Keesokan harinya, Camila sudah siap untuk berangkat ke kantor barunya. Ia pun menyempatkan diri ke dapur untuk membuat sarapan. Meski hanya roti isi selai dan segelas s**u, yang penting setiap pagi perutnya harus terisi dulu. Karena ia punya penyakit magh akut. Bahkan ia juga menyediakan cemilan agar setiap dua jam sekali, perutnya bisa terisi. Kalo tidak, perutnya akan terasa seperti terlilit dan ia akan kesulitan berjalan.
Tak lama saat Camila sedang mengoleskan selai strawberry ke rotinya, Bara turun dari tangga dengan penampilan yang rapih. Pria itu mengenakan kemeja biru dongker serta celana hitam yang tampak pas dengan tubuhnya, lengan panjang kemejanya di lipat sampai ke siku, memperlihatkan otot-otot kekarnya.
Camila sedikit menelan ludah saat melihat Bara. Ia jadi ingat waktu pertama kali melihat Bara yang bertelanjang d**a di balkon kamarnya tapi sepertinya pria itu tidak menyadarinya.
"Kamu sarapan?" tanya Bara berbasa-basi. Ia membuka lemari es dan mengambil sekaleng kopi kemasan.
"Iya. Soalnya aku punya magh jadi harus selalu sarapan," jawab Camila. Bagaimana pun juga ia akan bekerja dengan Bara, jadi pria itu harus tahu soal penyakitnya. Takutnya suatu saat penyakitnya kambuh dan ia malah menyusahkan pria itu kan gawat.
Bara mengangguk mengerti. "Baiklah. Lekas habiskan sarapanmu, sebentar lagi kita berangkat."
"Hah?" Camila terperangah. Haruskah ia berangkat bersama atasannya sendiri? Bagaimana nanti orang-orang di kantor baru akan menilainya? Ia menggeleng cepat, berusaha menghilangkan pikiran negatifny.
"Kenapa memang? Kamu mau berangkat sendiri? Emang udah tahu kantor dan situasi jalan raya disini? Yang ada kamu akan telat." Bara melirik jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangannya. "Jam delapan ada meeting untuk konsep iklan buku dari penulis baru. Aku tidak mau kamu sampai telat di meeting pertamamu."
"Oh, baiklah. Maaf. Aku hanya takut orang berpikiran aneh kalo berangkat bareng kamu nanti." Camila tersenyum canggung.
"Hidup itu jangan terus terusan memikirkan pendapat orang. Kamu yang menjalani hidupmu sendiri bukan orang lain," cetus Bara sembari meminum kopi kalengnya.
Entah kenapa kata-kata Bara selalu tepat untuk dirinya, bahkan kali ini juga. Camila memang tipe gadis yang suka memikirkan pendapat atau penilaian orang lain soal apa yang ia jalani. Membuatnya jadi tidak bebas dengan dirinya sendiri karena takut dikira buruk di depan orang lain. Ya walau akhirnya ia tetap dinilai buruk apalagi setelah pernikahannya batal karena kehadiran orang ketiga dalam hubungannya.
"Lima menit lagi aku berangkat. Aku tunggu di depan ya," ucap Bara yang melewati Camila begitu saja.
Camila hanya mengangguk. Beberapa penghuni kos ini juga keluar dan berangkat kerja. Mereka terlihat cuek bahkan terkesan menganggap Camila tak ada. Entahlah. Seperti kata Bara, ia tidak perlu memikirkannya. Atau mungkin ia yang kurang berani menyapa mereka lebih dulu. Tapi saat ada Bara tadi dan beberapa orang turun dari lantai atas, mereka juga tidak menyapa Bara. Setidak sopan itu kah? Atau kehidupan mereka yang terlalu individual?
Tidak mau membuat Bara menunggu lama, akhirnya Camila segera menyelesaikan sarapannya. Ia pun mengambil tas jinjingnya yang berwarna biru dongker dan membawanya.
Bara sudah berada di dalam mobil merahnya, Camila pun naik ke mobil itu. Tak lama Bara melajukan mobilnya, menembus kota Jakarta yang macet hari itu. Maklum, hari senin. Hampir di setiap kota, hari senin akan lebih padat dibanding hari-hari lainnya.
Sesampainya di kantor yang berlantai lima itu, Bara dan Camila masuk melewati lobby dan disapa para karyawan terutama para karyawan wanita. Tapi pandangan mereka seperti bertanya ketika melihat Camila berjalan bersama Bara bahkan sampai ke lantai lima, tempat ruangan mereka berada.
Kantor penerbitan ini cukup besar, bersisian langsung dengan lokasi percetakan. Bahkan gedung percetakannya lebih besar dari kantor ini karena disanalah tempat percetakan berbagai macam judul buku dan pembuatan iklan cetak serta iklan digital. Sementara kantor ini khusus untuk para karyawan bagian editor, bagian pemasaran, bagian penerima pesanan buku dan iklan, bagian design dan masih banyak lagi.
Gedung kantor dan gedung percetakan sengaja dipisah. Karena di gedung percetakan agak bising juga banyak kendaraan keluar masuk untuk mengantar pesanan buku ke bagian logistik. Atau orang-orang yang datang langsung ke toko buku mini yang ada di lantai bawah percetakan itu. Toko buku mini khusus buku penerbitan mereka. Juga rencananya akan dibuat toko buku baru di dekat taman kota yang lokasinya strategis.
Camila memperhatikan setiap sudut kantornya. Hampir sama seperti kantor di Malang. Bedanya disini di luar gedung kantor banyak ditumbuhi pepohonan jadi terlihat rindang. Setiap sudut kantor pun ada sofa dan meja yang sepertinya dibuat khusus untuk berdiskusi atau para penulis yang mau menulis di kantor ini. Pantas saja kata Bara jika Anne suka menulis disini, suasananya memang nyaman sih dan tenang untuk menulis. Di lantai bawah pun ada cafe kecil khusus karyawan. Katanya biar yang pada ngantuk bisa segera minum kopi atau bersantai dulu. Menurut Bara, bekerja itu nggak boleh dibawa stress karena nanti akan berpengaruh pada kinerja pekerjaannya.
Camila setuju sekali soal pendapat itu.
Saat di lantai lima, disana terdapat banyak bilik-bilik dengan tempat yang hampir terisi penuh. Semua orang berdiri ketika melihat Bara datang bersama Camila. Mereka mengangguk hormat pada pria itu.
"Pagi semua. Perkenalkan. Ini Camila, sekretaris baru saya. Dia yang akan membantu say untuk menyusun jadwal maupun meeting. Jadi kalo ada perlu apa-apa soal saya, kalian bisa kontak Camila langsung. Termasuk masalah-masalah di kantor ini."
"Pagi, Pak. Iya siap Pak. Selamat datang Bu Camila." Mereka semua mengangguk sopan ke Camila.
"Terimakasih." Camila balas mengangguk dengan sopan.
"Bilik kamu disana. Tepat di depan ruangan saya. Disana ada beberapa pekerjaan yang belum selesai. Dan tolong siapkan bahan meeting nanti. Filenya sudah saya kirim ke email kamu. Hanya tinggal edit beberapa."
Camila mengangguk kemudian duduk di balik bilik kerjanya sementara Bara masuk ke dalam ruangannya.
Pria itu tidak sesombong yang Camila kira. Buktinya para karyawan disini tidak terlihat tidak suka dengan Bara. Kan pasti beda mana yang menghormati karena kewajiban dan mana sikap menghormati dari hati.
Camila tersenyum kecil membayangkan pekerjaannya di kantor ini yang mungkin akan lancar.
"Hai. Mau kopi?" sapa salah satu wanita berambut bob dengan wajah agak bulat dan terlihat ramah itu.
"Ah! Tidak usah terimakasih." Camila membalas wanita itu dengan sopan. Lagipula ia tidak terlalu suka kopi, tepatnya tidak bisa minum kopi karena penyakit maghnya.
"Aku Emi. Salam kenal," ucap wanita itu lagi sembari tersenyum ramah.
"Salam kenal juga ya."
"Semoga betah disini. Orangnya asik-asik kok. Bos kita juga, cuma sedikit galak sih." Emi tersenyum miris. "Well, sejauh ini selalu baik-baik aja. Apalagi seminggu terakhir ini."
"Seminggu terakhir? Memangnya ada apa?" Camila jadi penasaran.
Emi memperhatikan sekelilingnya, takut yang dia bicarakan tahu-tahu datang dan melabraknya. "Nanti kamu juga tahu. Pokoknya jangan terlalu dekat sama Pak Bara atau kamu bakal diamuk sama nenek sihir."
Camila menelan ludahnya sendiri. "Pak Bara punya kekasih?" tanyanya yang entah kenapa membuat hatinya sedikit nyeri. Perasaan apa ini?
Emi menggeleng cepat. "Tepatnya ada wanita yang sok ingin memiliki Pak Bara tapi nggak pernah kesampaian." Ia terkekeh geli. "Nanti makan siang bareng ya. Aku akan tunjukkan tempat makan yang enak. Lanjutkan pekerjaanmu."
Camila mengangguk meski setelah mendengar ucapan Emi, ia justru menjadi tidak tenang. Apa maksud ucapan partner kerjanya itu?