Aji Aku menyeruput kopi hangat di tanganku, lalu lagi-lagi melirik laki-laki paruh baya yang saat ini duduk berhadapan denganku sembari sesekali mengusap wajahnya. Beliau tampak sedikit frustasi, bahkan aku bisa menangkap ada ekpresi penyesalan di wajah yang tampak sangat bewibawa, meski sudah banyak dihiasi kerut wajah karena termakan usia. “Terimakasih banyak, Nak Aji. Maafkan Lia, sudah banyak merepotkan,” ucap beliau beberapa detik kemudian. “Sama-sama, Om.” Ya, yang saat ini duduk berhadapan denganku adalah Ayah Lia. Tadi, ketika Lia tiba-tiba pingsan tak sadarkan diri, aku langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Ketika di perjalanan, ponsel milik Lia kembali berdering, dan ternyata itu panggilan dari Ayahnya. Singkatnya, aku mengangkat