6. The Protective of the holy switch

2412 Kata
“Noway!” “Matheo?!” “Canadia, jika ada yang harus aku lakukan di dunia ini maka itu adalah melindungi nyawamu dan aku telah mengambil sumpah atas nama nyawaku, lalu kamu dengan gampang mengatakan bahwa kamu akan pergi ke markas Alton? Persetan!” “Matheo, ini bukan tentang nyawamu atau nyawaku, tetapi ini tentang keberadaan ayahku.” “Dan kau tahu kalau aku akan berjalan seribu langkah di depanmu untuk menemukan ayahmu!” “Tidak, Matheo. Kali ini kamu tidak bisa berjalan bahkan satu inci pun di depanku. Kita telah berkelana selama bertahun-tahun, tetapi sampai saat ini kita tidak pernah menemukan titik terang. Satu-satunya petunjuk yang akan membawaku pada ayahku hanyalah bertemu dengan Alton dan untuk itu aku harus—“ “Tidak, Canadia! Alton adalah lelaki paling mengerikan di dunia ini. Dan pergi ke kastil judinya itu sama saja dengan bunuh diri. Canadia aku tidak akan pernah mengizinkan—‘ “Matheo—“ Panggilan dengan nada tegas itu seketika membungkam mulut Matheo Diaz. Suasana pun berubah hening ketika keduanya memilih untuk saling memandang. Tampak sepasang bola mata berwarna hazel di depan Matheo itu gemetar, caranya menelan saliva sambil menggelengkan kepala menandakan sesuatu yang langsung membuat Matheo terdiam kaku. “Aku tidak butuh izinmu.” Ada getaran yang menyertai ucapan barusan. Seolah-olah gadis itu berusaha mengingatkan Matheo di mana posisinya. Di sisi lain, bagai meyakinkan Matheo bahwa hal yang perlu dia lakukan saat ini hanyalah mendukung rencana Canadia. Namun, Canadia Van Der Lyn tak pernah tahu bagaimana bukan hanya jiwa Matheo yang terguncang oleh ucapannya barusan, akan tetapi seluruh dunia milik Matheo Diaz seolah akan runtuh. “Cana ....” Ketika sang pengasuh menyebutkan nama itu, Canadia langsung memalingkan wajah. Dia menundukkan kepala lantas memutar tubuhnya. Seolah-olah panggilan barusan adalah sebuah mantra yang mampu mematahkan semangat membara dalam dirinya dan Canadia tak mau semua itu sampai terjadi. “Cana, kau tahu kalau kita masih memiliki cara lain. Aku bisa menyamar menjadi—“ “Tidak, Matheo—“ Dengan cepat Canadia menyergah pernyataan yang masih bersifat opini tersebut. Gadis itu pun memutar tubuh, sekali lagi memandang si lelaki yang telah menemani seantero kehidupannya dan menjadi tiang paling kuat yang melindunginya dari apa pun. Sepasang bola mata berwarna hazel itu tampak diselimuti selapis cairan bening. Netranya gemetar, memandang lelaki yang juga adalah belahan jiwanya itu. Canadia menelan saliva, seolah batinnya tengah mengumpulkan keberanian serta suaranya yang seakan hilang. Tujuh belas tahun bersama Matheo Diaz dan inilah kali pertama Canadia melihat tatapan lelaki itu. Tampak begitu sendu. Seolah memelas, tetapi ada rasa kecewa yang teramat besar di sana dan sepertinya Canadia tahu pada siapa Matheo kecewa. “Untuk kali ini kita berdua sama-sama tahu bahwa tak ada yang bisa kamu lakukan.” Mendengar ucapan Canadia lantas membuat Matheo terdiam. Secara perlahan bola matanya bergulir ke bawah kemudian ia pun menundukkan kepalanya, tetapi dengan cepat Matheo memutar tubuhnya. “AAARGH!” Teriakan dari si pemilik suara