Aji “Gimana, Buk? Lia sudah bisa tidur?” tanya Om Bima malam itu, ketika akhirnya mereka pulang setelah sebelumnya kutelfon. Aku memang sudah memiliki nomor telfon Om Bima sejak Lia dirawat di rumah sakit. Aku meminta nomor telfon beliau karena ingin membahas ukiran teratai lebih lanjut, meski pada ujungnya aku menyelesaikan semuanya justru dengan Lia. “Baru aja, Yah. Tapi jadi persis sama kaya dulu, tidurnya Lia kaya orang ketakutan. Nangis, berhenti, terus nangis lagi.” Mendengar penuturan istrinya, Om Bima tampak meraup wajahnya kasar. Ibu Lia, maksudku Tante Kiki, akhrinya ikut duduk di sebelah suaminya, mencoba untuk menenangkan. “Ini semua salah Ayah, Buk...” “Udah, Yah. Jangan nyalahin diri begitu.” Keningku langsung berkerut samar men