Prolog
Aji
Namaku Aji, Prasaji Satya Winata. Aku adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Banyak orang mengatakan kalau aku memiliki tipikal wajah yang tegas dan membuat segan, padahal menurutku tidak. Aku ini biasa-biasa saja.
Memang benar, seringkali orang salah paham padaku hanya karena aku tidak pandai menuangkan ekspresi. Mereka bilang ekspresiku itu-itu saja dan selalu sama. Aku ingin menolak opini itu, tetapi sepertinya yang mendukungku akan sedikit, yakni hanya mereka yang dekat denganku.
PRAK!
Lamunanku seketika buyar ketika tiba-tiba ada remote jatuh tepat di depan kakiku. Remote itu kembali diambil, dan untuk kesekian kalinya dibuat rebutan.
“Dek Una sama Danu stop! Kalian kira umur kalian masih pantas rebutan remote?” nada suaraku seketika meninggi, melihat kedua adikku lagi dan lagi bertengkar hanya karena hal-hal kecil.
“Mas Danu nih mas, orang dia tadi sibuk sendiri sama hapenya tiba-tiba aja ngerusuh.” Dek Una melotot garang ke arah Danu yang baru saja berhasil mengganti channel tv.
“Kan ini Tv milik bersama. Lo dari tadi udah gue diemin. Gantian, dong!” Danu tampak masih tidak mau mengalah.
“Kan lo ada YouTube mas!”
“Ya lo juga punya hape buat liat YouTube!”
Aku memijit kepalaku sejenak karena pusing melihat kelakuan kedua adikku yang tiada hari tanpa bertengkar. Jarak mereka yang hanya beda kurang dari dua tahun, membuat keduanya sulit untuk sekedar mengalah salah satu.
“Kalian ini sehari aja bisa nggak sih, nggak bikin aku pusing? Udah gede, tapi kelakuan masih aja kaya bocah. Danu ngalah sama Una.”
“Dari tadi aku udah---“ Kalimat Danu langsung berhenti ketika aku melempar kunci mobil ke pangkuannya. Senyum Danu seketika terbit.
“Beneran ini mas?” tanya Danu dengan wajah berbinar.
“Pulang paling telat jam sembilan dan bensin harus full.”
“Siap, bos!” Danu langsung berdiri sambil tersenyum lebar. Detik berikutnya, dia berlari menuju kamarnya untuk mengambil jaket, juga dompet.
“Mas Danu mau kemana? Ikut, dong!” Dek Una yang sudah anteng karena remot TV kembali di tangannya, mendadak berdiri lalu setengah berteriak.
“OGAH! Lo diem aja di rumah nonton TV. Bye!” balas Danu setelah dia keluar dari kamarnya dengan membawa jaket di tangan kiri.
“Pokoknya ikut!” Seketika Dek Una dengan santainya meraih jaketku yang memang dari tadi tergeletak di sandaran sofa yang aku duduki.
“Ya ampun! Aku kasih kunci mobil itu biar Danu main keluar dan kamu nggak di gangguin terus, Dek.” Kepalaku rasanya semakin pusing ketika Dek Una mulai berusaha merebut kunci mobilku dari tangan Danu.
“Wah, emang nasib gue sial banget punya adek kaya elo. Idupnya gangguin gue terus.”
“Gue yang apes punya abang nggak pengertian kaya lo.”
Mendengar Danu dan Dek Una yang belum ada tanda-tanda akan berhenti, akhirnya aku putuskan untuk naik ke kamar. Biar saja mereka mau gimana lagi. Terserah.
“Loh Mas Aji mau kemana?” tanya Dek Una ketika melihatku beranjak dari sofa.
“Mau tidur. Pusing dari tadi denger kalian berantem terus,” jawabku sambil menaiki tangga.
“Tunggu, mas!”
“ Apa lagi?”
Dek Una dengan senyum terselubungnya menarik Danu mendekat ke arahku. Sepertinya Dek Una sengaja menahan tangan Danu biar nggak asal kabur.
“Mas, minta uang dong. Hehe.”
“Minta Danu. Dia uangnya lebih banyak. Calon bos besar kok, ya.”
“ Mas Danu pelit.”
“ Heh, kanebo kering! Udah baik hati gue mau lo tarik-tarik begini. Sekarang malah ngefitnah gue. Lepasin tangan lo! Gue mau—“
“Bentar, dong! Gue kalau nggak bawa uang, ntar lo makan sendiri gak mau bayarin gue, terus gue kaya kambing cengo liat lo makan!”
“Aku nggak punya uang cash, dek,” jawabku jujur. Memang, hari ini aku belum sempat ambil uang di atm.
“Yah mas, atm deh. Janji, aku ambil seratus ribu aja. Ya? ATM-ku di kamar. Kalau aku ke kamar, ntar aku di tinggal Mas Danu pergi.” Aku mulai malas kalau Dek Una mulai merengek seperti ini.
Aku mengangguk lalu mengambil dompetku. Namun baru saja aku mau ngasih atm, tiba-tiba Danu menarik Dek Una.
“Loh?”
“Pakai uangku aja, Mas,” ucap Danu sambil meringis.
“Beneran? Yang ada ntar kamu telantarin Una?”
“Enggak, suer. Yuk Dek, pergi sekarang!”
Mau tidak mau aku tersenyum ketika melihat Danu mengapit leher Dek Una sambil menariknya keluar. Meski Dek Una sempat meronta, tapi aku tahu, begitu mereka keluar pintu, mereka bersorak, bahkan sempat tos tangan. Benar-benar mereka mereka ini!
Aku sangat paham kedua adikku itu. Di luar mereka memang sering bertengkar, tapi sebenarnya mereka sangat sayang satu sama lain. Bahkan kurasa mereka lebih dekat satu sama lain ketimbang dengan diriku.
Setelah Danu dan Dek Una pergi, aku bergegas ke kamar. Sebelum merebah di ranjang, aku merapikan meja yang berantakan karena sejak kemarin lusa belum sempat kubersihkan.
Tiba-tiba saja, tepat ketika aku meraih sapu tangan yang tergeletak di meja, ada selembar kartu nama jatuh ke lantai. Aku memungut kartu itu dan membaca nama yang tertera di sana.
Tanpa sadar aku tersenyum. Entah kenapa, aku merasa nama ini sangat cantik. Apa aku harus menghubunginya untuk minta ganti rugi, atau tidak perlu?
***