Hari ini adalah hari Minggu. Biasanya akhir pekan seperti ini dihabiskan dengan acara bersantai dan bermalas-malasan di rumah. Tapi tidak denganku. Semalam, Mas Zaidan memberitahukan bahwa mertua dan kakak iparku akan datang berkunjung ke rumah. Maka aku dan dua bibi segera berbenah, berbelanja dan memasak. Saat ini kami semua berbagi tugas. Aku memasak dan Mas Zaidan mengasuh kedua anaknya. Meskipun hari-hari kerja sangat sibuk, tetapi Mas Zaidan selalu meluangkan waktunya full untuk anak-anak saat weekend. Ia tidak mau kehilangan moment bersama kedua anaknya, peninggalan Mbak Risa yang amat berharga. Benar-benar sosok ayah yang baik. Beruntungnya Mbak Risa bisa dicintai oleh lelaki seperti Mas Zaidan. Hatiku merasa perih jika teringat hal itu. Bisakah suatu hari Mas Zaidan mencintaiku sebagai istrinya?Hari ini rencananya aku akan memasak sayur asem, ayam goreng, empal daging, tempe tahu goreng dan juga sambal terasi sedangkan untuk makanan pencuci mulut, Bi Eti aku minta membuat puding cokelat dengan vla vanilla kesukaan Qia dan Mas Zaidan juga risoles mayonnaise sebagai camilan. Setelah dari pagi berkutat di dapur, aku pun kembali ke kamar untuk berganti baju karena sebentar lagi mertua dan kakak iparku akan datang. Saat menuju kamar, aku melihat Qia dan Attar sedang ada di ruang TV.
“Loh, Ayah mana, Kak?” tanyaku pada Qia.
“Lagi ke atas, Tante,” jawabnya. Alhamdulillah, ia mau menjawab pertanyaanku tidak ketus atau judes lagi seperti dulu. Perlahan ia bisa berinteraksi dengan baik padaku. Salah satu kemajuan, batinku. Aku pun meneruskan langkahku ke kamar atas. Begitu membuka pintu, aku pun kaget karena melihat Mas Zaidan yang hanya memakai handuk menutupi bagian pinggang ke bawah sedang mengambil baju di lemari. Ia pun sama terkejutnya denganku.
“Eh? Ya Allah, maaf, Mas,” ucapku sambil menutup wajah dengan telapak tanganku.
“Lain kali ketuk pintu dulu sebelum masuk,” jawabnya ketus lalu berjalan cepat ke arah kamar mandi.
“Loh, ini kan kamarku juga. Masa masuk kamar sendiri harus ketuk pintu dulu. Bukannya itu aneh? ” tanyaku kesal. Ia tak menggubris perkataanku dan langsung masuk ke kamar mandi memakai baju yang sudah ia pilih sebelumnya. Aku hanya terduduk di pinggir ranjang menunggunya keluar kamar mandi. Tak berapa lama Mas Zaidan ke luar dengan tampilan yang lebih segar. Aku segera masuk kamar mandi sambil membawa baju ganti yang telah aku ambil dari dalam lemari sebelumnya.
Aku pun selesai mandi dan berganti pakaian. Kulihat kamar kosong. Untung Mas Zaidan sudah keluar, aku pun segera membuka jilbabku dan menyisir rambut yang tadi agak sedikit basah. Ketika aku akan memakai jilbab, Mas Zaidan tetiba masuk ke kamar. Aku pun buru-buru memakai jilbabku. Aku lihat ia masih mematung di depan pintu.
“Kenapa, Mas?” tanyaku sambil merapikan jilbab.
Ia pun segera menyadarkan diri dari lamunannya. “Oh nggak, itu ayah sama Teh Rania udah datang. Mereka di bawah,” jawabnya.
“Oh, ya sudah kita langsung ke bawah aja.” Lalu aku bangkit dari kursi meja rias menuju keluar kamar. Sebelum aku membuka kenop pintu, Mas Zaidan menahan lenganku.
“Kenapa lagi, Mas?”
“Bersikaplah seolah-olah rumah tangga kita baik-baik saja. Jangan tunjukkan keadaan sebenarnya pada mereka.”
“Iya Mas, aku juga tahu diri kok sebagai istri. Aibmu adalah aibku juga. Sudah sepantasnya seorang istri yang baik menutupi aib suaminya. Istri adalah pakaian bagi suami, pun begitu sebaliknya,” jelasku. Itulah nasihat yang aku dapatkan dari Teh Annisa sebelum aku menikah. Beliau mengingatkanku tentang pentingnya saling menutupi aib bagi suami istri karena itu akan berperngaruh pada keberlangsungan rumah tangga. Allah dan Rasul-Nya juga sudah memperingatkan umat manusia mengenai hal itu. Pahit rasanya memang. Tapi, hal itu memang benar. Sudah sepantasnya pasangan suami istri itu saling menutupi kekurangan masing-masing. Bukankah kita disatukan dalam ikatan pernikahan untuk melengkapi kekurangan satu sama lain?
“Aib? Aib apa maksudmu?”
“Ya, Mas pikir saja sendiri. Toh, aku rasa mas orang yang pintar dan cerdas bisa memahami apa maksudku tadi.” Aku pun segera keluar kamar dan menuju lantai bawah tanpa menghiraukannya lagi.
Aku pun melangkahkan kakiku menuju ruang bawah dengan Mas Zaidan yang mengikuti dari belakang. Aku pun menyalami ayah mertuaku dan Teh Rania. Oh iya, orang tua Mas Zaidan yang tersisa hanya ayahnya saja. Ibunya sudah meninggal saat Mas Zaidan duduk di bangku SMP. Mas Zaidan hanya mempunyai satu saudara kandung yaitu Teh Rania yang selisih usianya empat tahun diatasnya. Ayah mertuaku datang bersama Teh Rania juga anak lelakinya Raffa yang berusia delapan tahun.
“Apa kabar ayah dan teteh?” ucapku pada mereka yang saat ini duduk di sofa ruang tengah.
“Alhamdulillah baik Ela, kamu apa kabar?” tanya Teh Rania.
“Alhamdulillah baik juga,” jawabku tulus sambil tersenyum.
Kami semua pun mengobrol di ruang tengah. Tak lama adzan dzuhur berkumandang. Ayah, Mas Zaidan dan Raffa pergi ke masjid dekat rumah untuk salat dzuhur, sedangkan aku, Qia dan Teh Rania shalat berjamaah di rumah. Selesai shalat aku pun menata meja makan untuk makan siang. Tak lama Teh Rania menghampiriku.
“Ela, gimana keadaan rumah tangga kamu sama Zaidan?” tanya Teh Rania.
“Alhamdulillah baik, Teh,” jawabku sambil mengelap piring dan sendok.
“Kamu gak lagi bohong, kan?”
“Ngga kok, Teh,” ucapku sambil memasang senyum termanis agar kakak iparku itu tidak curiga.
“Boleh teteh liat kamar kamu sama Zaidan?” tanya Teh Rania.
“Eh? Buat apa Teh?” Senyum manisku langsung luntur mendengar pertanyaannya. Kalau Teh Rania masuk ke kamarku dan Mas Zaidan bisa ketahuan jika adiknya itu masih menyimpan banyak foto dan kenangan bersama mendiang istrinya.
“Hmm ... bukan teteh mau ganggu privasi kalian. Tapi, apa Zaidan masih nyimpen foto Risa?”
Aku pun hanya diam membisu, tidak menjawab pertanyaan kakak iparku itu.
“Kalo kamu diem, berarti iya kan? Ck…anak itu kapan mau move on nya.”ucap Teh Rania sambil menarik kursi makan lalu duduk.
“Aku ngerti kok, Teh. Butuh waktu pasti buat Mas Zaidan, apalagi Mas Zaidan cinta banget sama Mbak Risa. Pasti gak gampang buat ngelupain atau ngilangin kenangan mereka berdua.”
“Ya tapi kan sekarang dia udah nikah sama kamu, La. Harusnya dia jaga perasaan kamu lah. Risa kan masa lalu, sedangkan kamu masa depannya.”
“Udah Teh, gak apa-apa kok. Aku yakin suatu hari nanti aku juga punya tempat di hati Mas Zaidan.”ucapku menyemangati diri sendiri.
“Maafin adek teteh ya, Ela. Teteh harap kesabaran kamu gak ada habisnya buat ngadepin Zaidan. Kalau dia api, maka kamu harus jadi air. Jangan sama-sama keras, batu tidak akan menang melawan batu, begitupun api tidak akan menang melawan api. Harus ada satu pihak yang mengalah demi kebaikan bersama dan keutuhan rumah tangga kalian. Kalau kamu ada masalah, curhat aja ke teteh ya. Jangan malu atau sungkan, kita udah jadi keluarga,”ucap Teh Rania sambil merangkul pundakku dan tersenyum.
Aku pun hanya bisa mengangguk sambil tersenyum menanggapi nasihat dari Teh Rania. Alhamdulillah , Allah memberiku kakak ipar yang baik dan pengertian. Obrolan kami berdua terhenti karena para lelaki sudah pulang dari masjid. Kami pun langsung menempati kursi makan dan menyantap hidangan makan siang yang telah aku siapkan. Syukurlah keluarga Mas Zaidan menyukai hidangan yang telah aku masak, meskipun Mas Zaidan tahunya yang memasak adalah Bi Eti dan aku hanya sedikit membantu, tapi bukan masalah buatku.
===
Tidak seperti biasanya, entah kenapa malam ini mataku sulit untuk terpejam. Qia sudah tidur dikamarnya, Attar pun sudah terlelap di box bayinya. Aku pun memutuskan untuk mengambil buku sketsa dan pensil gambar untuk menggambar beberapa model baju berharap bisa menimbulkan rasa kantuk. Aku pun menggoreskan pensil dengan lihai di buku sketsa. Tak terasa, aku sudah mendapatkan tiga gambar baju untuk butikku. Ketika aku akan membereskan buku dan pensil, Mas Zaidan masuk ke kamar lalu duduk di pinggir ranjang sambil menatapku. Aku tak tahu sebelumnya kemana dia pergi.
“Tadi kamu cerita apa aja sama Teh Rania?”
“Ngga kok, aku ga cerita apa-apa.”
“Jangan bohong!” ucapnya tegas.
“Loh, bener, Mas. Aku gak bohong, buat apa aku bohong sama kamu.”
“Terus kenapa Teh Rania tahu kalo aku belum bisa move on dari Risa?”
“Loh kenapa tanya sama aku? Kenapa gak tanya sama Teh Rania dia tahu darimana?” Aku bertanya balik.
“Jangan ngebantah ya, La! Saya paling gak suka istri yang suka ngelawan.”
“Istri? Apa selama ini kamu udah anggap aku istri kamu? Bukannya aku hanya ibu pengganti untuk anak-anak kamu?”
Mas Zaidan pun hanya terdiam menanggapi perkataanku. Aku pun tak tahu lagi harus berkata apa, akhirnya kami terkurung dalam keheningan di kamar itu. Rasanya aku ingin menjerit, teriak, menumpahkan segala isi hati dan kekesalanku. Tapi, lagi-lagi aku hanya bisa beristighfar di dalam hati. Aku pun memberanikan diri membuka percakapan kembali.
“Mas, kita sudah menikah. Bisa kah kamu anggap aku sebagai istrimu?”
“Gak bisa, La. Di hati aku cuma ada Risa. Cinta dan hati aku cuma milik Risa dan udah dibawa mati olehnya. Hati aku gak akan bisa mencintai perempuan lain lagi.”
“Termasuk aku?” tanyaku sambil menatapnya dengan tatapan sendu.
“Ya, termasuk kamu. Dari awal saat kamu setuju menikah dengaku sudah kubilang kan hal itu, dan kamu tetap bersikukuh menikah denganku. Maka ini risiko yang harus kamu terima.”
Aku pun menghapus air mata yang mulai menitik di sudut mataku. Ya, Mas Zaidan benar, menikah dengannya adalah pilihanku, sudah sepantasnya aku menerima semua risiko yang terjadi dalam pernikahan kami, termasuk penolakannya padaku. Tapi, aku takkan berputus asa. Allah Maha Membolakbalikan hati hamba-Nya. Aku berdoa suatu saat Allah akan menganugerahkan rasa cintamu untukku, Mas. Semoga Allah bersedia memanjangkan umurku hingga saat itu tiba.
“Oke Mas, aku terima keputusanmu. Tapi, jika Mas belum bisa menerimaku sebagai istri, bolehkah menganggapku sebagai teman?” ucapku sambil tersenyum getir.
Kulihat dia berpikir sejenak, kemudian dia berkata “Baiklah, bukankah dari jaman kuliah dulu kita adalah teman?”
“Ah ya benar, dari dulu kita memang sudah jadi teman.”ucapku.
“Oh iya Ela, untuk kejadian delapan tahun yang lalu, aku benar-benar minta maaf La.”
“Ah sudahlah itu hanya masa lalu yang tidak perlu diungkit lagi. Aku udah ngantuk. Selamat tidur Mas,” ucapku lalu berbaring sambil menarik selimut hingga menutupi bahuku.
Kenapa kamu harus mengungkit kejadian delapan tahun lalu, Mas? Aku sudah melupakannya. Melupakan sakit hati dan penderitaan yang teramat pedih saat itu, hingga tak ingin hidup lagi rasanya.