bariton berat itu membuat Canadia terdiam. Dua bulir cairan bening lalu tumpah membasahi pipinya. Canadia mengulum bibir sambil mengepalkan kedua tangannya erat-erat. “f**k!” Matheo kembali menggeram. Dengan cepat membalikkan tubuh sambil mengayunkan tangan. BUK Canadia sendiri tersentak lalu mendongak. Bola matanya pun melebar melihat apa yang baru saja dilakukan oleh pengasuhnya. “Matheo!” Wanita muda itu mendekat dengan cepat. Tangannya pun meraih tangan kiri Matheo. Canadia semakin melotot ketika melihat punggung tangan Matheo yang kini berwarna merah dan terluka. “Matheo, what the hell are you doing?!” Pertanyaan itu disertai dengan nada tinggi dan dengan tatapan penuh peringatan. Matheo diam sejenak dengan kedua sisi rahangnya yang mengencang dengan sempurna. Dadanya mengembang ketika ia menghela napas. Pria itu menahan nafasnya di d**a ketika ia memalingkan wajah dengan kedua mata yang tertutup. “Matheo ....” Kali ini Canadia memanggil dengan nada penuh permohonan. Bagai menyesali sesuatu, tetapi di sisi lain dia tak akan pernah menyerah. “Ayo main sekali lagi, aku yakin aku bisa mengalahkanmu!” ucap Matheo dengan nada penuh penekanan. Pandangannya pun berubah tajam dan menikam, bagai ingin melahap Canadia saat ini juga. Namun, Canadia tahu persis bahwa sebenarnya tatapan membunuh itu ditujukan untuk dirinya sendiri. Matheo. Dia membenci dirinya yang terlihat tak berdaya di depan Canadia. “Hentikan!” lirih Canadia. Wajahnya kembali tertunduk, ia pun mendekat lantas merebahkan tubuhnya pada satu sisi lengan Matheo. Canadia tak dapat lagi menahan air mata dan kesedihan yang telah menumpuk di dalam hatinya. “Berhenti melakukan semua ini, Matheo. Kamu tidak seharusnya seperti ini.” Ucapan dengan nada lirih itu membuat Matheo memejamkan mata. Dagunya pun terdongak, ia mendesah lirih. “Betapa terkutuknya aku tak bisa bermain poker,” gumam Matheo. Canadia menggelengkan kepalanya. Tanpa aba-aba ia memutar tubuh Matheo lalu menangkup kedua sisi wajah Matheo. Canadia memandang lelaki itu lekat-lekat sambil berusaha memperlihatkan senyum di wajah sendunya. “Jangan katakan itu,” bisik Canadia dengan suara yang makin terdengar lirih. Sekilas Canadia melihat bibir Matheo gemetar sebelum lelaki itu mengulumnya. Matheo pun memejamkan mata dan menjerit di dalam hatinya. Jeritan itu seolah mampu didengar oleh batin Canadia hingga membuat gadis itu dengan refleks memeluk tubuh Matheo. Tak tahan lagi, Matheo pun akhirnya memeluk tubuh mungil Canadia. Keduanya sama-sama memejamkan mata dan menjerit di dalam hati. Seolah keduanya tahu bahwa mungkin ini adalah pelukan terakhir yang bisa mereka lakukan. “Kumohon, Cana, izinkan aku yang melakukannya. Aku berjanji aku akan melakukan yang terbaik dan kembali padamu dengan membawa ayahmu, aku mohon.” Air mata penuh kekecewaan itu tumpah begitu saja. Matheo pun tak bisa menahannya lebih lama lagi. Lelaki itu mendekap tubuh Canadia sekuat tenaga dan memohon dalam hati agar dia bisa mendekap gadis ini lebih lama lagi bahkan jika bisa dia ingin menghentikan waktu agar dia bisa memeluk tubuh Canadia seumur hidupnya. “Kumohon ... jangan pergi, Cana!” “Maafkan aku, Matheo, aku tetap tidak bisa. Bahkan walau aku harus mati hari ini, aku tetap akan pergi menemui Alton.” Matheo memejamkan mata lalu mendesah pasrah. Lelaki itu seolah telah menyerah pada genetik Van Der Lyn yang tidak pernah kenal dengan kata menyerah. Mereka terlalu keras kepala untuk dikalahkan. Egois dan tak mampu memikirkan apa pun jika mereka telah menginginkan sesuatu. Matheo telah menghabiskan hampir seluruh hidupnya dengan mengabdi pada keluarga Van Der Lyn. Dia ditugaskan untuk menjadi pengawal dari Angelina Van Der Lyn, istri dari Lucas Van Der Lyn. Tujuh belas tahun yang lalu saat Canadia lahir ke dunia, kehidupan Matheo pun berubah hingga sebuah sumpah terucap baginya untuk melindungi gadis ini. Maka apa pun yang terjadi, Matheo tetap akan memegang janji itu bahkan walau dia tahu Canadia sangat keras kepala untuk mendengarkan nasehatnya. “Oke!” Matheo berucap dengan pasrah. Sambil memejamkan mata, dia berusaha mendorong pundak Canadia dan memisahkan diri. Entah mengapa dia bergidik hingga dadanya serasa mengembang. Alam bawah sadar Matheo seolah menangkap firasat buruk. Namun, Matheo tahu bahwa dia harus bisa menembus prinsip teguh Canadia. Maka lelaki itu menatap Canadia lekat-lekat. “Kamu boleh ke sana,” kata Matheo dan Canadia mendesah lega. “Baiklah, kalau begitu ayo kita bersiap—“ “Asalkan kamu mau mengikuti rencanaku.” Baru saja Canadia mendesah lega, wajahnya sudah kembali terlihat tegang. Kedua sisi alisnya yang sempurna itu melengkung ke tengah, lantas memandang Matheo dengan tatapan sinis. “Maksudmu?” Matheo tampak memejamkan mata dan menghela napas dalam-dalam, bagai berusaha menjernihkan pikirannya. Kemudian lelaki itu mengembuskan napasnya secara perlahan sambil kembali membuka matanya. “Ya, Cana, kamu akan ke sana asalkan kamu mau mengikuti rencanaku.” Canadia terdiam sesaat dengan dahi yang mengernyit, tampak sedang berpikir keras. Sesuatu berbisik dalam hatinya bahwa mau tidak mau dia harus menyetujui ucapan Matheo, maka kemudian Canadia pun menganggukkan kepalanya. “Baiklah,” gumam gadis itu. Matheo ikut menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu katakan padaku rencanamu,” ucap Canadia. Lagi-lagi Matheo terdiam sejenak dan mencoba untuk memutar roda kendali dalam otaknya. Sesuatu disadari oleh Canadia dan membuatnya mengerutkan dahi. “Sejujurnya kamu juga tidak punya rencana, bukan?” Matheo langsung melotot. “No!” jawabnya dengan nada tegas. Seketika Canadia berpaling dan mendesah lirih. “A—aku punya rencana!” jawab Matheo dengan lantang. Bola mata hazel itu bergulir ke sudut, memandang Matheo dengan pandangan sinis. “Kalau begitu katakan padaku sekarang karena kita sama-sama tahu kalau kita tidak punya banyak waktu. Alton akan segera terbang ke Berlin dan kita akan kehilangan jejaknya. Satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan Alton hanyalah malam ini dan kamu tahu kalau hanya aku yang punya tiket untuk ke sana,” ujar Canadia. Matheo langsung bergeming. “Y—ya!” ucap Matheo. Sekali lagi berusaha menegaskan nadanya, tetapi dia tahu persis kalau Canadia bisa mengetahui isi pikirannya. Gadis itu lalu berbalik. Sekali lagi mendesah panjang lalu berjalan meninggalkan Matheo. “Ca—Cana!” seru Matheo. “Ck!” Lelaki itu mendengkus. Ia pun berjalan menghampiri Canadia yang kini tengah berada di dapur. “Here’s the plan!” ucap Matheo, mencoba untuk berbasa-basi. Sekali lagi Canadia bisa dengan jelas merasakan kegugupan dari Matheo, apalagi detak jantungnya yang berdetak meningkat dan terdengar hingga ke telinga Canadia. Namun, gadis itu mencoba untuk menghargai lelaki yang sudah menghabiskan seluruh hidupnya untuk menemani Canadia. Gadis itu meriah sebotol air mineral dari dalam kulkas lalu berbalik. Ia menyandarkan bokongnya ke wastafel, melipat tangan di depan d**a sambil memandang lelaki di depannya. “Tell me,” ucap Canadia. “katakan dengan jelas dan detail setiap konsep skenariomu dan aku akan mengikutinya,” ujar Canadia. Matheo masih terdiam dengan mulut megap-megap. Canadia menggulirkan bola mata sambil mendesah kasar. “Of course you don’t have a plan!” gumam Canadia. Gadis itu lalu berbalik dan kembali beranjak dari depan Matheo. “OKAY!” Teriakan Matheo menghentikan langkah Canadia. Ia pun memutar wajah, melemparkan tatapan sinis pada Matheo. “Aku akan mengatakannya!” seru Matheo. Wajahnya tampak tegang serta dadanya yang naik turun. Oke, itu adalah gerakan yang cukup membuyarkan konsentrasi Canadia. Gadis itu mengerjapkan mata dan menggoyangkan kepala. Ia pun memindahkan tatapannya pada sepasang bola mata berwarna biru milik Matheo Diaz. “f**k! I don’t have a plan!” kata Matheo, mengakui yang sesungguhnya. Canadia mendesah dan sekali lagi mendelikkan mata. Wanita itu mengedikkan kedua sisi bahunya dan melayangkan kedua tangannya ke udara. Canadia pun berjalan dengan langkah gontai meninggalkan dapur. “Tapi aku akan memikirkannya!” seru Matheo. Tak ingin tinggal diam, ia pun berjalan membuntuti Canadia. “Oke, selagi kamu memikirkannya, aku akan siap-siap, mengingat ini sudah jam empat sore dan aku harus ke sana sebentar lagi.” ‘Ke sana?’ batin Matheo. Seketika instingnya menangkap ke mana tujuan Canadia. “f**k, no!” teriak Matheo. Tangannya terbuka di depan d**a dan dengan mata melotot dia berjalan menghampiri Canadia. Lelaki itu berdiri di sisi tubuh Canadia, sementara Canadia memandangnya dengan tatapan sinis. “Kamu tidak boleh ke sana sebelum aku memikirkan rencana!” ucap Matheo. Entah dia sadar atau tidak, baru saja nadanya melengking. Beruntung emosi Canadia tidak ikut melonjak. Wanita itu bahkan memilih untuk memejamkan mata dan mendesah lirih sambil membiarkan kedua sisi bahunya merosot. “Well, baby. Aku tahu kamu sedang mencari perhatianku, tapi waktunya sedang tidak tepat, oke?” Matheo makin melotot. “What?!” pekiknya sambil menarik bahunya ke atas. Canadia pun tersenyum sinis. “Aku benar, ‘kan?” gumam Canadia. Dengan santai ia berjalan ke arah lemari lalu menarik t-shirnya ke atas. Seketika Matheo melotot. “s**t!” desis Matheo lantas ia memutar tubuhnya. “What the hell?!” teriak Matheo dengan nada panik, membuat Canadia kembali menyeringai. “Well, Matheo, kau tahu bahwa kamu harus sering-sering memperlakukan aku dengan baik,” ucap Canadia. Matheo nyaris memutar tubuhnya, tapi saat dia sadar bahwa Canadia sedang mencoba untuk menggodanya, lelaki itu kembali membalikkan tubuh. “Dammit!” desis Matheo sekali lagi. Dia membuat Canadia terkekeh berulang kali. “Yes, baby. Mengingat selama ini kamu hanya terus berjanji dan mengabaikan aku, bagaimana kalau ....” Bulu kuduk Matheo berdiri, seolah alam bawah sadarnya menangkap sesuatu yang berbahaya lalu semenit kemudian semuanya pun terbukti. “Hek!” Matheo terbelalak ketika merasakan sesuatu yang baru saja menyerangnya dari belakang. “Cana!” panggil Matheo dengan suara yang tersekat di tenggorokan. Bola matanya bergulir ke sudut, menangkap seringai di wajah Canadia. Gadis itu menempel seperti ulat bulu di punggung Matheo dan Matheo cukup tahu bahwa sekarang Canadia tidak memakai penutup apa pun di tubuhnya. Seketika lelaki itu menarik napas sambil memejamkan matanya. “Canadia Van Der Lyn, menyingkir dari punggungku!” ucap Matheo dengan nada tenang, tetapi memerintah. Namun, hal itu malah membuat Canadia semakin terhibur hingga bukannya menyingkir, dia malah semakin menekan d**a Matheo di saat bersamaan menempelkan dadanya ke punggung lelaki itu. “Hek!” Matheo kembali menggeram rendah. “CANADIA!” teriak Matheo dan ia pun memutar wajahnya. Namun, bukannya mendengar ancaman itu, Canadia malah dengan sengaja berjinjit dan mendekatkan bibirnya tepat di depan daun telinga Matheo. “Yes ... baby!” jawab Canadia dengan nada rendah, terdengar menggoda. Astaga! Gadis itu benar-benar menguji iman Matheo. “Pergi dari sana sekarang juga!” ucap Matheo dengan nada lebih menekan dari sebelumnya. “Bagaimana kalau aku tidak mau?” tantang Canadia. Matheo sekali lagi hanya bisa mendesah berat sambil memejamkan matanya. “Kau akan dihukum!” gumam Matheo. Lagi-lagi gadis yang menempel di punggungnya itu hanya tersenyum. Seolah menikmati semua ini. Bahkan dengan sengaja Canadia menjalarkan tangan kanannya ke bawah, menyentuh permukaan tubuh Matheo. “Kalau begitu hukum aku sekarang juga!” Matheo kembali dibuat terbelalak. Tak tahan lagi ia pun memutar tubuhnya. “CANA!” teriakan itu membuat Canadia melotot. Sekejap ia tertegun dengan wajah yang tampak ketakutan. Dalam hati Matheo menyesali perbuatannya barusan. Pasti Canadia langsung syok. “Cana, aku tidak bermaksud membentakmu,” ucap Matheo. Tanpa sadar, dia langsung memeluk tubuh Canadia, tak peduli dengan keadaan tubuh gadis itu saat ini. “Maafkan aku, Cana,” gumam Matheo dengan nada penuh penyesalan. Namun, pria itu tak melihat bagaimana sudut bibir Canadia kini sedang terangkat naik, membentuk senyum penuh kemenangan. “It’s okay, Babe, selagi kamu mendekapku dengan erat, dan menyentuh tubuh polosku—“ Ucapan Canadia refleks membuat Matheo mendorong tubuhnya hingga terhuyung dan mendarat kasar di atas permukaan ranjang. Matheo pun segera memutar tubuhnya dan bertingkah bagai lelaki yang baru saja dilecehkan. Sementara Matheo sudah tergagu-gagu di tempatnya. Hilang sudah semua rencana yang sempat tersusun di otaknya. Tanpa ingin berbicara lagi, Matheo langsung berjalan keluar dari kamar Canadia, sementara wanita itu tertawa sinis melihat tingkah polos dari pengasuhnya. “Cih!” Canadia pun melayangkan pandangan sinis. “dasar sok suci!” gumam Canadia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN