Bab XX

1473 Kata
"Sebenarnya siapa sih, Bapak, itu, Bu? Di mana dia sekarang? Bapak tau nggak Farhan ada? Kenapa nggak pernah nengokin Farhan sama sekali? Bapak sayang nggak sih, Bu, sama Farhan? Kalau Bapak udah nggak ada, kenapa Ibu nggak pernah ajakin Farhan ke makam Bapak kaya yang tetangga - tetangga lain lakuin di sini menjelang puasa, Bu?" Tapi sekuat apa pun Farhan menahan diri, bersembunyi di balik alasan tak ingin membuat Ibunya menangis, sekali pertanyaan itu keluar, dia tak bisa menghentika dirinya. Dia sudah enam belas tahun, dan sekali pun saat dia tumbuh dewasa, sosok Ayahnya belum pernah terlihat. Dia juga ingin melihat seperti apa Ayahnya. Miripkah dia dengan Ayahnya. Orang seperti apa Ayahnya. Hal - hal semacam itu. Dia tak terlalu naif untuk berharap bisa langsung akrab dan dekat dengan Ayahnya, tidak. Lagipula, dia juga tak yakin, apakah dia bisa menerima Ayahnya atau tidak jika Ayahnya tiba - tiba datang. Dia hanya penasaran. Bukankah umur sebaya dengannya, rawan akan rasa ingin tahu? Di depannya, Ibunya diam mematung. Tangannya yang sehat memegang serokan berisi perhedel yang tadi di gorengnya. Bersiap memindahkannya ke piring sebagai lauk makan malam mereka nanti. "Bu..." "Bapakmu sebatang kara. Tak punya orang tua. Setau Ibu begitu." Akhirnya setelah beberapa saat Ibunya menjawab pendek dan singkat sebelum pergi meninggalkannya untuk beranjak ke meja makan. Farhan masih di sana, berdiri dengan bingung dan canggung sambil masih memegangi odol di tangannya. Dia menghela nafas dalam sekali sebelum beranjak ke kamar mandi untuk mengembalikan odol yang tadi dipakainya untuk mengobati luka bakar Ibunya. Setelahnya dia keluar dengan lesu. Dia tak tahu apa yang terjadi pada pernikahan kedua orang tuanya. Apakah mereka bercerai, atau Ayahnya sudah meninggal? Tak ada jejak apa pun yang bisa dia jadikan jawaban di rumah ini. Bertanya pada Ibunya, hanya berakhir seperti ini. Pada Eyang dan Kakungnya pun kurang lebih sama. Tak ada jawaban jelas yang bisa dia dapatkan dari mereka. Bertanya pada tetangga.... Dia kadang amat iri pada lingkungan di peumahan luar sana. Sepertinya mereka amat dekat satu sama lain sampai - sampai mereka tahu apa yang terjadi dengan kehidupan tetangganya secara detail. Jika saja tetangganya di sini ada yang begitu. Farhan tak akan sungkan bertanya pada orang tersebut di mana Ayahnya saat ini berada. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang seperti itu! Kebanyakan di sini adalah pekerja serabutan. Baik laki - laki maupun perempuan. Saat siang seperti ini, jarang ada yang berada di rumah sehingga di teras - teras sepanjang gang jarang terlihat ada orang yang menggerombol untuk merumpi dan bergosip. Kata Ibunya, itu malah melegakan. Jadi tak banyak fitnah tersebar yang diakibatkan banyaknya orang yang kekurangan pekerjaan di daerah sini. Tilah sebabnya gang ini amat sepi. Suasana akan sedikit ramai saat menjelang maghrib, karena banyak anak - anak sekolah dasar yang berangkat mengaji bersama - sama ke musholla di ujung gang sana. Dulu Farhan juga salah satu dari mereka. Tapi dia tak mengaji lagi setelah khatam Al - Qur'an di kelas lima SD. "Ya udah, berarti bener, tho. Tinggal Farhan nggak usah ngumpulin PR nya, tho, kaya yang Farhan bilang tadi." Akhirnya Farhan menambahkan setelah diam beberapa saat. Dia beranjak duduk di kursi sebelah Ibunya dan menuangkan minuman ke gelas yang baru saja diambilnya. Ibunya menatapnya dengan pandangan tak setuju di wajahnya. "Kenapa nggak ngumpulin? Kan PR nya sudah selesai, tho, Le." "Kan dari Bapak...." "Kan Ibu udah bilang! Bapakmu nggak punya siapa - siapa lagi! Kurang jelas bagaimana?!" Farhan terdiam karena terlalu kaget. Ini kali pertamanya melihat Ibunya seemosi dan semarah itu. Dan dia bahkan tak merasa melakukan kesalahan apa pun. Apakah bertanya tentang Ayahnya sendiri itu sesiatu yang salah? Sesuatu yang berdosa? Ibunya bisa bilang baik - baik, dari pada harus marah - marah seperti ini. Karena hal itu malah membuat Farhan jadi ikut - ikutan emosi. "Nggak nggak punya siapa - siapa emangnya Bapak keluar dari batu?! Farhan kan butuh nama, Bu! Itu juga kalau bukan buat PR Farhan nggak akan tanya sama Ibu! Kenapa malah jadi marah - marah, sih!" Farhan menggebrak gelas yang tadi di pegangnya ke atas meja dan langsung pergi meninggalkan Ibunya sendirian di dapur. Dia langsung melangkah ke depan bertepatan saat Eyang dan Kakungnya baru saja pulang dari sawah. "Le? Kenapa? Kok tadi Eyang denger suara teriak - teriak di dalam rumah? Le?! Le! Mau ke mana, kamu, Le?!" "Udah, Nyo. Ayo masuk dulu." Eyangnya menurut apa kata Kakungnya untuk masuk ke dalam rumah. "Sih? Marsih?!" Sementara itu, Kakeknya sudah siap mengejar Farhan yang sudah berjalan cukup jauh, tapi kemudian diurungkannya saat melihat cucunya itu naik ke atas boncengan motor yang dikendarai Panji. Sebentar saja, motor matic keluaran terbaru itu sudah melesat jauh, membuat Kakung dan kayuhan rentanya tak bisa lagi mengejar mesin motor yang melejit jauh di depannya. *** Farhan duduk di pojokan markas, tempat biasa kelompok barunya yang sudah dianggapnya seperti keluarga ini berkumpul. Tempat ini belum ramai, malah cinderung sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang memang tinggal di sini lalu lalang di tempat ini. Termasuk Rolis. Tapi tadi saat dia datang Rolis bilang mau keluar dulu karena ada urusan sebentar. Tak lama, disusul pula Rano. Pria yang kemungkinan seusia dengan Rolis, tapi dia lebih pendiam dan lebih tak menonjol. Hanya melakukan jika di suruh saja. Farhan tak terlalu mengenalnya. Dia hanya sempar beberapa kali saling sapa dengan pemuda tersebut. Dia sedikit heran. Apakah semua yang tinggal di sini tak ada yang bekerja? Lalu bagaimna mereka membiayai operasional mereka? Yang paling kecil saja. Membeli rokok dan minuman keras yang sering sekali mereka konsumsi saat berkumpul di malam hari? Itu uang siapa? Dia masih merasa kesal dan marah pada Ibunya. Apa - apaan?! Sebagai anak bukannya dia berhak tau asal usulnya dari mana?! Nasabnya gimana?! Dia pernah mengaji tentang nasab seseorang. Dan nasab dari seorang Ayah itu penting. Tak masalah di sembunyikan siapa orang tuanya jika dia adalah anak hasil zina yang tak diakui oleh orang tuanya. Tapi orang tuanya bilang mereka kalau mereka menikah secara sah di mata hukum dan agama! Terus salahnya bertanya di mana?! Kenapa juga Ibunya sesensitive itu jika topik tentang Ayahnya disinggung?! Farhan mendengus keras, masih merasa kesal. "Lapo tho kamu ini, Han? Kenapa? Dari tadi berangkat hawanya kok kayak kemrungsung. Kaya mau marah. Ada masalah?" Pandji bertanya. Dia juga duduk di sana bersama Farhan dengan beberapa senior yang lain. Beberapa dari mereka sedang merokok dan bermain remi. "Nggak papa, Mas. Xuma gerah aja." "Gerah dalem? Emosi maksudnya? Nih, diminum dulu siapa tau bisa bikin kamu adem." Seseorang menyodorkan gelas besar berisi cairan berwarna coklat serupa teh padanya. Farhan langsung mengernyitkan hidungnya saat minuman tersebut sampai ke arahnya. Bau! "Apa ini, Mas?" Dia bertanya dengan curiga karena beberapa orang di sana saling senggol dan tertawa - tawa mencurigakan. "Itu teh, Han. Es teh." Pemuda yang memberikan gelas padanya itu menjawab dengan wajah dibuat semeyakinkan mungkin, tapi di mata Farhan, masih terlihat seperti sedang menahan tawa. Dan itu membuat Farhan jadi ragu - ragu. "Nggak ah, Mas. Baunya aneh." Tolak Farhan mengembalikan gelas besar yang masih terisi sepertiganya itu. "Lho nggak papa. Itu cuma bau asep rokokku. Bukan bau tehnya. Cobain wae tho, Nggak papa, beneran." Bujuknya. Kali ini wajahnya lebih serius dari yang tadi. Beberapa orang yang tadi tertawa - tawa saat dia menerima gelasnya kini merubah wajahnya menjadi lebih serius. "Beneran ini?" "Coba dulu. Kalo nggak seger itu ada air dingin di coolbox sana." Karena penasaran dan tak enak menolak terus - menerus, akhirnya Farhan mengalah. Dia mencoba meminum isi dari gelas tersebut. Satu teguk saja, batinnya. Tapi semakin dekat cairan tersebut ke mulutnya, dia smakin merasakan bau. Apa ini benar bau asap rokok? Rasanya, bau asap rokok yang dia tau tak begini. Dia memasukkan cairan yang terasa pahit asam dan manis tersebut ke mulutnya, mencoba meneguknya, tapi langsung di muntahkannya kembali. "Nggak enak. Ini teh apa, Mas?" "Loh ini teh enak. Teh mahal, Han. Emang kalo teh mahal itu nggak sembarang orang bisa minum. Udah ini? Nggak mau minum lagi?" Farhan ragu - ragu. Masa teh mahal dia nggak bisa minum? Dia merasa tertantang. Sedangkan Farhan bukanlah orang yang bisa membuarkan tantangan lepas begitu saja. "Tak coba lagi, Mas." "Habisin kalo gitu. Bisa nggak? Ah, pasti nggak bisa kamu, Han." Wajah Farhan mengeras, berubah menjadi kaku. Dia langsung mengangkat gelas besar tersebut dan menenggaknya dalam beberapa tegukan besar. Tak dipedulikannya rasa yang aneh dan sensasi terbakar yang menghampiri tenggorokannya saat cairan tersebut lewat di sana menuju lambungnya. "Uhuk! Uhuk!" Farhan terbatuk keras beberapa kali sampai matanya berair setelah selesa. Dia langsung mendapatkan sambutan meriah dari orang - orang yang ada di sana. "Wah, Farhan ngeri! Sekali angkat gelas lho tadi itu!" "Kok aku pusing ya, Mas." Keluhnya saat tiba - tiba kepalanya terasa enteng luar biasa. "Tiduran, Han, tiduran." Farhan menurut. Dia tidur meringkuk di pojokan sementara teman - teman yang lain melanjutkan bermain di sekitarnya. Dia sama sekali tak tahu, bahwa malam itu, nasib menggariskan takdirnya akan berubah selamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN