Tiga Belas

1674 Kata
Kalingga menahan napasnya, dia mendapat kiriman video dari Ashana di jam kerja. Benar-benar wanita itu. Bahkan mengingat kejadian malam tadi saja masih membuat Kalingga malu setengah mati. Namun, tidak dengan Ashana yang justru seperti menggodanya. Lihat saja pakaiannya yang sangat pendek, padahal mereka tengah meeting bersama para staff. Ada project pengembangan perusahaan yang akan menjangkau ke luar kota. Kalingga yang duduk di sampingnya hanya bisa menggeleng pasrah setelah mengecek video itu tadi di toilet. Dia pikir video yang penting. Ternyata video tentang proses reproduksi. Ashana menyilang kakinya, matanya lekat menatap staff yang ada di depan papan tulis, menjelaskan rencana pengembangan itu. Kalingga berusaha fokus, ini adalah hal yang dia impikan. Dulu ketika masih menjadi office boy, dia sering membayangkan menjadi staff yang ikut meeting penting. Padahal dia masuk ruang meeting hanya untuk menyiapkan minuman juga membereskan sisa-sisa rapat. Kini, dia bisa merasakan terlibat di dalamnya. Ashana kini mendapat waktu untuk bicara, jam istirahat makan siang sudah hampir tiba, dia sangat menghargai waktu. “Saya setuju dengan rancangan project tersebut, meskipun ada beberapa hal yang harus dievaluasi. Karena itu meeting kita lanjutkan besok dengan pembahasan mengenai point-point yang dirasa kurang memuaskan, masukan dari kalian tentu akan menjadi bahan pertimbangan. Kita selesaikan meeting hari ini sampai di sini,” tukas Ashana tegas seraya menutup laptopnya. Moderator rapat pun menutup meeting tersebut, Ashana keluar lebih dulu diikuti oleh Kalingga. “Bagian ini harusnya diganti, kamu bold ya,” tutur Ashana pada Kalingga yang berjalan di sampingnya. Para staff menghela napas panjang, sepertinya mereka semua menahan napas tadi. Berada dalam satu ruangan dengan orang nomor satu di perusahaan ini membuat mereka salah tingkah. Mereka takut melakukan kesalahan yang memancing amarah dari wanita itu. “Huft, tegang banget,” ujar salah satu staff. Moderator rapat hanya terkekeh seraya membereskan buku agenda. “Sebaiknya siapkan semua jawaban untuk besok, perhatikan point-point tadi yang membuat alis Bu Ashana terpaut atau keningnya berkernyit, pasti itu yang akan dibahas,” ujarnya. “Iya juga, ya sudah istirahat dulu deh, jam satu kita kumpul lagi,” ucap rekan lain menimpali, mereka pun membereskan ruangan meeting itu hingga salah satu office boy masuk dan membantu merapikan kursi mejanya. “Kal, mau makan siang di luar?” tanya Ashana pada Kalingga yang masih ada di ruangannya karena harus mengetik poin yang akan ditanyakan Ashana besok. Kalingga melihat jam tangannya, bukan jam tangan mahal, namun dia sangat menyayanginya karena itu pemberian ayahnya. “Makan di mana, Bu?” tanya Kalingga. “Mas Navarro ajak kita makan siang, ayo kita bertemu di lobby. Teruskan nanti saja kerjaannya,” ujar Ashana seraya mengambil tas tangannya. Kalingga menutup laptop itu dan berjalan mengikuti Ashana. Dia sempat menunduk sopan pada para karyawan yang berpapasan dengannya. Mereka menuju lobby, bertepatan dengan Navarro yang juga berjalan ke arah mereka. Senyumnya tampak lebar sekali. Setelan jas mahalnya sangat pas di tubuhnya. Mungkin aroma uang tercium ketika dia lewat, sangat kental dengan kekayaan. “Hai adik ipar,” ucap Navarro setengah berbisik pada Kalingga. Mata Kalingga membelalak, hingga Navarro menepuk bahunya pelan. “Santai saja,” kekehnya. “Iya, Pak,” jawab Kalingga kaku, Ashana hanya menggeleng sambil memutar bola matanya jengah. Bagaimana Kalingga bisa santai, jika dia berjalan bersama pemilik gedung ini. Bahkan semua staff membungkuk hormat padanya, terutama para petugas keamanan yang memperlakukannya sangat spesial, seperti memperlakukan presiden. Mobil sudah menunggu di depan lobby, kendaraan MVP mewah berwarna putih yang pintunya sudah terbuka itu seolah mempersilakan semuanya masuk. Ashana dan Navarro masuk lebih awal, kemudian menyusul Kalingga yang duduk di belakang mereka berdua. “Kita mau makan di mana?” tanya Ashana. “Tempat biasa kita makan keluarga, Illiana pulang dan ingin ikut makan bersama,” ucap Navarro menyebut nama putrinya. Ashana mendengus sebal. “Anak manja itu benar mau kerja di kantorku?” tanyanya malas, tangannya digunakan menopang kepala. “Ya, dia minta seperti itu,” ucap Navarro, “kamu bebas memperlakukannya seperti apa pun, karena dia memang butuh gemblengan dari kamu, mamanya sangat memanjakan dia.” “Kalau gitu, jangan sampai dia tahu aku sudah menikah dengan Kalingga. Dia bawel sekali, aku enggak mau ya dia sampai membocorkan hubungan kami,” tutur Ashana. “Beres,” jawab Navarro. Kalingga hanya bisa terdiam menyimak pembicaraan dua orang di hadapannya, hingga mereka tiba di restoran yang sangat mewah. Dari pintu masuknya saja Kalingga sudah bisa menebak bahwa tak akan ada menu dengan harga setara di rumah makan yang biasa dia singgahi. Manager restoran itu yang langsung menyambut Navarro dan Ashana, Kalingga hanya mengekor di belakang saja. Mereka menempati meja cukup besar di restoran itu. Tak terlalu banyak pengunjung di tempat ini. “Belum datang Illi?” tanya Ashana. “Sepertinya belum, kita pesan makan saja dulu,” ucap Navarro. Kalingga membuka buku menu itu, dia tak mengerti dengan berbagai jenis makanan yang ada di daftar menu, yang dia lihat hanya harga-harganya saja yang menurutnya tidak masuk akal! “Adik ipar mau pesan apa?” tanya Navarro. “Mas, sudah jangan meledek dia terus dong,” geram Ashana. “Duh istrinya marah,” tukar Navarro membuat Ashana berdecih. “Belum tahu Pak, saya ikut saja,” jawab Kalingga. “Makan sama sambal aja mau??” “Ashana, ck! Enggak boleh begitu, biar bagaimana pun dia suami kamu,” oceh Navarro. “Enggak apa-apa, Pak,” jawab Kalingga sopan. “Sudah menunya samakan saja dengan saya,” ucap Navarro yang seolah bisa membaca kebingungan yang dirasakan oleh adik iparnya. Mereka memesan beberapa menu, saat Ashana tengah memesan menu, hadirlah dua orang wanita yang menginterupsi. Kalingga melihat ke dua orang itu, seorang wanita paruh baya dengan rambut yang disanggul. Bulu mata yang sangat tebal dan panjang, juga make up yang menutupi wajahnya. Alis matanya terangkat melihat Kalingga, “duduk,” ujar Navarro pada istrinya. Lalu Kalingga menatap wanita yang terus memperhatikannya. Seorang wanita cantik dengan rambut diikat setengah, memakai blouse putih dan celana jeans yang sangat pas di tubuhnya. Kecantikannya serupa artis, dia terlihat sangat bersinar. “Hai tante!” ujar wanita muda itu memeluk leher Ashana dari belakang. “Jangan sok akrab!” geram Ashana sambil melepas pelukan keponakannya, namun sejurus kemudian dia tersenyum pada keponakannya yang sudah terlihat dewasa itu. “Memang akrab kok,” jawab wanita itu sambil duduk. “Kalingga, perkenalkan ini anak saya Illiana, dia baru lulus kuliah dan akan bekerja di perusahaan Ashana, yang ini istri saya Zania,” kenal Navarro. Kalingga berdiri dan menyalami Illiana, wanita itu terlihat terpesona dengan ketampanan Kalinga. Lalu Kalingga bergantian menyalami istri Navarro yang hanya menempelkan tangannya lalu dengan cepat menariknya. “Katanya makan siang keluarga?” sindir Zania. “Lho ini kan keluarga semua, Kalingga sudah seperti keluarga bagi saya dan Ashana,” ucap Navarro meralat. Zania jelas tak tahu pernikahan Ashana dengan Kalingga karena dia yang memang tak terlalu dekat dengan Ashana. Navarro pun tak mau mereka ribut. “Aku panggilnya mas atau bapak nih?” tanya Illiana pada Kalingga. “Terserah ibu,” jawab Kalingga membuat Navarro tertawa dan Illiana mendengus, apa dia sudah setua itu untuk dipanggil ibu? “Usia kita kayaknya enggak beda jauh, aku panggil mas saja ya. Mas Lingga kerja di perusahaan papa atau tante?” tanya Illiana melihat id card tersembul di saku Kalingga. “Perusahaan bu Ashana,” jawab Kalingga. “Wah nanti kita jadi teman kerja dong,” kekeh Illiana membuat Kalingga tersenyum tipis. Illiana benar-benar terpana dengan ketampanan Kalingga. Seolah dia menemukan sinar baru dalam hidupnya. “Sudah cepat pesan makan, tante laper!” decih Ashana melihat drama ini. Illiana mengerucutkan bibirnya sebal dan memesan makanan yang dia sukai. Mereka masih membicarakan tentang perkuliahan Illiana yang baru lulus dari universitas ternama di luar negeri. Makanan pesanan mereka pun tiba, meja itu dalam sekejap dipenuhi berbagai jenis makanan. Kalingga menggeleng tak percaya, mungkin makanan ini bisa dimakan untuk dua puluh orang jika di kampungnya. Namun mereka hanya berlima di meja makan ini. Apakah bukan suatu pemborosan? Kalingga terlihat sangat berusaha bersikap normal di meja makan itu, meskipun terkadang dia bingung cara memakannya, dia memperhatikan Navarro dan juga Ashana untuk mencontohnya. Bahkan untuk makan buah pun mereka menggunakan pisau dan garpu sungguh hal yang menurutnya di luar nalar. Ashana sudah meminta sopir kantor menjemput di restoran karena Navarro berkata ada urusan keluar setelah makan bersama itu. Sesampai di kantor, Kalingga langsung masuk ruangan Ashana, karena dia harus menyelesaikan pekerjaan yang diminta Ashana. Wanita itu duduk di kursi kebesarannya dan menatap suaminya dari jarak beberapa meter. Kalingga terlihat sangat serius dengan pekerjaannya. “Kal,” panggil Ashana, Kalingga mendongak dan menatap ke arahnya. “Enggak jadi deh,” ucap Ashana selanjutnya. Kalingga hanya memaksakan senyumnya lalu kembali berkutat dengan pekerjaannya. Setelah selesai dia langsung mengirim email pada Ashana. “Ya cukup ini pointnya, silakan kembali ke meja kerja kamu,” ucap Ashana. Kalingga pun berdiri seraya membawa laptopnya. “Tunggu,” ujar Ashana ketika Kalingga bersiap melangkah. “Ya, Bu?” tanya Kalingga. “Kamu mau kita honeymoon ke mana? Ada tempat yang kamu ingin tuju?” tanya Ashana. Kalingga tampak berpikir. “Ke kampung halaman saya aja bagaimana?” tanya Kalingga dengan senyum lebarnya yang membuat Ashana tak bisa berkutik, senyum itu seolah membiusnya untuk mengatakan iya. Kalingga sangat senang dan berterima kasih pada Ashana, lalu dia keluar dari ruangan. Sepeninggal Kalingga, Ashana merutuki dirinya sendiri. Apakah dia seperti orang bodoh tadi? Kalingga duduk di kursi kerjanya, dia mencetak point penting untuk meeting besok, lalu dia berjalan ke tim pengembangan. “Point pertanyaan untuk besok,” bisik Kalingga sambil meletakkan jari telunjuk di bibirnya, meminta tim itu merahasiakan. “Astaga Kal, kamu memang bisa diandalkan!” ujar pria itu seraya menepuk bahu Kalingga, “terima kasih ya,” kekehnya. “Sama-sama Mas, saya ke meja dulu,” tutur Kalingga. Pria itu merasa sangat beruntung ada Kalingga di sisi atasannya sehingga mereka akan dengan mudah mencari jawaban dari hal yang menurut Ashana ganjil dan memberi jawaban yang tepat. Kalingga duduk di kursinya sambil membuka ponsel, dilihat ada chat masuk dari mantan kekasihnya di kampung dulu. “Mas, bisa telepon sebentar? Penting,” tulisnya, dan Kalingga merasa lehernya sangat kaku ketika menyadari Ashana memperhatikannya dari kejauhan! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN