Camila melihat Anne sudah lebih dulu pergi dari kantor tak lama setelah ia memergoki gadis itu yang duduk di pangkuan Bara. Ia sebenarnya berusaha untuk tidak memikirkannya. Namun entah kenapa ia jadi kepikiran lagi dan hatinya terasa nyeri. Walau memang Bara bilang jika pria itu menyukainya dan malam kemarin adalah malam yang tidak akan pernah bisa Camila lupakan. Apalagi itu adalah hal yang pertama untuknya. Entah kenapa ia begitu mudah menyerahkan kehormatannya pada Bara yang notabenenya hanya pria asing dan belum lama ia kenal.
Apa Camila sefrustasi itu karena pernah gagal menikah? Atau memang ia ingin melakukannya?
Saat jam pulang kantor, Bara yang sejak tadi hanya di dalam ruangannya pun akhirnya keluar. Pria itu menghampiri meja Camila dan berdiri di depannya. Menatap gadis di depannya yang tampak berusaha menghindari tatapannya.
"Aku tunggu di bawah. Kita pulang bersama," ucap Bara pelan dan kemudian berjalan menuju lift terlebih dahulu.
Camila menghela nafas lalu membereskan mejanya. Ia mendapati Emi yang tengah menatapnya dan ia pun hanya mengedikkan bahunya. Ia malas sebenarnya untuk bertemu dengan Bara apalagi jika sampai harus pulang bersama. Setelah ia melihat apa yang Anne lakukan pada Bara di dalam ruangan pria itu, pikiran Camila jadi negatif ke Bara. Bisa saja pria itu melakukan hal yang sama padanya semalam ke Anne kan? Apalagi mereka sering ke Bar bersama. Jelas hal itu sangat memungkinkan.
Camila melihat mobil Bara sudah terparkir di halaman depan kantor. Tampak sangat mencolok karena banyak karyawan yang sudah mulai keluar untuk pulang. Apa Bara sengaja menjadikannya tontonan? Padahal Bara sendiri tahu, tatapan karyawan disini tidak semuanya ramah padanya. Kecuali yang bekerja di lantai yang sama dengan Camila saja.
Alhasil ketika Camila berjalan menuju mobil Bara dan masuk ke dalamnya, hampir semua orang melihat ke arahnya. Bukannya Bara seharusnya menjaga jarak darinya? Apalagi katanya dia sedang dekat dengan Anne. Kalo ada yang ngadu ke Anne bagaimana? Habis sudah nasibnya nanti.
Tak lama setelah Camila masuk ke mobilnya, Bara melajukan mobilnya keluar dari halaman parkir. Menembus kota Jakarta yang macet seperti biasa.
"Aku tidak pernah melakukan hal yang aneh dengan Anne," ucap Bara sembari menyetir mobilnya.
Ya, lagi-lagi Bara tahu apa yang mengganggu pikiran Camila tanpa Camila katakan. "Apa aku harus tahu soal itu?" Ia berusaha mengendalikan nada bicaranya agar tidak terdengar jika ia sebenarnya terganggu dengan pikirannya sendiri soal hubungan Bara dan Anne.
"Aku tidak ingin kamu mengira jika aku suka mempermainkan wanita. Tidur dengan wanita sana sini."
"Aku yang pertama untukmu?" tanya Camila sembari menatap lurus ke arah Bara.
Bara terdiam, tidak bisa menjawab pertanyaan Camila. Ia tidak ingin berbohong dengan gadis itu tapi ia juga tidak bisa mengatakannya jika jawabannya hanya akan melukai Camila. Ia memang tidak tahu bagaimana perasaan gadis itu padanya tapi sejak apa yang mereka lakukan semalam, itu sudah menjadi bukti komitmen hubungan antara mereka berdua. Karena bagi Bara, ketika ia sampai dalam hubungan intim bersama seorang gadis, maka sudah dipastikan jika ia mencintai gadis itu dan ingin memiliki hubungan serius dengan Camila.
Dulu ia juga melakukannya dengan mantan kekasihnya. Bara sebenarnya sangat mencintainya tapi karena pengkhianatan Biana kala itu, Bara sangat kecewa dan tidak bisa menerimanya. Ia sudah berkomitmen dan hampir menikahi Biana jika saja Biana tidak kabur dan malah menikahi teman baiknya. Ya, Biana adalah yang pertama untuknya.
Terdiamnya Bara membuat Camila mengerti jawaban dari pria itu. Jelas ia bukan yang pertama untuk Bara tapi Bara adalah yang pertama untuknya. Kedengaran tidak adil memang tapi semua itu bukan hanya soal yang pertama atau yang keberapa kalinya, kan?
"Kita akan bertemu pamanku di Bogor. Tidak apa-apa, kan? Sebenarnya dia lebih sering memantau perusahaan dari rumah karena penyakitnya."
"Untuk apa kita bertemu pamanmu?" Camila mengernyitkan keningnya.
"Aku akan membicarakan soal hubungan kita, aku akan mengatakan padanya untuk menikahimu."
"Hah?"
Bara hanya menoleh sekilas ke arah Camila sebelum fokus kembali dengan jalanan di depannya. Ia memasuki tol luar kota untuk menuju kediaman pamannya.
"Menikah? Kamu serius? Tapi bagaimana dengan Anne? Dan kenapa tiba-tiba kamu ingin segera menikah?" tanya Camila bertubi-tubi.
Bara menghela nafas panjang. "Karena aku tidak ingin kamu berpikir aku sedang mempermainkanmu. Aku juga sudah sangat cukup umur untuk menikah. Jadi apa salahnya menikah sekarang atau pun nanti? Sama saja kan?"
"Memangnya kamu seserius itu sama aku?" Camila agak takut.
Tanpa Camila ketahui, Bara pun sebenarnya juga takut kehilangan Camila seperti ia kehilangan Biana dulu. Hubungannya dengan Biana terbilang lama dan mungkin terkesan membosankan karena Biana lama menunggu hingga dirinya siap melamarnya. Namun mungkin kebosanan Biana sudah terlalu dalam hingga gadis itu lebih memilih temannya dibanding dirinya. Maka saat ini Bara tidak ingin Camila menunggunya terlalu lama. Walau mereka baru kenal tapi Bara yakin untuk menikahi gadis ini.
"Aku sangat serius."
"Lalu Anne? Dia kan mengancammu? Jangan sampai karena hubungan kita, kamu mengorbankan perusahaanmu sendiri." Camila terlihat khawatir.
Bara mendengus. "Makanya aku akan cerita ke pamanku sekalian kita cari jalan keluar terbaik. Kalaupun kita harus kehilangan saham yang besar, pasti ada cara lain untuk menyelamatkannya. Iya kan?" Ia berusaha optimis dengan dirinya sendiri.
"Aku tidak yakin jika pamanmu akan setuju."
"Tenang saja. Dia tidak akan banyak bicara kok."
Sekitar jam enam sore, mereka berdua baru sampai di kediaman pamannya Bara.
Akbar.
Pria itu sedang duduk di teras depan sembari sibuk dengan laptopnya. Kesehariannya selalu seperti itu sejak penyakit jantungnya mulai sering kambuh sehingga mau tidak mau ia tidak boleh kelelahan apalagi sampai bolak balik Jakarta Bogor setiap hari. Jadilah dia menghandle perusahaannya dari rumah atau sesekali ikut meeting jika lokasinya masih di daerah Bogor yang dapat ia jangkau.
"Apa kabar, Om?" Bara menyalami pria yang berumur lima puluh tahun lebih itu dengan sopan.
Akbar yang berwajah ramah semakin terlihat ramah saat melihat Camila yang juga menyalaminya. "Siapa ini, Bar? Pacar baru ya?" tanyanya yang terdengar tak kalah ramah dengan wajahnya.
Bara hanya tersenyum malu. Ia pun menyuruh Camila untuk duduk di sampingnya. "Sebenarnya ada yang ingin Bara bicarakan, Om."
"Soal apa? Anne lagi?" tebak Akbar yang sebenarnya sudah tahu seberapa keras Anne yang ingin menjadi istri dari keponakannya ini. Walau ia lebih sering bekerja dari rumah, tapi setiap berita dan perkembangan di kantor tidak pernah ia lewati. Termasuk soal Camila, sekretaris baru keponakannya yang belum genap satu bulan bekerja disana.
Bara menghela nafas dan mengangguk. "Dia ingin aku segera menikahinya. Aku benar-benar tidak bisa," ucapnya dengan frustasi.
"Lalu? Apa yang gadis itu lakukan lagi?"
"Dia mengancam akan menarik saham dari perusahaan kita, Om. Bara jadi khawatir. Tapi jika menikahi Anne, Bara tidak bisa. Bara tidak mencintainya."
Akbar sangat mengenal bagaimana sifat keponakannya ini. Semua soal Bara sudah sangat ia ketahui termasuk kegagalan pernikahannya dulu. "Lalu?"
"Aku ingin menikahi Camila. Tapi aku takut jika Anne akan benar-benar melakukan ancamannya."
Camila jadi prihatin saat melihat Bara terlihat kebingungan. Ia merasa bodoh karena tidak bisa membantu pria itu.
"Jalani saja hidupmu sesuai keinginanmu. Soal Anne, om yang akan urus," ucap Akbar yang terlihat begitu tenang sejak tadi.
"Apa tidak akan menjadi masalah? Bara pikir, om akan marah dengan keputusan Bara." Bara menatap Akbar dengan tatapan tak percaya.
Akbar tersenyum tenang. "Om tidak ingin kamu menikahi gadis manja seperti Anne. Om yakin pilihan kamu adalah yang terbaik. Om akan membantumu." Ia balik menatap Camila yang sejak tadi hanya menyimak pembicaraannya dengan Bara. "Kamu benar mau menikah dengan Bara? Apa kamu sudah benar-benar mengenalnya?"
Camila menatap Akbar dan Bara bergantian. "Saya memang belum mengenalnya dengan baik. Tapi sejauh ini, saya tahu Bara adalah pria yang baik."
Akbar tersenyum mengerti. Lalu menatap Bara kembali. "Jika memang kamu ingin menikahinya, segera temui keluarganya. Urusan Anne biar om yang urus. Tenang saja, om tidak akan membiarkan perusahaan kita hancur hanya karena memperjuangkan kebahagiaan kalian."
Untuk pertama kalinya, Camila merasa begitu dihargai oleh keluarga calon pasangannya. Dulu saat masih berhubungan dengan Fahri, keluarganya terkenal cuek dan angkuh. Bahkan saat pernikahan mereka gagal, keluarga Fahri sama sekali tidak meminta maaf dengan keluarganya. Seakan keluarganya sangat tidak penting di mata Fahri. Tapi saat bertemu dengan Om Akbar, Camila percaya jika keluarga Bara sangat baik. Pasti Bara juga akan memperlakukannya dengan baik.
Tidak ada salahnya kan untuk menikah lebih cepat meski pernah mengalami kegagalan sebelumnya? Bukankah jodoh tidak akan ada yang tahu kapan datangnya?