Part 8

1132 Kata
Saat jam pulang pun, Camila melihat Anne yang baru memasuki ruangan Bara. Mungkinkah keduanya akan pulang bersama? Ya, walau Camila tidak berharap sekali akan pulang bersama Bara lagi seperti mereka yang berangkat bersama pagi ini. Tak lama Bara dan Anne keluar dari ruangan. Bahkan mereka berjalan melewati Camila tanpa mengatakan apapun. Terutama Bara, seakan keberadaan Camila tidak terlihat. Sangat berbeda dengan Bara yang tadi pagi maupun yang kemarin. Apa karena ada Anne? Tapi kenapa sebegitunya. Hanya karena Anne. "Pulang naik apa, Mil?" tanya Emi yang barus selesai mematikan komputernya. "Eh. Ojek online mungkin. Kamu, Em?" Camila baru selesai membereskan mejanya dan beranjak dari tempat duduknya. "Aku naik kereta. Rumahku kan di Depok. Yuk balik!" Camila mengangguk dan mengikuti Emi turun ke lantai dasar. Camila melihat mobil Bara sudah keluar dari halaman parkir. Sudah bisa ia tebak jika pria itu pulang bersama Anne, seperti dugaannya. Ia hanya menghela nafas lalu membuka ponselnya, memesan ojek online lagi. Sepertinya di kota ini ia akan sering menggunakan aplikasi transportasi online. Kalo di Malang sih ia biasa dijemput oleh ayahnya. Meski ia sudah berumur dua puluh enam tahun, ayahnya selalu memanjakannya termasuk selalu mengantar jemputnya jika Fahri sedang sibuk. Ia mendadak rindu kedua orangtuanya. Rindu bagaimana mereka memperlakukannya. Juga merasa bersalah karena dirinya telah mengecewakan mereka soal batalnya pernikahannya dengan Fahri. Cukup lama hingga Camila mendapatkan ojek onlinenya karena memang posisinya ada di jam pulang kerja yang sudah dipastikan sangat padat. Emi pun sudah berjalan kaki ke arah stasiun yang tidak terlalu jauh dari kantornya jadi ia menunggu ojeknya sendirian. Tak lama ia kemudian mendapatkan ojek onlinenya dan pulang menembus kepadatan kota Jakarta di hari senin. Begitu sampai di rumah kosnya, Camila tidak melihat mobil Bara terparkir di halaman rumah seperti biasa. Padahal langit sudah gelap, pertanda malam akan segera tiba juga hujan yang akan segera turun. "Atau dia pergi lagi sama Anne? Aneh banget. Padahal di mall, dia seperti menghindari Anne banget. Tapi kok sekarang malah deket?" Camila bergumam sendiri lalu masuk ke dalam kamarnya. Kamar Bara berada tepat di sebelah kamarnya. Jadi Camila tahu jika pria itu sudah pulang atau belum dari bunyi decitan pintu yang terbuka. Camila akui, pintu kamar di rumah kos ini berat dan sering menimbulkan suara berdecit yang cukup mengganggu.  Hingga Camila ke dapur dan masak untuk makan malam pun, Bara belum juga pulang. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Beberapa penghuni kos lain pun sudah pulang juga. Ia sempat berkenalan singkat dengan beberapa orang. Karena tidak enak terlalu mengganggu waktu mereka jika mengobrol lebih panjang. Kebanyakan wajah mereka menunjukkan kelelahan sekali. Setahu Camila, penghuni kos disini kebanyakan dari kantornya juga hanya kebanyakan beda lantai atau di bagian percetakannya sehingga ia tidak sering bertemu mereka saat di kantor. Mungkin mereka sering lembur juga jadi terlihat lelah. Kebanyakan pada sampai di rumah sekitar jam delapan malam. Camila memilih duduk di kursi dekat meja pantry setelah membuat s**u coklat hangat. Ia butuh minum s**u agar bisa cepat tidur. Walau ia tidak bisa minum kopi, tapi ia sering kesulitan untuk tidur lebih cepat. Seringnya ia tidur di atas jam dua belas malam. Kecuali di saat-saat tertentu, seperti saat ia kelelahan menangis mungkin.  "Kenapa belum tidur?" suara Bara sedikit membuat Camila terkejut. "Eh? Sejak kapan kamu disitu?" Camila memegangi dadanya yang berdebar sekaligus merasa lega karena pada akhirnya Bara pulang. Namun yang membuat gadis itu heran adalah bau alkohol yang tidak terlalu kentara dari tubuh pria beralis tebal itu. "Baru aja sih." Bara berjalan ke arah lemari es dan mengambil sebotol air mineral kemudian menenggaknya begitu saja. "Kenapa masih disini? Udah jam sepuluh loh." Camila hanya menggelengkan kepalanya padahal Bara tidak sedang menatapnya. Gadis itu hanya menggenggam gelas berisi s**u coklat hangatnya dengan kedua tangannya. Ia jadi penasaran dengan keberadaan Bara sebelum pria itu pulang ke sini apalagi setelah mencium aroma alkohol.  "Tadi aku menemani Anne ke Bar. Dia memang suka ke bar, banyak teman-temannya disana. Aku terpaksa menemaninya," ucap Bara yang seakan menjelaskan kepada Camila tanpa Camila bertanya dulu. Seperti Bara tahu apa yang ada di dalam pikiran Camila. "Bar? Terpaksa?" Camila mengernyitkan keningnya. Entah kenapa ia malah selalu ingin tahu apa yang Bara lakukan di luar sana. Padahal mereka tidak ada hubungan apa-apa selain sekretaris dan manajer. Bara menghela nafas berat lalu menarik kursi di depan Camila dan melirik segelas s**u hangat di depan gadis itu. "Entah kenapa sejak kemarin dia seperti mengancamku," ucapnya yang memperlihatkan kekhawatiran. "Harusnya aku tidak cerita pada siapa pun dan menyelesaikan masalah ini sendiri. Tapi sepertinya aku tidak bisa." "Maksudnya? Memangnya ada apa? Kenapa dia sampai mengancam?" Keingintahuan Camila semakin menjadi. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya? Apa ia murni mengkhawatirkan Bara yang adalah atasannya atau memang mengkhawatirkan Bara? "Tiga tahun yang lalu. Sejak keluarga Anne menaruh saham di perusahaanku, dia semakin gencar mendekatiku. Aku tahu sejak awal bergabung menjadi penulis di penerbitan kita, dia memang menyukaiku. Tapi semakin kesini dia semakin menjadi. Awalnya aku bisa menghindarinya hingga dia mengancam akan menarik sahamnya jika aku terus menghindar. Bahkan dia meminta aku menikahinya." Bara memijit-mijit pelipisnya. "Astaga. Kenapa sampai seperti itu?" Bara mengedikkan bahunya. "Sepertinya dia merasa terancam dengan keberadaanmu apalagi dia tahu kamu tinggal di kos-kosan ini." "Aku?" Camila menunjuk dirinya sendiri. "Iya." Bara mengangguk lemah. "Aku tidak tahu sampai kapan harus bertahan dengan keadaan seperti ini. Rasanya sangat berat. Sementara jika perusahaan kehilangan saham sebesar itu, bisa-bisa perusahaan ini mengalami kerugian besar." Ia tidak bisa mengorbankan perusahaan yang telah kakeknya bangun ini. Tapi ia juga tidak ingin menjalin hubungan apalagi sampai menikah dengan Anne. "Apa yang harus aku lakukan, Mil?" "Apa kamu mencintainya?" tanya Camila dengan suara yang tiba-tiba terasa berat. Bara menggeleng cepat. "Dia memang cantik, tapi untuk menikah... kriteria cantik saja tidak cukup. Lagipula aku tidak mau menikah dengan gadis yang tidak aku cintai." "Lalu? Kalo kamu menolaknya, bukankah dia akan menarik sahamnya?" Bara menghela nafas lagi. Entah sudah berapa kali pria itu menghela nafas di depan Camila. "Sudahlah. Aku pikirkan nanti saja. Toh dia tidak minta buru-buru menikah." Keduanya kembali terdiam. Bara larut dalam pikirannya sendiir sementara Camila menyesap s**u coklatnya yang sudah terasa dingin.  "Kamu minum alkohol juga?" tanya Camila, memecah keheningan di antara mereka. Bara menggeleng cepat. "Tidak. Sebenarnya aku juga tidak suka tempat seperti itu. Ini terpaksa, kamu tahu kan?" Camila mengangguk pelan. "Semoga kamu menemukan jalan keluar untuk masalahmu." "Terimakasih, Mil. Aku naik ke atas duluan. Kamu juga lekas istirahat. Maaf jika tadi kita tidak pulang bersama." "Tidak apa-apa." Camila tersenyum mengerti. "Kamu kan atasanku, bukan supirku." Bara mendengus geli. "Kamu benar. Tapi aku lebih suka pergi bersamamu dibanding bersama Anne," ucap pria itu yang kemudian meninggalkan Camila sendirian di dapur. Camila memegangi dadanya yang berdebar lebih cepat. Kenapa ucapan sederhana dari Bara bisa membuat jantungnya berdebar nggak karuan begini? Apa karena ia baru terluka lalu mendapat perhatian dari pria, jadinya ia menanggapinya berlebihan? Come on. Ia tidak boleh terluka lagi kedua kalinya. Apalagi saingannya adalah gadis angkuh seperti Anne. Belum apa-apa, Anne sudah mengancam Bara. Apalagi jika benar terjadi jika ia memiliki perasaan dengan Bara. Anne pasti akan segera menyingkirkannya dengan cara apapun. .............
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN