5 (Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad)

1703 Kata
Sudah seminggu usia pernikahanku dengan Mas Zaidan dan tidak ada kemajuan yang berarti dalam hubungan kami sebagai suami istri. Sikapnya masih saja menganggap seolah-olah aku tak ada dalam rumah ini. Sikap Qia juga sama. Tapi sepertinya Qia sudah tidak sejudes dulu saat pertama kali bertemu, meski masih memanggilku dengan sebutan Tante. Aku harap suatu hari nanti dia akan memanggilku mama. Ah, aku sangat menantikan hari itu.  Aku kira, lebih mudah meluluhkan hati Qia dibanding hati ayahnya. Saat ini, yang membuatku merasa senang di rumah ini hanya Attar, Bi Marni dan Bi Eti. Mas Zaidan dan Qia juga semakin menyukai masakanku yang mereka tahunya itu masakan Bi Marni atau Bi Eti. Tak apa, setidaknya ada jerih payahku di rumah ini yang mereka hargai meski harus diawali dengan kebohongan. Maafkan hamba ya Allah. Pagi ini aku berencana ke butik. Seminggu tidak kesana membuatku rindu dengan suasana butik, adikku dan para pegawaiku yang jumlahnya lima orang. Aku mencoba menjadi istri yang baik dengan meminta izin terlebih dahulu pada suamiku. Saat ini aku sedang mengantar Mas Zaidan dan Qia ke teras rumah. Qia telah lebih dulu masuk ke mobil sedangkan Mas Zaidan masih duduk di kursi teras rumah sambil mengenakan kaos kaki hitam dan sepatu kerjanya. “Mas, nanti aku izin pergi ke butik boleh?” tanyaku ragu. “Silakan saja. Saya kan sudah bilang lakukan apa yang kamu mau. Saya gak akan larang,” ucapnya dengan wajah datar tanpa ekspresi sambil memakai sepatu kerjanya yang sebelah kanan. “Oh iya Mas, aku hanya ingin meminta izin.” “Tidak perlu meminta izin, yang penting kamu tau waktu dengan tugas kamu sebagai mama pengganti untuk Qia dan Attar.” Sungguh aku heran dengan  sikapnya ini. Tadi malam ia bilang aku bebas melakukan apa pun tanpa harus khawatir dengan anak-anak. Tapi sekarang? Aduh, aku benar-benar pusing dibuatnya. Sebenarnya mau kamu apa, Mas? Keluhku dalam hati. “Boleh aku bawa Attar ke butik?” “Silakan aja kalau gak repot. Kalo repot ya jangan. Bisa juga ajak Bi Marni,” sarannya padaku. Mas Zaidan berdiri lalu aku memberi tas kerjanya. “Iya Mas, hati-hati di jalan. Semoga Allah selalu memudahkan dan melancarkan pekerjaan Mas juga melindungi di mana pun Mas berada,” ucapku sambil mencium tangannya sambil tersenyum pada suamiku. Mas Zaidan mengucapkan salam kemudian masuk dalam mobil dan meninggalkan rumah.  Ya Allah, sekedar mengaminkan doaku pun dia enggan. Aku hanya menatap kepergiannya dengan mata berkaca-kaca. Padahal aku tulus mendoakannya. Aku tahu dari Bi Marni kalau Mas Zaidan sering turun langsung ke lapang untuk memeriksa proyeknya. Maka aku berdoa agar Allah selalu melindungi Mas Zaidan suamiku. Sudahlah, aku lebih baik masuk dan bersiap untuk pergi ke butik. === Aku pun memutuskan untuk mengajak Attar dan Bi Marni ke butikku. Setelah selesai menyiapkan semua kebutuhan Attar seperti popok, baju ganti, s**u, bubur bayi, biskuit bayi, tisu basah dan mainan kesukaannya. Aku memasukkannya dalam tas kecil khusus perlengkapan bayi. Kami bertiga pun berangkat ke butik dengan mengendarai mobil. Aku tidak mau mengambil risiko dimarahi lagi oleh Mas Zaidan seperti tadi malam, maka kuputuskan hari ini untuk mengendarai mobil. Lagi pula tidak mungkin aku mengendarai motor jika membawa Attar. Kasihan anakku jika harus terkena polusi dan terik sinar matahari. Sesampainya di butik, kehadiranku menjadi kehebohan tersendiri bagi adikku Almira dan para pegawaiku. Aku pun memeluk mereka melepas rindu dan bercipika-cipiki. “Wah, kangen banget sama Teh Ela,” ucap adikku Mira sambil memelukku erat. “Sama Mir, teteh juga kangen,” ucapku. aku pun langsung memperkenalkan Attar dan Bi Marni pada orang-orang butikku. “Gimana kabar kamu?” “Alhamdulillah baik, teteh gimana?” “Alhamdulillah baik juga, seperti yang kamu lihat sekarang.” Pandangan Mira langsung beralih pada Attar yang ada di gendonganku. “Oh ini yang namanya Attar, ganteng pisan,” ucap Mira gemas sambil mencubit pelan pipi kanan Attar. “Boleh gendong ya, Teh?”  tanyanya meminta izin padaku agar diperbolehkan menggendong Attar. “Iya boleh, hati-hati ya Mir.”ucapku mengingatkan Mira. Aku melepaskan ikatan gendongan Attar dan menyerahkannya pada Mira. Attar pun menjadi mainan baru Mira dan pegawai-pegawaiku. Memang bayi kecil itu bisa dengan mudah membuat siapa saja yang melihatnya langsung jatuh cinta. He’s so adorable! Aku pun mengajak Bi Marni untuk beristirahat di ruanganku, tapi dia tidak mau, ingin menemani Attar saja katanya. Akhirnya aku pun memutuskan ke ruanganku duluan untuk mengecek kinerja butik selama aku tinggal seminggu ini. Setelah mengecek laporan keuangan bulanan, laporan pesanan dan stok bahan untuk produksi aku merasa lega. Semuanya lancar dan berjalan baik. Alhamdulillah aku memiliki adik perempuan yang bisa diandalkan, sehingga aku juga tidak dibebankan dengan urusan butik selain urusan rumah tanggaku. Niatku ke butik memang tidak berlama-lama, hanya sekedar say hai dan mengecek beberapa laporan. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 10.30. aku memutuskan untuk menjemput Qia. Maka aku Attar dan Bi Marni pun pamit dari butik. Mira sangat kecewa karena kami akan pulang. Tapi aku berjanji padanya akan sering-sering main ke butik. “Kok cepet banget sih pulangnya, Teh?” “Iya, soalnya mau jemput Qia ke sekolah. Ini udah jamnya dia pulang.” “Sering-sering main ke sini ya, Teh.” “Iya, gampang. Atau nggak kamu lah yang main ke rumah. Kasihan Attar kalau diajak ke luar rumah terus. Dia masih kecil, daya tahan tubuhnya belum begitu bagus.” “Iya deh, nanti kalau di butik gak sibuk insya Allah aku sempetin main ke rumah teteh.” “Nah gitu dong. Ya sudah, teteh pulang ya. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Aku pun mengendarai mobilku melaju ke sekolah Qia. Sebelum pulang ke rumah, aku memutuskan untuk mengajak Qia dan Attar ke arena bermain anak di sebuah mall. Qia terlihat sangat senang dan antusias. Aku menggendong Attar sambil mengawasi Qia yang ditemani Bi Marni bermain mandi bola dan trampoline. Baru kali ini aku melihatnya tertawa lepas bahkan sambil teriak karena kesenangan. Melihatnya aku pun jadi tersenyum. Aku pun menyuapi Attar dengan makanan yang sudah aku bawa dari rumah sebelumnya. Kami berada di arena bermain selama satu jam. Awalnya Qia ingin lebih lama berada di arena bermain. “Qia, sudah ya mainnya. Ayo kita makan dulu trus kita pulang,” ajakku. “Nggak mau Tante, Qia gak mau pulang, masih mau main!”ucapnya. “Eh, gak boleh gitu udah siang ini. Qia belom makan, Qia gak lapar?” tanyaku. “Nggak Tante, nggak laper!” “Hmmm…kalo Qia nurut sama tante nanti tante ajarin gambar mau nggak?” tawarku. Bocah itu terlihat sedang berpikir, mempertimbangkan tawaranku. “Boleh deh, kalo Tante maksa.” Akhirnya kami berempat menuju sebuah food court di mall itu yang terletak di lantai paling atas. Aku pun memanggil pelayan untuk memesan makan siang kami. Setelah beberapa menit makan siang kami pun telah berada di meja makan. Aku makan sambil memangku Attar di atas pahaku. Meskipun Qia berkata tidak lapar, namun aku lihat dia makan dengan sangat lahap. Setelah selesai dan merasa kenyang, kami pulang ke rumah karena anak-anak sudah terlihat lelah dan mengantuk. === Aku baru saja selesai shalat ashar setelah tadi tidur beberapa menit. Seperti biasa, Qia akan tidur siang di kamarku dan Mas Zaidan. Aku pun membangunkan Qia. Namun setelah beberapa kali aku menggoyang lengannya anak itu belum bangun juga. Aku pun memutuskan menyimpan bingkai foto Mbak Risa terlebih dahulu ke samping nakas, kemudian aku menciumi sambil menggelitiki perutnya dengan gemas. Qia pun tertawa dan menggeliat geli. Kemudian Qia bangun. Tapi dia tidak langsung beranjak dari kasur. Anak itu seperti sedang memikirkan sesuatu. “Kak Qia kenapa? Ada yang sakit? Tante terlalu kenceng ya ngelitikinnya? Perutnya Qia sakit?” tanyaku bertubi-tubi. Aku jadi ketakutan sendiri melihatnya yang sedang termenung. “Hmmmm ... ” “Kenapa, Sayang? Ngomong sama tante mau apa? Ada yang sakit?” “Hmmmm ... ” Aku pun masih dengan sabar menunggunya melanjutkan gumamannya. “Hmmm ... aku mau dimandiin sama Tante kayak Dek Attar, boleh?” tanyanya sambil menunduk. Aku pun sedikit terkejut akan permintaannya. Seketika dadaku sesak penuh rasa haru. Sampai rasanya aku ingin menitikkan air mata. Baru kali ini Qia meminta sesuatu secara langsung padaku. Sambil tersenyum menahan air mata aku pun menjawab, “Ya boleh dong Sayang, ayo kita ke kamar Qia,” ajakku padanya sambil menggenggam tangan mungil Qia. Sebelum menuju ke kamar Qia, aku memeriksa Attar yang masih terlelap dalam boks bayi. Aku pun memandikan Qia dengan perasaan membuncah bahagia. Selesai mandi dan sudah memakai baju. Aku pun menyisir rambutnya. Rambutnya yang hitam, lurus dan lembut khas anak-anak. “Kak Qia mau dikuncir satu, kuncir dua atau dikepang?” tawarku sambil mengusap lembut rambut Qia. “Hmmm ... dikepang dua bisa, Tante? Aku pengen kayak temen-temen aku yang dikepang dua sama mamanya kalo berangkat sekolah,” ucapnya. “Bisa dong ,Sayang,” jawabku. Aku pun terenyuh mendengar perkataan Qia tadi. Mungkin sebenarnya ia merindukan sentuhan seorang ibu selama ini. Hanya anak ini terlalu gengsi mengakui dan menutupi dengan sikap judes dan juteknya. Tanganku dengan lincah mengepang rambut Qia. “Nanti kalau mau berangkat sekolah, bilang ya sama tante kalu Qia mau dikepang atau dikuncir. Oke?” “Oke Tante!” === Kami berempat sedang duduk di meja makan untuk makan malam. Karena mengajak anak-anak ke mall, maka hari ini aku tidak sempat masak seperti biasanya. Jadi untuk urusan memasak hari ini dipegang oleh Bi Eti seluruhnya karena Bi Marni juga kelelahan mendampingi aku dan anak-anak. “Hmmm ... Bi hari ini siapa yang masak?” tanya Mas Zaidan. “Oh itu, anu Pak, hari ini yang masak ... ” “Hari ini aku yang masak, Mas. Gimana enak gak?” ucapku menyela. Bi Marni hanya bisa menatapku dalam. Maafkan aku yang telah berbohong, hanya karena aku ingin melihat reaksi suamiku. “Oh, biasa aja. Lain kali biar Bi Eti atau Bi Marni aja yang masak kayak biasa. Rasanya lebih enak masakan mereka, atau kamu bisa belajar resepnya sama mereka,” ucap Mas Zaidan datar. “Iya Mas, maaf kalo masakannya kurang enak,” ucapku. Memang dari yang kulihat, ia makan tak selahap biasanya jika aku yang memasak. Satu sisi aku bersyukur karena Mas Zaidan lebih menyukai masakanku. Sekali lagi maafkan aku Mas, yang harus berbohong padamu. Setelah selesai menyantap makan malam, Bi Marni pun membersihkan meja makan dan aku menidurkan anak-anak ke kamarnya masing-masing. === “Hari ini ngapain aja sama anak-anak?” tanya Mas Zaidan. Saat ini aku dan Mas Zaidan sudah berada dalam kamar kami. “Oh, hari ini aku ke butik sama Attar dan Bi Marni, terus jemput Qia ke sekolah. Abis itu kita main dulu ke mall sebelum pulang ke rumah,” jelasku sambil memainkan ponsel. “Kenapa gak izin sama saya dulu?” “Loh, kan kata Mas aku gak perlu izin mau ngapain aja, ‘kan?” belaku. “Itu kalo menyangkut diri kamu pribadi, terserah kamu mau ngapain aja. Tapi kalo menyangkut anak-anak, tolong ya, harus atas seizinku dulu,” ucapnya tegas. Aku pun mulai emosi dibuatnya. Sebisa mungkin aku meredam gejolak amarah di hati dengan beristighfar. Sebegitu tidak pedulinyakah kamu dengan aku Mas? Istrimu sendiri. Kenapa setiap perbuatanku dimatanya selalu salah. “Oke, maaf aku salah. Lain kali gak akan aku ulangi,” ucapku. Untuk meredakan kesalku, aku pun bangkit dari tempat tidurku dan keluar dari kamar menuju ruang kerjaku. Aku butuh waktu untuk menyendiri.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN