Rupanya pertanyaan dalam benak Camila tidak lama terjawab. Ketika gadis berambut kecoklatan yang kemarin bertemu dengannya di mall, tepatnya saat ia sedang bersama dengan Bara.
Anne.
Gadis dengan rambut coklat yang tergerai itu berjalan ke arah tempat Camila dengan gaya angkuhnya. Beberapa orang tampak takut-takut untuk meliriknya. Seakan mereka sangat menghindari bertatap muka dengan penulis terkenal itu.
Jadi sepertinya bukan hanya Camila yang merasa sifat Anne yang terlalu angkuh. Meski ya memang ia akui tulisannya bagus dan selalu laris di pasaran. Sepertinya semua orang di kantor penerbitan ini pun mengetahuinya.
"Oh jadi bener kalo kamu itu sekretaris barunya Bara? Tumben dia nyari sekretaris yang muda. Biasanya nyarinya Ibu-ibu terus," ucap Anne dengan nada sinis.
Camila melirik ke arah Emi yang letak biliknya tidak jauh darinya. Emi hanya mengedikkan bahunya dengan tampang pasrah.
"Iya, saya sekretaris barunya Pak Bara. Ada keperluan apa ya?" tanya Camila dengan nada sopan. Meski entah kenapa rasanya di depan Anne, ia jadi merasa kesal. Apalagi gaya gadis itu yang terlampau angkuh dan jauh dari ekspektasinya sebagai salah satu penikmat bukunya.
"Kamu nggak perlu tahu. Saya mau ke ruangannya Bara." Anne melengos begitu saja melewati tempat Camila dan memegang knop pintu ruangan Bara, berniat untuk membukanya tapi Camila mencegahnya. "Beraninya kamu?" sungut Anne saat tangan Camila memegang tangannya seakan melarangnya untuk ke dalam.
"Pak Bara sedang tidak bisa diganggu. Sebentar lagi kami akan meeting. Dan, sepertinya tidak sopan jika anda asal masuk ke dalam tanpa permisi lebih dulu." Camila menekankan setiap kata-katanya. Meski Anne penulis terkenal yang meningkatkan rating penerbitan ini, tapi jabatan mereka sama. Sama-sama bekerja atas nama perusahaan ini. Jadi Camila berhak menegurnya jika Anne bersikap berlebihan apalagi tidak sopan.
"Kamu nggak tahu siapa saya? Saya penulis terkenal. Bara bisa apa tanpa saya di perusahaan ini?" ucap Anne yang lagi-lagi begitu angkuh.
Camila memejamkan matanya sejenak, menahan emosinya yang memuncak.
Namun tak lama pintu ruangan Bara terbuka, pria itu menatap Anne dan Camila yang terlihat tegang. Ia sebenarnya sudah memperhatikan Anne dan Camila sejak tadi lewat kamera CCTV setelah mendengar adanya keributan. Ia juga mendengar soal ucapan Anne. Ya, ucapan Anne memang benar walau terdengar sangat sombong. Perusahaannya memang sangat bergantung dengan karya-karya Anne dan penulis lainnya. Sehingga ia selalu berjaga sikap di depan gadis itu. Ia belum menemukan cara yang tepat agar perusahaannya tidak perlu bergantung dengan karya-karya Anne. Jadi untuk sementara ia memang harus mempertahankan penulis angkuh itu.
Selain itu, keluarga Anne pemegang saham cukup besar di perusahaan ini. Jadilah Bara akan sangat sulit untuk menyingkirkan gadis itu. Tulisan Anne memang bagus, walau tidak sangat bagus. Tapi karena iklan yang gila-gilaan serta pemasaran kemana-mana, maka bukunya selalu laris. Tentu saja, koneksi orangtuanya sangat besar. Apalagi orangtuanya adalah pemilik sebuah universitas. Anne sangat dikenal oleh berbagai mahasiswa di kota ini, bahkan di negara ini.
"Ada apa ini?" tanya Bara dengan suara tegas
"Aku mau ke tempatmu, tapi sekretarismu ini sok melarang." Anne melirik sinis ke arah Camila.
Camila tampak mendengus.
Bara memperhatikan kedua wanita di depannya lalu matanya kembali tertuju pada Camila. "Segera siapkan filenya. Kita harus rapat sekarang," ucapnya.
"Aku pikir kita bisa sarapan bersama?" tanya Anne dengan raut wajah yang kecewa.
"Maaf. Tapi aku sudah sarapan di rumah," ucap Bara yang kemudian masuk kembali ke dalam ruangannya dan mengambil tasnya. Kemudian pria itu berjalan melewati Anne yang memasang wajah tak suka. Bara berhenti sejenak lalu menoleh ke arah Anne. "Nanti siang kita bicarakan soal acara meet and great buku terbarumu. Sekalian kita makan siang bersama."
Sedetik kemudian senyum tersungging di bibir Anne. Gadis itu mengangguk cepat. "Tentu saja. Aku akan menunggumu. Dah!" sahutnya dengan girang yang kemudian melirik sinis ke arah Camila. Seakan ia baru memenangkan sesuatu.
Camila hanya menghela nafas kemudian beranjak dan mengikuti Bara. Perasaannya sangat tidak enak. Tepatnya ia tidak suka ketika Bara terang-terangan membuat janji makan siang dengan penulis angkuh itu. Entah apa yang membuatnya tak suka. Karena Bara akan makan siang dengan si penulis angkuh atau karena ia tidak suka Bara berjanji dengan wanita lain.
Hei.
Siapa dirinya ini sampai punya perasaan seperti itu pada Bara? Camila menepuk-nepuk pipinya, berusaha menyadarkan dirinya juga mengingatkan dirinya jika Bara pernah membuatnya sangat kesal di hari pertama sampai di kota ini.
...............
Setelah meeting selesai di jam makan siang, Camila melihat Bara yang sudah lebih dulu keluar dari ruangannya bersama dengan Anne. Sepertinya mereka benar-benar akan makan siang bersama.
"Yuk! Makan siang. Habis itu kita ngopi-ngopi cantik di kafe bawah," ucap Emi yang menyadarkan Camila dari lamunannya.
Camila mengangguk kemudian mengikuti Emi turun ke lantai dasar. Mereka berjalan menuju restoran yang tidak jauh dari kantor.
"Suka makanan Jepang kan?" tanya Emi sebelum mereka benar-benar masuk ke dalam restoran. Setelah Camila mengangguk, Emi pun membuka pintunya dan masuk ke dalam restoran yang tidak terlalu luas itu.
Di dalam restoran Jepang itu tempat duduknya tidak terlalu banyak. Kebanyakan pun kursinya ada di depan meja panjang yang menghadap ke jalan raya. Konsep restorannya cukup unik. Dari tempat Camila duduk sekarang, ia bisa melihat para koki yang memasak. Sepertinya menu-menu di restoran ini pun tidak banyak. Dari buku menu yang Camila lihat, kebanyakan menunya adalah ramen dan sushi. Seperti wallpaper di restoran itu yang bergambar dua makanan khas Jepang itu.
"Kamu mau pesan apa, Mil?" tanya Emi yang sudah menulis di sebuah kertas khusus untuk memesan makanan yang nantinya akan diserahkan ke pelayan.
"Aku mau ramen curry with white sauce dan teh hijau hangat."
Emi mengangguk dan kemudian menulis pesanan mereka. Selanjutnya ia memanggil pelayan dan menyerahkan kertas tadi.
"Disini sushi-nya juga enak. Lain kali kamu harus coba," ucap Emi yang malah memutar-mutar tutup kecap asin di depannya. "Biasanya aku kesini sama Fitri, tapi dia udah mulai cuti hamil. Sementara yang lainnya nggak terlalu suka makanan Jepang. Katanya nasi padang jauh lebih enak. Mereka nggak tahu apa sesusah apa aku buat diet. Kalo terus-terusan makan nasi padang, lemak di perutku bisa dipanen lagi." Ia memegang pinggangnya yang memang agak sedikit berisi. Tapi menurut Camila, masih normal.
Berbeda dengan Camila yang makan sebanyak apapun, berat badannya tetap stabil. Lebih tepatnya sulit sekali baginya untuk menaikkan berat badannya. Padahal ia merasa terlalu kurus. Ia juga suka makan saat di Malang, sering berkeliling kota Malang maupun kota kota terdekat untuk kulineran. Dulu ia sering melakukannya bersama Fahri.
Ya, Fahri. Meski hanya seminggu dua kali, tapi sangat cukup untuk Camila walau kenyataannya tidak cukup untuk Fahri. Sepertinya, sampai pria itu memiliki wanita lain di belakangnya. Memang waktu yang Fahri punya jauh lebih luang karena dia pemilik beberapa minimarket dan hanya memantau minimarketnya beberapa hari sekali. Hal itu pulalah yang mungkin membuat Fahri kesepian karena Camila yang sibuk dengan jabatan barunya sebagai supervisor marketing selama dua tahun belakangan.
"Untung deh ada temen baru. Fitri juga anaknya baik kok, seru. Pokoknya nggak kayak si Anne itu deh." Emi lanjut bercerita. Ia sampai bergidik saat menyebut nama Anne.
"Memangnya dia seburuk itu ya?" tanya Camila yang ingin tahu penilaian dari orang lain soal Anne. Apalagi dari orang yang mungkin tahu jauh lebih baik soal sifat asli Anne dibanding dirinya yang baru tahu sejak kemarin saja. Sebelumnya ia hanya tahu Anne penulis terkenal yang ramah di sosial media dan bukunya laris. Apalagi Anne tidak pernah berkunjung ke kantor penerbit di Malang. Untuk apa juga?
Emi mengangguk cepat. "Mentang-mentang dia anak pemegang saham di perusahaan ini jadi angkuhnya semakin menjadi. Awal baru menjadi penulis, dia manis banget kayak kucing anggora. Sekarang garangnya ngalahin macan di taman safari."
"Pemegang saham?"
"Iya. Orangtuanya kan kaya banget. Punya universitas dan punya saham lumayan besar disini. Orangtuanya juga dosen. Kayaknya sih yang beli bukunya Anne kebanyakan murid orangtuanya yang dipaksa suruh beli n****+ anaknya biar laris."
"Hah? Masa sih?"
Emi mengedikkan bahunya. "Mungkin aja kan? Biar nilai mereka bagus gitu. Kali aja. Padahal ceritanya emang bagus cuma ya nggak bagus banget deh. Menang cantik aja dia."
Camila menggeleng-gelengkan kepalanya. "Terus kenapa dia jadi sombong banget?"
"Sejak bukunya laris banget dan orangtuanya mendadak naro saham tiga tahun yang lalu disini. Apalagi dia ngincer Pak Bara banget. Sayangnya Pak Bara nggak suka sama dia. Iyalah, cewek begitu."
Jadi Anne menyukai Bara?