa protes?" Edwin membuka kresek berisi roti dan mengambilnya satu biji. "Ck!" Nayla berdecak sebal, lalu bergegas keluar dari ruang komputer. Ia melirik jam tangannya, tinggal lima menit lagi waktu istirahat habis, sementara ia sudah sangat lapar. Maka ia memutuskan untuk makan di kantin utara yang paling dekat dengan posisinya saat ini. Ia masuk lewat pintu samping, sangat banyak orang di bagian depan, mana kebanyakan cowok-cowok berisik, pasti tidak akan nyaman berjalan di sekitar mereka. Sepertinya kantin itu sering digunakan nongkrong anak-anak gaul di sekolah itu. "Tumben sendirian, di mana Edwin?" "Nggak tau juga dia, tadi bilangnya lagi ada urusan." Terdengar percakapan dua orang dari meja dekat etalase makanan. Nayla terus melangkah melewati pintu samping yang memang letaknya dekat dengan etalase makanan tanpa mempedulikan percakapan yang sempat tertangkap indera pendengarannya. "Gimana bimbel kamu?" "Nggak bisa berharap banyak, sih. Aku punya saingan cukup berat sekarang. Itu si Nayla murid baru." Merasa namanya disebut-sebut, Nayla menghentikan langkah, bukan mau nguping, tapi sangat penasaran. "Yang pake jilbab panjang itu, bukan?" "Iya. Aku sudah dua kali dapat skor di bawah dia." Kini ia paham, rupanya Resita dengan temannya yang sedang membicarakan dirinya. Resita adalah salah satu teman bimbel Biologi yang cukup unggul dari teman lainnya. "Tenang aja, pokoknya nggak ada yang bisa ngalahin kamu. Aku dan geng aku pasti bantu," ucap teman Resita. "Aku juga beberapa kali mergokin dia dekat sama Edwin, aku curiga aja dia nggak sebaik kelihatannya. Awas aja kalo sampe berani macem-macem." Oh, jadi teman Resita itu Firza, pacarnya Edwin. Mungkin yang ia lihat saat di gedung olahraga lalu. Ia tidak lagi melanjutkan nguping-nya, memilih segera pergi meninggalkan kantin. Tidak jadi makan meski perutnya sangat kelaparan. Tepat setelah ia keluar, bel tanda masuk berbunyi nyaring. "Kamu dari mana sih, nggak makan? Nih aku bungkus makanan kamu," selidik Chaca. Nayla menatap kotak makanan yang disodorkan Chaca, lalu mengambilnya sambil tersenyum lebar. "Makasih, Cha. Kamu memang my best friend forever! Aku lapar banget, tadi ada urusan mendadak." Nayla segera meraih kotak makanannya, lalu menyantap dengan tergesa sebelum wali kelasnya masuk. "Lain kali ajak aku kalo pergi-pergi," ucap Chaca lagi. "Iya, iya, Chaca bawel!" Nayla mengerucutkan bibir mendengar temannya begitu cerewet menginterogasinya. *** Setelah pelajaran terakhir usai, Nayla menuju ke masjid untuk mengajar mengaji para siswi kelas sepuluh, jadi mereka sepantaran. Ia tersenyum melihat sekumpulan remaja berseragam putih abu-abu dengan jaket hitam khas SMA Bina Karya sudah duduk di teras masjid bagian akhwat. Sesuai kesepakatan, mereka juga mengenakan jilbab meski hanya dikenakan saat pelajaran mengaji saja. "Assalamu'alaikum," sapa Nayla dengan senyum mengembang. "Wa'alaikumsalam," jawab mereka serentak, menoleh dan membalas senyumnya dengan lebih riang. "Sorry, ya, lambat. Ada tugas tambahan tadi," ucap Nayla, lalu duduk bergabung bersama mereka. "Santailah, Nay. Kami juga barusan tiba." Karena seumuran mereka tetap saling memanggil nama meskipun kedudukan Nayla adalah guru mengaji mereka. Ini pertemuan ketiga mereka. Nayla menatap mereka satu per satu. Jumlahnya makin bertambah. Wajah-wajah polos mereka sangat lucu membuat Nayla tersenyum geli. Dari dua belas orang peserta yang begitu ceria, ada satu orang yang tampak murung. Tapi Nayla tidak terlalu mengambil pusing, dia pun memulai pelajaran. "Sekarang kita mulai belajar sambil latihan. Masih ingatkan lalu tentang pengertian dan keutamaan ilmu tajwid? Nah, sekarang kita mulai belajar makharijul huruf--tempat-tempat keluarnya huruf hijaiyah atau huruf Arab." Nayla mulai menulis di papan poin-poin penting pelajarannya. "Nggak perlu malu ya belajar ngaji sudah se-gede ini. Nggak ada kata terlambat untuk belajar. Malah kita harus bangga, Allah masih kasih kita kesempatan untuk belajar agama sebelum ajal menjemput. Kita punya satu waktu, kita luangkan satu waktu, buat belajar ngaji. Mengalahkan semua keinginan kita untuk menikmati aktivitas lain di luar sana. Semoga dengan satu waktu ini, Allah akan menjauhkan kita dari kesusahan di alam akhirat." Panjang lebar Nayla memotivasi teman-teman seangkatannya. Di antara mereka sudah ada yang meneteskan air mata dan suara isakan mulai memenuhi teras masjid yang lengang. "Oke, kita langsung saja, ya. Makharijul huruf atau tempat keluarnya huruf hijaiyah terbagi menjadi lima tempat. Pertama Al Jauf atau rongga mulut, kedua Al Halq atau tenggorokan, ketiga Al Lisan atau Lidah, keempat Asy Syafatain atau dua bibir, dan kelima Al Khaisyum atau rongga hidung." Nayla memulai penjelasannya. Lalu menerangkan masing-masing secara umum beserta beberapa contohnya. Setelah menjelaskan kurang lebih satu jam, Nayla menyudahi pelajarannya dilanjutkan sesi tanya jawab. "Nay, boleh nggak pulang lebih cepat? Capek banget nih, tadi pagi kami disuruh bersihin toilet sama Edwin." Bukannya bertanya seputar ilmu tajwid justru mereka meminta cepat pulang. "Iya, Nay. Nyebelin banget si Edwin itu, huh! Ganteng sih ganteng, tapi berandal! Mana banyak lagi teman-temannya. Bikin takut!" Seorang peserta lainnya menimpali. Nayla termenung mendengar pengaduan itu. Ia tidak menyangka Edwin ternyata tidak membersihkan toilet dengan tangannya sendiri, tapi menggunakan anak-anak lain. 'Jadi begitu, hmmm, pantas kinclong toiletnya. Mana sudah berterima kasih segala lagi tadi!' Nayla menggerutu dalam hati. "Kenapa nggak bilang dari tadi? Supaya kita libur dulu hari ini. Ya udah, yuk balik." Akhirnya mereka bersiap-siap untuk pulang. Para peserta belajar mengaji sudah pulang lebih dulu. Tinggal satu orang yang masih tersisa. Dengan ragu, siswi itu mendekati Nayla yang sedang sibuk menghapus papan tulis. "Oya, kamu belum pulang? Kita baru kali ini ya ketemu?" Nayla tersenyum ramah pada remaja cantik itu, rupanya dia yang tampak murung sejak tadi. "Iya, aku memang baru kali ini gabung belajar ngaji. Namaku Ayara, jurusan bahasa." Cewek itu memperkenalkan diri. "Mmm, boleh aku tanya sesuatu? Tapi... ini cukup sensitif," tanyanya ragu. Nayla segera meletakkan penghapus di tempatnya, berbalik menghadap Ayara agar bisa mendengarkan dengan baik. "Tentu boleh, tanya aja, nggak usah segan sama aku." Terlihat wajah Ayara sendu, ia menunduk menyembunyikan kesedihannya. "Apakah cewek yang udah pernah HB masih boleh tobat?" tanya Ayara ragu. "Maksudnya? Apa itu HB?" Nayla mengernyit heran, baru kali ini mendengar istilah itu. "Itu... hubungan suami istri sebelum halal," jawab Ayara sangat pelan, khawatir ada yang mendengarkan. "Tentu bisa dong. Semua kesalahan selama pelakunya mohon ampun sama Yang Maha Kuasa dan janji nggak akan ngelakuin lagi, pasti diampuni." Tiba-tiba Ayara menangis, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Kamu kenapa?" Nayla keheranan. 'Apa aku salah bicara?' bisik hatinya. "Nay, aku pingin bertobat. Aku pingin hijrah dan jadi shalihah kayak kamu. Tapi, aku sudah terlanjur ngelakuin itu," ucapnya di sela isak tangisnya. Nayla terdiam, sangat terkejut mendengar pengakuan Ayara. Ia kembali teringat peristiwa di gedung olahraga tempo hari dan sekarang Ayara mengaku juga pernah melakukan hal itu. Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang dilihat dan didengarnya, tapi semuanya nyata. "Aku tau, kamu pasti nggak nyangka dan nggak akan nerima aku," ucap Ayara putus asa sebab Nayla tidak memberikan respon apa pun. "Eh, bukan begitu. Aku cuma kaget aja. Mmm, kita ketemu tiap pulang sekolah di sini, gimana? Mulai besok aku pinjamkan buku-buku bacaan dari rumahku." Nayla menenangkan, ia mengusap lembut punggung Ayara. "Aku juga siap kalo kamu butuh teman untuk curhat, aku bakal dengerin semua keluh kesah kamu." "Makasih banyak, Nay. Aku bakal ceritain semuanya. Intinya aku nyesel banget. Kalo waktu bisa diulang, aku nggak bakal mau percaya sama dia, nggak akan mau jalan sama dia..., aku nyesel banget Nay," isaknya penuh emosi. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN