"Itu ulah kelompok kamu?" Aditama bertanya memastikan dengan tubuh tegak penuh antisipasi. Adrnalinnya kembali mengalir deras menemukan titik kunci yang selama ini memang dicarinya.
"Betul, Pak. Saya langsung datang ke kantor begitu bisa keluar dari sana dan mereka bilang kalau Pak Adit yang menangani kasus ini. Makanya saya langsung datang ke sini."
Saat bertugas, kadang ada kondisi yang mengharuskan intel untuk tidak membawa alat komunikasi apa pun termasuk ponsel. Kebetulan Rano adalah tipe yang begitu. Dia tak memakai ponsel atau pun alat komunikasi yang bisa membahayakan penyamarannya saat bekerja, karena dia harus berada dua puluh empat jam bersama target - target yang dicurigai. Hal ini tentu saja akan beresiko jika dia membawa alat komunikasi pribadi yang bisa menghubungkannya langsung dengan kepolisoan setempat. Untuk itu, lah, dia akan datang melapor jika memiliki info atau kabar yang ingin disampaikan pada kantor, selain waktunya melapor regulernya dua minggu hingga sebulan sekali.
Aditama merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponselnya. Menunjukkan sebuah gambar pada Rano. "Anak ini ada di kelompok kamu?"
"Ada, Pak. Dia anggota baru kami yang ditunjuk sebagai eksekutor untuk saat - saat ini. Anaknya tak ragu - ragu dalam menjalankan misi dan selalu menurut apa kata ketuanya."
"Jadi dua kejadian klitih terakhir itu kelompokmu yang melakukan." Aditama bergumam, lebih seperti berbicara dengan dirinya sendiri. "Kapan kelompokmu akan beraksi lagi, No?"
"Belum ada rencana untuk saat ini, Pak. Mereka masih memantau kasus ini dari berita - berita dan TV lokal. Mungkin nanti setelah kehebohan ini mereda. Kenapa Bapak nggak merencanakan operas penggerebekan ke markas besar saja? Hampir semua anggota datang untuk berkumpul setiap malam kecuali dia." Rano menunjuk pada gambar yang masih terpampang di layar ponsel Aditama.
"Kenapa bisa begitu?"
"Dia anggota termuda, Pak. Masih SMP kalau tak salah. Namanya Farhan."
Aditama mendesah kecewa mendengar tentang hal ini. Rano pun paham, ini menyulitkan mereka karena anak di bawah umur tak bisa dikenakan pasal pidana. Pengadilan anak - anak di bawah umur masih belum lazim di Indonesia sehingga menghambat hal ini.
"Farhan ini juga yang menjadi eksekutor dua aksi kalian terakhir?"
Rano mengangguk. "Benar, Pak. Saat ini dia adalah anak kesayangain ketua kelompok. Dia tak selalu ikut kumpul saat tidak beraksi kecuali Rolis, si ketua yang memanggil."
"Ini Rolis yang dulu pernah masuk sini gara - gara Klitih itu pas masih sekolah?"
"Betul, Pak. Rolis yang itu."
"Dia belum taubat juga? Seneng banget sih ngelakuin hal nggak jelas begini?"
Rano meringis. Rolis memang semakin dewasa bukannya bertaubat malah semakin meresahkan. Dia dan teman - temannya pernah diciduk polisi karena kejahatan yang sama saat masih sekolah. tapi tak seperti teman - temannya yang kapok dan kemudian bertaubat, Rolis masih terus saja bergelut di dunia perklitihan. Dia malah semakin melebarkan sayapnya dengan merekrut anak - anak yang lebih muda.
Polisi sudah hafal soal tabiatnya yang ini, karena dia pintar sekali mengakali Polisi sehingga seringnya bisa mengelak dari penggrebekan.
"Kalau yang saya dengar, Ibunya si Farhan ini agak protektif karena Farhan anak satu - satunya dan tak punya Bapak lagi."
"Rumahnya?"
"Belum tau, Pak. Mau saya cari tahu sekalian?"
"Ya. Karena kalau kita menggerebek markas Rolis dan dia tak ada di sana, dia bisa - bisa melarikan diri dan kita akan kehilangan jejaknya. Jadi lebih baik, kita mendatangi mereka berdua secara bersamaan."
Rano mengangguk. Masuk akal juga alasan Aditama. "Lalu setelah itu, untuk anak - anak yang masih tujuh belas tahun dan di bawahnya, sebaiknya kita apakan, Pak?"
"Kita serahkan pada pengadilan. Walaupun saya tak yakin mereka akan dikenakan hukuman karenanya. Tapi setidaknya akan ada rehabilitasi dan bimbingan untuk mereka."
Rano mengangguk lagi. Dia tinggal sebentar untuk menghabiskan minumannya sebelum kemudian pamit. "Ya udah kalau begitu, Iptu. Saya pamit. Sudah mau jam sembilan. Takutnya mereka bisa curiga kalau saya lama keluar. Nanti kalau saya sudah mengantongi alamat rumah Farhan, saya akan kembali melapor."
Aditama mengangguk. Ikut berdiri saat pemiuda itu berpamitan. "Ya, Terima kasih, Rano. Terus jalankan tugas dengan baik. Jaga diri. Saya tunggu laporan selanjutnya dari kamu."
"Siap, Iptu!"
Aditama menatap sosok gondrong yang baru saja dari rumahnya itu menjauh pergi menuju kegelapan malam.
"Farhan...." Dia menggumamkan nama yang baru saja dia tahu. Tersangka kedua kasus yang sedang ditanganinya.
***
"Kemarin kamu pulang jam berapa, Le? Kok Jam sepuluh belum sampe rumah?"
Pertanyaan Ibunya itu menghentikan tangan Farhan yang sedang melepas kancing kemeja seragamnya. Dia baru saja pulang, dan Ibunya hari ini tak bekerja di warung mie ayam. Libur tiga hari. Si pemilik sedang mantu anak pertama. Normalnya Ibunya akan rewang ke tempat majikannya tersebut, tapi hari ini tak ada acara apa pun. Baru besok ibunya disuruh ke sana untuk bantu - bantu karena ada pengajian. Itupun paling tak lama karena hampir semua acara sudah dipasrahkan kepada vendor wedding organizer yang disewa anaknya untuk menghandle semua acaranya. Paling nanti Marsih hanya diminta untuk membantu sedikit saja.
"Jam setengah sebelas Bu, sampe rumah. Sudah pada tidur semua pas Farhan pulang."
"Kan Ibu kasih ijinnya sampe jam sepuluh, Le. Kok molor."
"Iya, Bu. dari sana jam sepuluhnya. Padahal Farhan udah bilang harus pulang jam sepuluh. Biasalah, Bu. Orang kita. Harus sampai rumah jam sepuluh realitanya dari sana jam sepuluh."
Marsih tersenyum mendengar penjelasan Farhan, Tak pernah terlintas sedikit pun di benaknya kalau Farhan mungkin akan berbohong padanya. Dari kecil dia sudah membiasakan Farhan akan norma - norma naik yang seharusnya dia anut dalam masyarakat. Tak boleh bebohong, tak boleh membantah, berbicara dan bersikap sopan, semuanya. Semua itu tak lepas dari siapa sebenarnya Bapaknya Farhan. Marsih tak ingin Farhan dipandang sebelah mata oleh orang - orang karena fakta dia adalah anak preman.
Marsih ingin membuktikan pada sunia bahwa anaknya yang notabene adalah anak preman juga bisa menjadi 'orang baik' di masyarakat. Dan mungkin juga karena ketakutan dan kekhawatirannya itu dia jadi amat protektif pada Farhan. Padahal anaknya sudah sebesar ini. Sebentar lagi dia akan menjadi orang dewasa yang harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
"Kamu sekarang sering kerja kelompok, ya, Le. Padahal dulu jarang banget. Palingan kalau kerja kelompok juga siang, nggak pernah malem - malem." Marsih hanya ingin mengobrol dengan anaknya itu. Rasanya lama sekali dia tak mengobrol seperti ini. Apalagi sejak Farhan beranjak remaja dan dia semakin sibuk bekerja karena kenutuhan Farhan juga semakin banyak.
"Ya gimana, Bu. Mau ujian semester memang biasa kaya gini. Kalau dulu kan, masih pada mau diajakin ngerkain sepulang sekolah. Makin ke sini makin banyak yang nggak mau. Katanya bosen lah di sekolah terus, nggak bisa main, nggak bisa nongkong, gitu - gitu. Farhan kan minoritas, kalah suara, jadi nggak bantah. Cuma bisa manut - manut aja."
Marsih tersenyum melihat cara anaknya bicara dan membela diri. "Yo wis. yang penting kamu sekolah bergaul yang bener. Jangan macem - macem. Jangan asal mau kalau diajak gabung - gabung. Sekarang kan lagi marakl itu perkumpulan yang aneh - aneh. Ibu nggak suka kamu ikut - ikut begitu. Paham ya, Le"
Farhan menatap dinding kamarnya yang berjamur sedikit lebih lama sebelum menjawab kalimat ibunya. "Iya, Bu. Paham."