17 tahun kemudian
***
Ketukan sepatu hak tinggi berwarna merah menyertai langkah seorang gadis berpakaian dress polyester berwarna merah gelap.
Rambut cokelat bergelombang ditumpuk di bagian kanan dan tergerai ke bahu sebelah kanan. Lipstik plum menambah tampilannya tampak begitu dewasa. Tak sebanding dengan umurnya saat ini yang masih terkesan remaja.
"Okay, Cana, you know what you will do, right?"
Suara itu keluar dari earpiece berukuran sangat kecil. Begitu kecil. Hampir menyerupai debu. Tersemat di telinga kanannya. Sebuah alat pemberian kakak sepupunya. Menjadi satu-satunya alat komunikasi yang tak akan pernah terdeteksi ataupun diketahui oleh siapapun.
"Don't worry, my darling. Setelah misi ini selesai, kau janji kita akan menghabiskan malam bersama di hotel, kan?"
Wanita muda itu menutup kalimatnya dengan seringai. Seolah-olah ini hanyalah sebuah permainan biasa yang jika dia berhasil menyelesaikannya, dia akan mendapatkan jackpot. Namun, sikap berani tanpa takut sedikit pun itu malah disambut desahan panjang dari lawan bicaranya.
"Cana-"
"Iya, Sayang. Iya. Akan kuselesaikan dengan rapi, tenang saja. Astaga ...."
Sang gadis menggelengkan kepala sambil memutar bola mata malas. Hanya deru napas gusar yang terus menggema di rungunya.
"Setelah ini kau akan dihukum," kata suara dari earpiece membuat sang gadis menggigit bibir bawahnya.
"You wanna hit my ass harder?"
"Damn it, CANA!"
Sang gadis terkikik. Suara bariton yang keluar dari dalam earpiece sanggup memicu adrenalinnya memuncak. Serak, dalam dan seksi.
"Sudahlah, Matheo. Sekali lagi kau berucap, aku bersumpah akan berlari dari tempat ini menuju mobil dan kau tidak bisa menahan diriku untuk menelanjangimu," ujar gadis itu sangat santai.
"Kau sadar dirimu terlihat seperti apa sekarang?"
Pertanyaan sang lelaki malah membuat gadis belia yang didewasakan oleh pengalaman hidupi itu lalu menyeringai. "Kenapa?" tanya gadis itu santai. "Bukankah aku sedang berjalan ke sana untuk memperjelas diriku?"
"Cana, just focus on your mission."
"Yes, my sexy dear," sergah Canadia.
"Bisakah kau tidak bertindak sok pintar sekarang? Demi Tuhan, Canadia!"
Lagi-lagi wanita itu mendecih. "Hell! Mau sampai kapan kau meremehkan aku, hah?!"
"Cana!"
"Ck! Baby!" sergah Canadia dan sekali lagi dia menang. Wanita muda itu berhasil mendiamkan pengawalnya. Dia pun mendengkus dan berucap, "sekarang diamlah di sana dan tunggu aku membawa b******n itu padamu."
Terdengar lagi desahan napas kasar dari si pria yang sejak tadi berucap.
"Be careful, Cana. Please," ucapnya lagi.
Demi Tuhan. Pria itu sangat gugup. Ini kali pertamanya melepas sang gadis melakukan misi sendirian. Situasi tak memungkinkan baginya untuk ikut ke dalam. Terpaksa pria itu harus menunggu di balik kemudi mobil. Menahan detak jantung yang mulai bertalu dengan kencang ditambah peluhnya yang kini mulai keluar membasahi dahi. Ia hanya berharap gadisnya tidak melakukan kesalahan.
"Okay, Darling. I'll taka care myself. Lagi pula aku harus tetap terlihat cantik untuk malam nanti, bukan?"
Sekali lagi terdengar desahan napas panjang dan kasar dari seberang sambungan telepon yang semakin membuat si wanita beradrenalin.
"Canadia Van der Lyn, dengan seluruh nyawa yang aku miliki, aku mohon jagalah dirimu dan jangan bersikap aneh. Kau akan masuk ke sana dan mengikuti kata-kataku. Kamu bisa mendengarkan aku?"
Wanita bermata amber itu kembali menunggingkan seringaian. Langkahnya terhenti di depan sepasang pintu kayu raksasa berwarna cokelat yang menjulang tinggi. Ia memberikan senyum menggoda kepada dua orang pria bertubuh kekar yang menjaga pintu tersebut.
"Sayang!"
Hati Canadia pun gemetar dan tanpa sadar dia ingin memekik. "Said it again, it's sounds nice." Sekali lagi Matheo mendesah.
"Be careful. Aku menunggumu."
Tut... tut.
Wanita muda itu mendesah kasar, tetapi kemudian bibirnya membentuk senyuman. "Alright, baby. Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat. Sial! Kau membuatku bergidik!" Canadia terkikik geli. Sungguh pun, dia menyukai cara lelaki yang sudah menemaninya selama tujuh belas tahun itu memperlakukan dirinya.
Inilah yang disukai Canadia di saat ia melakukan misi. Sungguh. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada mendengarkan suara berat Mathea Diaz dengan napas memberat dan tergesa-gesa memperingatkan Canadia untuk berhati-hati. Karena Ketika Matheo melakukannya, dia akan terlihat seperti pacar posesif yang takut kekasihnya diambil orang.
"Oh, Matheo ... bisa-bisanya kamu membuat hatiku berbunga-bunga bahkan saat aku tahu bahwa aku akan mati sebentar lagi," gumam Canadia dengan senyum merekah di wajahnya.
Wanita muda itu terus saja terkikik. Dia bahkan tak peduli dengan penampilannya yang terpantau di CCTV. Tidak. Tak ada yang bisa mencegah Canadia menikmati suasana seperti ini.
"Perlihatkan identitasmu, Nona," ucap salah satu dari dua orang tersebut.
Sambil tidak melepaskan tatapan kepada dua orang pria yang sedang memandanginya, Canadia mulai menggerakkan tangan. Menarik dompet kecil yang sejak tadi berada dalam genggaman tangan kanannya. Gadis itu sedikit menundukkan kepala ketika tangan kirinya mulai membuka dompet tersebut.
Gadis bermata amber itu mengeluarkan sebuah kartu. Didominasi warna hitam dengan pinggiran berwarna kuning emas menandakan jabatan setiap pemegang kartu. Diperkuat dengan lambang naga di bagian atas chip kuning.
Dua orang pria di hadapan sang gadis saling melempar tatapan. Sedikit bingung. Bagaimana salah satu tamu VVIP adalah seorang wanita muda. Namun, untuk memperjelas dugaan, mereka perlu meneruskan pemeriksaan.
Salah satu dari dua orang pria itu mengeluarkan sebuah alat mirip smartphone, tetapi memiliki fungsi berbeda. Sekilas memberi tatapan menyelidik kepada sang gadis yang tersenyum tampak remeh sambil menyerahkan kartu di tangannya.
Dengan santai gadis itu menyibakkan rambut sambil mengalihkan pandangan. Oke, ia kelihatan sangat meremehkan situasi.
Sikap tenang dan amat remeh yang ditunjukkan oleh si gadis membuat pria di depannya makin gusar. Terlihat dari tatapan yang makin sinis disertai embusan napas berat dari hidungnya.
"What do you waiting for?!" tanya Canadia dengan sangat berani dan enteng, sembari mengedikkan kepala menunjuk alat canggih di tangan sang pria.
Sambil menatap si gadis, pria itu langsung mengarahkan alat canggih di tangannya ke bagian chip berwarna gold terletak dalam kartu terbut. Bunyi 'bip' kecil menggema sebanyak tiga kali disusul sebuah tanda berwarna hijau yang menandakan jika kartu tersebut benar-benar original.
Si gadis yang tadinya tampak begitu mencurigakan kini dengan santainya bersiul. Sejujurnya dua pria di depannya mulai merasa diintimidasi dan didiskriminasi oleh sikap remehnya.
Suasana mendadak menjadi begitu hening. Sedikit terkesan mencekam ketika dua orang pria di depan sang gadis tak henti melihatnya dengan pandangan sinis.
"So, do you guys wanna look at me like f*****g jerk until morning, or ...." Si gadis menjeda ucapannya. Ia mencondongkan wajahnya ke depan. "Kalian akan membiarkanku masuk dan menikmati pesta?" Lanjutnya. Sudut bibirnya naik menampilkan seringaian terlihat bagai seorang wanita pemegang kartel mengerikan. Oh ya Tuhan, lihat senyumannya itu. Sedikit dramatis ketika berbalut lipstick gelap.
"Damn it, Cana!" Suara itu kembali menggema dalam rungu Canadia. Tampaknya Matheo tidak sepenuhnya meninggalkan Canadia. Lelaki yang sedang memantau Canadia dari jarak jauh itu kembali memaki dan Canadia mendengar suaranya dengan jelas.
Demi alam semesta tempatnya berpijak, gadis miliknya itu sudah terlalu memperlihatkan drama. Tak tahukah ia jika sekarang jantung sang pria makin menggila?
Dua orang pria di depan sang gadis kompak mengembuskan napas panjang. Bahkan bersamaan menelengkan wajah. Oke, mereka harus mengalah. Sebenarnya mereka sudah kalah sejak tadi.
Tak ada pilihan lain. Sepertinya peraturan memang telah berubah. Kedua tangan pria itu langsung memegang gagang pintu dari besi dengan gambar naga pada bagian atas di kedua sisi. Satu dorongan kuat dari sepasang tangan kekar tersebut akhirnya membuka pintu raksasa di belakang mereka..
Senyum iblis di wajah sang gadis ketika menatap pemandangan di depannya.
"Damn it, Cana. Turn back now!"
Suara itu kembali terdengar di rungu sang gadis. Tentu pria yang sejak tadi mengawasi, kini ikut menyaksikan pemandangan di depan si gadis. Lewat kamera kasat mata yang disematkan pada jepit rambut gadis itu.
Pemandangan yang sangat mengerikan bagi si pria. Bagaimana tidak, di depan sang gadis kini, duduk sekelompok orang-orang berbadan kekar dengan seluruh badan dipenuhi tato. Mereka hanya memakai pakaian dalam yang menutupi kejantanan mereka. Mungkin pikir para pria itu tato mereka telah cukup menutupi ketelanjangan mereka.
"Cana, do you hear me? TURN BACK NOW!" Suara di seberang terdengar begitu serak. Bahkan nadanya menekan. Berharap si gadis akan menurutinya.
Alih-alih, ia malah menyeringai. Jantungnya yang bertalu dengan kencang malah memicu adrenalin membuatnya makin berani.
"Okay, Cana, let's rock you job," gumam gadis itu.
"Ap- hei!" pekik si pria. "Kemari atau kujemput kau."
Si gadis mendesis. Ia menelengkan wajah ke samping sambil meremas tangannya dengan kuat.
"Don't worry darling. Aku lebih kuat daripada yang kau pikirkan."
"CANA-" Ucapan pria itu kini terhenti sebab sang gadis mematikan sambungan.
'Maaf, Matheo, tapi aku sudah terlanjur masuk ke dalam kandang singa dan sulit untuk kembali tanpa membawa sesuatu.' Batin gadis itu.
Tak ada sedikit pun keraguan dalam hati Canadia. Bahkan saat dia tahu bahwa ini adalah misi antara hidup dan mati dan dia sedang tidak bersama pengawalnya. Dia tidak sedang bersama guardian angelnya. Dia benar-benar sendirian.
Namun, demi sebuah misi yang telah menjadi tekad hidupnya, Canadia bersumpah bahwa dia tak akan pernah ragu untuk mengambil setiap langkah bahkan jika itu adalah langkah terakhir yang akan membawanya pada kematian.
Sampai kutemukan ayahku, aku tak akan berhenti. Akan kucabik habis daging kalian dan kulemparkan ke kandang singa, agar kalian tahu seberapa menyeramkannya Van Der Lyn itu. Tunggu dan lihat hasilnya!