Dua Belas

1776 Kata
Tiga hari yang menyiksa bagi Ashana sudah lewat, dia bahkan sudah bersih di hari ke tujuhnya. Senyumnya terbit di pagi ini, malam nanti mungkin dia akan melakukan malam pertamanya setelah sekian purnama terlewati tanpa terjamah dengan benda keperkasaan yang membuat tubuhnya meremang, mendambakan sesuatu yang dia idamkan. Ashana membuka lemari khususnya yang terkunci dengan pin, beberapa mainan pribadinya terlihat. Di antaranya ada yang berbentuk seperti milik keperkasaan laki-laki, dengan berbagai bentuk. Ada juga bandul yang ukurannya berbeda, satu berukuran sedang dengan tali yang menyambungkan dengan bandul yang lebih kecil. Ada juga mainan berbentuk kupu-kupu dengan tonjolan di depannya, lengkap dengan remote wirelessnya. Ada sensasi bergetar ketika mainan itu diletakkan dimiliknya. Jika sangat bernafsu terkadang dia memakai itu di kantor sepanjang hari, sengatan nikmat membuatnya tidak mengantuk. Pernah dia sengaja memakainya ketika meeting dengan klien, sesekali desahan lolos dari bibirnya ketika jemarinya menekan tombol untuk getaran dari benda itu. Sensasi menyenangkan dan menambah adrenaline baginya. Dia mengambil satu gantungan bandul itu, ada sensasi aneh ketika dia berjalan jika bandul itu diletakkan dalam miliknya. Ashana berjongkok, membersihkan bandul itu, dia yang saat ini masih mengenakan kimono handuk itu melesakkan bandul berukuran sedang itu dalam miliknya. Dengan seperti ini, nanti malam dia akan merasakan hal yang jauh lebih nikmat karena mendambakan milik pria yang asli memasukinya. “Euhm, geli,” desahnya sambil berdiri. Kalingga tak memperhatikan jalan Ashana yang berbeda, kaki wanita itu jelas lebih rapat ketika berjalan dan wajahnya seperti menahan sesuatu. Kalingga hanya membisu saja berjalan di belakangnya. Tubuhnya sangat seksi dengan terusan yang pas membentuk tubuh itu. Sepulang kerja, setelah Ashana mandi dia kembali melesakkan bandul itu setelah mencucinya, tadi bandul itu sangat basah dengan cairan alaminya. Dia memakai handuk yang dibelitkan di tubuhnya. Dia duduk di ranjang dan menelepon Kalingga. Kalingga yang baru selesai mandi pun terkejut melihat ponselnya yang menampilkan nama Ashana. “Iya Bu, ibu di mana?” tanya Kalingga. “Saya di kamar,” ucap Ashana, “ke sini Kal,” imbuhnya. “Baik Bu,” jawab Kalingga tak bisa membantah. Dia pun keluar dari kamar dan menuju kamar Ashana yang berada di seberangnya. Ashana menoleh ketika Kalingga membuka pintu, dia bahkan meminta Kalingga mengunci pintu itu. Melihat Ashana yang hanya memakai handuk membuat Kalingga menelan salivanya kasar. Wanita itu tampak semakin seksi. “Ada apa, Bu?” tanya Kalingga. Ashana meminta Kalingga menghampirinya. “Tolong buka ini, Kal,” ucap Ashana melebarkan kakinya. Kalingga melihat bandul kecil tersemat di milik Ashana. “Ini apa?” “Tarik pelan-pelan,” pinta Ashana, Kalingga pun menariknya, ada aroma khas ketika dia menariknya. Ashana mendesah saat benda itu keluar. Kalingga melihat wajah Ashana yang sensual, lalu dia kembali merapatkan kakinya, “kamu sudah mandi kan?” tanya Ashana. Kalingga mengangguk. “Kita lakukan hal yang tertunda.” “Hal yang tertunda? Apa?” “Malam pertama kita,” ucap Ashana membuat Kalingga meremang dan mengatupkan mulutnya. Ashana berdiri dan mengecup bibir Kalingga sambil berjinjit. Tangan pria itu sangat kaku, terdiam di tempatnya meskipun dia mulai membalas lumatannya. Ashana melucuti pakaian Kalingga dan melemparkan ke sembarang arah. “Tiduran, Kal,” suruh Ashana, wajah Kalingga memerah, ini kali pertama dia tak mengenakan sehelai benang pun di hadapan seorang wanita. Dia pun berbaring di ranjang dengan kaku. Ashana melepas handuknya dan menjatuhkannya, dia mengikat rambutnya agar tak menghalangi pandangan. Dia kemudian menindih tubuh Kalingga dan kembali menyesap bibirnya, Kalingga bisa merasakan benda kenyal itu menempel di tubuhnya, dia memejamkan mata menikmati lembutnya kecupan Ashana. Ashana mengerakkan tubuhnya dengan sesual, menggoda Kalingga dengan memainkan titik sensitif dalam tubuhnya. Dia kemudian melepas kuluman di bibirnya dan duduk di dekat kaki Kalingga, ditatap milik pria muda itu yang masih berukuran normal. Dia mulai menggoda dengan ciumannya sehingga Kalingga memejamkan mata, larut dengan perlakuannya. “Ahhh, Bu, jangan,” ujar Kalingga seolah menyadari suatu hal yang menurutnya salah. Dia memegang tangan Ashana agar melepaskan miliknya. Ashana melepas kulumannya. “Aku lebih senang kamu panggil Sayang saat kita berhubungan, biarkan kamu selesaikan tugas kamu Sayang,” ucap Ashana dengan penegasan. Dia meminta Kalingga menikmatinya saja. Kalingga meremas seprai dan membiarkan Ashana kembali melumat miliknya. “Euhm, Bu-eh Sayang, sudah, ngilu,” racau Kalingga. Ashana melihat milik Kalingga dengan senyum yang menyeringai, dia berhasil membangkitkan hasratnya. “Melihat ukurannya apakah kamu ada keturunan dari luar Indonesia?” tanya Ashana. “Enggak Bu-Sayang, saya asli jawa,” ucap Kalingga. Ashana tak peduli, dia memijat benda itu dengan wajah dipenuhi hasrat. Dia tak lagi bisa menahan hasratnya, tak mau membohongi diri dan melakukan hal yang sangat ingin dilakukan, ya dia menyatukan tubuh mereka, hingga Kalingga mendongak dan melenguh dengan sengatan hasrat yang tidak biasa. “Bagaimana Sayang? Enak?” tanya Ashana mendiamkan milik suaminya yang bermuara di dalam tubuhnya. “Enak Sayang,” jawab Kalingga terbata. “Aku akan buat lebih enak sampai kamu ketagihan,” tutur Ashana. Kalingga hanya terdiam menatapnya meskipun wajahnya tak mampu berbohong, dia sangat berhasrat. Ashana mulai menggerakkan tubuhnya di atas Kalingga, dia seperti seorang penunggang kuda yang sangat handal. Kalingga terus melenguh dan meracau, Ashana meminta Kalingga menyentuh gunung kembarnya. Kalingga pun melakukan itu. “Duduk, Sayang please,” pinta Ashana lebih, Kalingga pun mengambil posisi duduk dan mendaratkan kecupannya di puncak d**a istrinya itu. Ashana benar-benar menggila, memeluk tubuh Kalingga dan terus menyatukan tubuh mereka berdua. “Sayang, aku mau keluar,” ucap Kalingga, karena ini pertama kali baginya dan dia merasa tak tahan lagi. “Berbaring lagi Sayang,” pinta Ashana. Kalingga menurutinya. Ashana mengulurkan tangannya, menggoda daging kecil miliknya, mengaduknya dengan gerakan yang menggila sementara pinggulnya terus bergerak maju mundur, keduanya saling mendesah dan Ashana merasakan milik Kalingga berkedut, diiringi dengan semburan lahar hangatnya. Ashana mendongak dan otot kewanitaannya mengejang, menyambut pelepasan itu dengan pelepasan yang sama. “Ah, nikmat banget, euhmm, nikmat banget punya kamu Sayang,” racau Ashana, Kalingga bisa merasakan miliknya terjepit di dalam sana. Ashana kemudian menunduk dan mengecup bibir Kalingga, dia menarik tubuhnya dan berbaring di samping Kalingga dengan napas tersengal. Kalingga bisa melihat d**a Ashana yang naik turun. “Panas,” ucap Ashana kemudian, rasa panas di miliknya mengggelayutinya, seharusnya dia tak segila ini untuk kali pertama, namun dengan benda yang hidup, jelas jauh berbeda dengan benda mati yang tidak bisa mengeluarkan cairan hangat itu. “Ehm, diapain biar enggak panas?” tanya Kalingga. “Usap-usap,” jawab Ashana menarik tangan Kalingga agar membelai miliknya di bawah sana. Kalingga menurutinya, dia pun baru pertama kali merasakan nikmat yang tak terkira diliputi kelegaan luar biasa. Pantas saja para bapak-bapak sangat bersemangat jika akan pulang ke rumah dan jelas menggodanya, menyuruhnya segera menikah agar tahu rasa surga dunia. Ternyata memang senikmat ini. “Next kamu yang di atas ya,” ucap Ashana, “nanti saya kasih video untuk kamu pelajari,” imbuhnya sambil memejamkan mata, rasa kantuk merayapinya, “kalau saya sudah tidur kamu boleh pindah ke kamar kamu,” ucapnya lagi sebelum terlelap. *** Intan, ibu dari Kalingga sangat terkejut ketika sepagi ini dia mendapatkan tamu yang datang jauh-jauh dari ibu kota. “M-mas Narto?” tanya Intan. “Kamu masih ingat saya?” kekeh Narto, usia mereka tak jauh berbeda, pria itu sebenarnya baik, hanya saja di depan majikannya dia selalu menuruti keinginan Lula apa pun itu dan bisa terlihat jahat pada Intan, padahal jika tidak ada Lula, Narto adalah orang yang sering membantunya dan menguatkannya. “Bu, kami berangkat ya,” ucap anak-anak Intan yang masih sekolah, empat orang itu menyalami Intan juga menyalami Narto. “Eh tunggu, ini uang jajan untuk kalian,” ucap Narto mengeluarkan dompet. “Jangan, Padeh, kami sudah dapat uang jajan,” ucap Bara, anak yang paling tua di sana. “Enggak apa-apa, ini, satu orang satu lembar ya, beli jajanan yang enak,” ujar Narto, mereka berempat terlihat senang dan mengantungi uang lembaran yang berjumlah besar itu. “Ada apa, Mas?” tanya Intan. “Bu Lula ingin bertemu,” ucap Narto. “Untuk apa lagi? Bukannya dia yang bilang saya jangan pernah memunculkan batang hidung saya,” ujar Intan sambil menunduk sedih. “Kamu tahu Tan, saya hanya menjalankan tugas, ibu menunggu di mobil,” ucap Narto. Intan pun menghela napas panjang, berjalan menuju mobil itu bersama Narto. Lula keluar dari mobil dan bersandar di badan mobil di samping Intan. “Itu anak kamu paling besar, Tan?” tanya Lula tanpa basa basi, merujuk pada empat anak yang berjalan degan riang di jalanan aspal tersebut. “Bukan Bu, anak pertama saya kerja di tambang, usianya sembilan belas tahun,” bohong Intan. “Hmmm benar itu?” “Iya Bu, ibu apa kabar?” tanya Intan. “Tidak perlu basa basi Tan, saya hanya mau memastikan saja, ayo biarkan saya ikut ke rumah kamu,” ucap Lula membuat Intan membelalakkan mata. “Rumah saya hanya rumah gubuk dan berantakan,” ucap Intan menolak. Lula sepertinya tak mau mendengarnya karena dia terus berjalan ke rumah semi permanen itu. Intan mengembuskan napas dan melirik ke arah Narto yang hanya mengangguk. Lula segera melihat ke arah dinding, di mana terdapat foto keluarga. Syukurlah tak ada Kalingga di sana karena foto itu diambil empat tahun lalu ketika Kalingga merantau dan tak pulang saat hari raya. Foto yang ada Kalingganya belum dikirim oleh Kalingga sehingga mereka tak dapat memajangnya di dinding, dan ternyata itulah hikmahnya. “Ini anak kamu paling besar?” tanya Lula menunjuk Agha. “Iya itu Agha, usianya sekarang sembilan belas tahun,” jawab Intan. Narto memutuskan menunggu di depan. “Berarti kamu benar-benar menggugurkan kandungan kamu, anak dari suami saya kan?” tanyanya dengan mata mengintimidasi. “Kan ibu lihat sendiri waktu itu saya meminum obat itu,” ucap Intan. “Baguslah, jadi saya tak perlu mengotori tangan saya untuk membunuhnya sekarang,” tuturnya pelan dan tegas. Tangan Intan gemetar, membunuh dia bilang? “Narto, ayo kita pulang,” ajak Lula, dia kemudian mengeluarkan amplop cokelat berisi tumpukan uang dan menyerahkan pada Intan. Intan memegang amplop itu dengan tangan gemetar, dia masih membeku hingga dia kemudian meraih kesadarannya dan berlari ke mobil mantan majikannya itu. Narto membuka kaca jendela ketika Intan mengetuknya, dilemparkan amplop itu ke kursi penumpang yang kosong di samping Narto. “Saya tidak butuh uang kalian. Silakan pergi!” geram Intan. “Dasar orang miskin sombong!” decih Lula. Intan terjatuh duduk ketika mobil itu pergi, suaminya yang melihat dari kejauhan segera merengkuhnya. “Bu, ada apa? Itu mobil siapa?” tanyanya. “Mantan majikan ibu, Pak,” ucap Intan dengan suara gemetar. “Pak Madisson?” “Bukan, itu istrinya. Dia bilang jika saya melahirkan anak dari suaminya, maka dia akan membunuh anak itu, Pak, ibu takut,” ujar Intan, suaminya memeluknya erat. “Bapak enggak akan biarkan siapa pun menyakiti anak kita, Bu!” ujarnya geram! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN