Aditama membaca pesan yang masuk ke ponselnya dengan cepat sebelum kembali memfokuskan dirinya pada pria di depannya. Nggak salah kalau dia terpilih menjadi anggota dewan. Dia amat piawai dengan kata - kata dan bahkan bisa amat persuasif. Bagi orang yang fokusnya kurang, pasti bisa kehilangan arah ngobrol dengan pria ini.
"Pak Rudi," panggilnya memotong entah apa yang dikatakan oleh pria itu. Dia tak terlalu menyimak. kalau tak salah, sesuatu tentang sistem hukum kita atau semacamnya. "Kami sedang mencoba membantu Pak Rudi. Memang kewajiban kami untuk menangkap para pelaku. Tapi kami butuh kerjasama dari Bapak. Kasus ini tak akan selesai dengan sendirinya hanya karena Bapak terus protes tentang sistem. Jadi, maukah Anda bekerja sama kali ini? Kita sudah menyia - nyiakan tiga hari tanpa progress apa pun dengan Bapak di sini."
"Loh, Iptu, itu kan tugas Anda dan jajaran anda untuk meringkus mereka. Kok jadi saya sih, yang salah dan nggak mau kerjasama."
Aditama menahan kegeramannya. "Sekarang saya tanya, apakah kejadian kemarin merugikan Bapak?"
"Lha Anda nggak lihat, ini luka saya kayak gimana? Pertanyaan konyol macam apa ini!"
"Lalu Bapak ingin pelakunya ditindak tidak?"
"Ya jelas! Mereka itu sampah masyarakat! Aparat perlu menindak hal ini secepatnya agar tidak menjadi keresahan masyarakat."
"Tapi Anda bahkan tak mau menceritakan kronologi kejadian yang anda alami malam itu? Kami polisi, bukan dukun, Pak Rudi."
***
"Akhirnya!!" Rekan polisi yang datang bersamanya hari ini ke rumah sakit berseru lega. "Setelah Empat harian kita bersabar! Keluar juga cerita versinya."
Aditama terkekeh. Mereka berjalan beriringan menuju ke mobil polisi untuk kembali ke kantor polisi. Kesaksian Pak Rudi Isworo, korban kejahatan klitih yang tak lain juga merupakan anggota dewan perwakilan rakyat kota Jogja, sudah mereka kantongi.
ada tiga korban, dan enam saksi. Tiga kesaksian dari para korban dan kesaksian dari warga setempat yang mengaku mendengar suara kendaraan berknalpot protol di jam - jam yang bmenjadi perkiraan penyerangan klitih. Seharusnya itu cukup untuk menerbitkan surat penangkapan berdasarkan laporan yang masuk ke kepolisian. Sekarang, tinggal menunggu kabar dari Rano.
Tapi ternyata mereka tak harus menunggu lama karena seketika ponsel Aditama berdering, ada panggilan masuk dari kantor. Dia pamit pada rekannya sebentar untuk mengangkat panggilan ini.
"Oh, ya, silakan, Iptu."
Dia berjalan sedikit menjauh dari mobil dinas yabg mereka parkir di halaman parkir rumah sakit dan menempelkan ponselnya ke telinga.
"Halo?"
"Saya, Iptu, Rano. Saya sudah mendapatkan detail tentang Farhan. Mau saya titipkan ke orang kantor atau..."
"Tunggu saya sebentar, No. Saya sudah selesai di sini 59 - He's Engaged? lagi sampai kantor."
"Siap, Iptu."
Dia buru - buru kembali ke mobil, masuk dan memakai sabuk pengamannya setelah menutup pintu.
"Pak, kita langsung pulang ke kantor."
Rekannya langsung cepat tanggap. Tanpa bertanya macam - macam, mereka langsung meluncur ke kantor polisi. Kebetulan jaraknya tak terlalu jauh. hanya sekitar lima belas menit jika tak macet. Dan di jam - jam tanggung menjelang ashar seperti ini, jalanan Jogja untungnya tak terlalu ramai.
Aditama langsung meluncur menuju gedung kantor begitu mobil terparkir. Tak lupa dia membawa berkas - berkas dan catatan kesaksian yang dia dapat hari bini untuk memproses form penurunan surat penangkapan dan penggeledahan. Dia ingin ini semua di urus secepatnya.
"Rano." Sapanya pada pemuda yang duduk menunggu di ruangannya.
Yang disapa seketika berdiri dan memberi hormat. Dia kembali duduk setelah Aditama membalas penghormatannya dan menyuruhnya kembali duduk.
"Gimana, No?"
"Akhirnya dapat juga, Iptu." Jawabnya menyerahkan kertas berisi tulisan tangan. Dia membaca sekilas. Tertulis di sana nama daerah yang berada di dekat kawasan Bonbin Gembiraloka, Jogja. Kawasan yang sepi, tapi terkenal sebagai tempat tinggal para begal, dan preman. Beberapa gang di sana bahkan tak ada yang berani lewat kecuali penduduk aslinya karena terlalu takut pada penduduk di sana.
Setelahnya dia meletakkan kertas itu ke dalam sebuah map. Mengumpulkannya bersama bukti - bukti lain yang dia dapatkan untuk kasus ini.
"Nggak ada yang curiga, kan? Rolis?"
"Sampai sejauh ini aman, Iptu. Saya tanya kepada anggota yang membawanya masuk ke dalam kelompok. Panji namanya. Anak drop out yang nggak mau lagi lanjut sekolah. Biasa, watak anak orang kaya males."
Aditama mengangguk - angguk. "Oke. Makasih ya, No. Mungkin kamu masih harus di sana selama beberapa saat sampai perintah penggerebekan turun. Kalau perlu, nanti kamu bakal di panggil ke kantor. Tapi jika tidak, maka bikin diri kamu tak terlihat lagi. Ikuti saja sesuai Standar Operasional yang seperti biasanya."
"Siap, Iptu. Kalau begitu saya pamit dulu. Sukses untuk operasinya. Jika butuh bantuan, langsung hubungi saya seperti biasanya saja."
"Oke silakan."
Aditama menatap Rano tang pergi dari ruangannya. Pintu yang tadi terbuka ini berayun kembali tertutup di belakang Rano.
Dia menghela nafas panjang dengan pelan, mengusap wajahnya dengan tangannya yang gemetaran. Dia sangat bersemangat dan penuh ambisi untuk meringkus kelompok Klitih meresahkan ini. Perasaan ini selalu muncul saat dia tau dia akan meringkus dan menghukum mereka semua. Rasanya seperti sedikit lagi dendamnya dengan para penglitih akan segera terbayarkan!
Tapi di sini lain dia juga takut. Takut melihat wajah - wajah belia yang salah gaul sehingga terjebak dalam pergaulan semacam ini. Dia melihat ini dari sudut pandang orang tua meskipun dia sendiri belum pernah sepenuhnya menjadi orang tua. Hanya membayangkan saja jika anaknya yabg terjerat masalah seperti ini, apa yang harus dia lakukan?
"Udah lah, mereka juga bandel, nggak ada kapoknya!" Sergahnya gusar, kemudian meraih mouse komputernya dan mulai mencati draft surat permohonan ijin penangkapan.
***
"Astaghfirullahaladzim!" Marsih memekik terkejut saat tangannya tersengat pinggiran wajan panas.
Farhan yang sedang di depan TV juga mendengar seruannya dan langsung menghampiri ke dapur. "Kenapa, Bu?!" Tanyanya khawatir.
Dia sedikit lega melihat fisik ibunya baik - baik saja. dia kira tadi ibunya terperosok atau bagaimana di dapur sehingga dia buru - buru menghampiri.
Marsih menggeleng. "Nggak papa. Tadi Ibu agak meleng, jadi keslomot (tersengat untuk sesuatu yang panas) pinggir wajan." Dia menunjukkan tangannya yang sekarang tampak garis memerah pada Farhan.
Melihat luka ibunya, Farhan bergegas ke kamar mandi dan mengambil odol untuk dies di lukanya agar cepat dingin. "Ati - ati tho, Bu'e." Omelnya sembari mengusapkan tipis - tipis di sepanjang luka tangannya.
Marsih terkekeh mrlihat tingkah Farhan yang seperti orang tua. "Mggak papa. Lecet aja ini. Kamu udah garap PR dari sekolah."
"Udah, Bu." Tapi Farhan berhenti menjawab. Kalimatnya seolah dia belum sampai pada batasnya tapi sudah hatus berhenti.
"Tapi?"
"Nggak usah wis, Bu. Farhan nggak usah ngerjain aja tugas yang ini. Lagian Farhan juga ngerjain tugas terus . Udah tajin banget. Sekali - kali nggak usah ngerjain tugas, nilai juga nggak akan turun."
"Eh, Le! Ko pinter banget sekarang ngomongnya, di ajarin siapa? Kenapa cita - citanya nggak mau ngumpulin PR." Marsih menegir keras. "Nggak boleh kaya gitu. Jangan dibiasain dengan kalimat 'paling juga nggak papa. Kan sekali doang'. Jangan. Itu kalimat yang paling takabur." Ibunya berhenti. Menatap Farhan yang menunduk. " Memangnya PR nya apa, sih?"
Farhan terdiam sebentar, menunduk dengan salah satu tangan memegang odol. Dia sedikit ragu - ragu. Dia tak ingin melihat ibunya kembali sedih. nanti dia bisa dimarahi sama Kakungnya kalau bikin ibunya sedih sampai menangis.
"Le?" Marni memanggil sekali lagi saat Farhan tak juga menjawab.
"PR nya tebtang bikin silsilah keluarga, Bu. Sebenarnya sudah selesai. Sudah ada nama Bapak juga di sana. Tapi Yang dati pihak Bapak Farhan nggam tau semua. Sebenarnya siapa sih Bapak itu, Bu? Di mana dia sekarang?"