1 (Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad)
"Bagaimana Ela? Sudah punya keputusan setelah beristikharah?" tanya Teh Annisa kepadaku.
Aku masih terdiam, hingga akhirnya kemudian aku menganggukan kepala. Aku sedang bersama Teh Annisa di ruang tamu rumahnya. Hari ini aku memberikan jawaban tentang perjodohan yang akan dilakukan oleh Teh Annisa dan Pak Raihan, ayah Zaidan. Zaidan adalah lelaki yang akan dijodohkan denganku. Entah bagaimana Teh Annisa bisa mengenal ayah Zaidan. Lalu keduanya sepakat menjodohkan aku yang single dan Zaidan yang duda dengan dua anak yang masih kecil.
Aku sangat terkejut begitu tahu Zaidan orangnya, apalagi dengan statusnya yang duda dengan dua anak. Awalnya aku menolak dengan tegas perjodohan ini karena hanya akan membuka luka lama yang telah mengering. Jujur saja, Zaidan adalah lelaki dari masa laluku yang cukup kelam. Namun, mereka memintaku untuk mempertimbangkan kembali. Aku tetap menolak, karena om dan tanteku pasti tak akan merestui. Ya Allah, kenapa dari sekian banyak lelaki yang ada di bumi harus Zaidan yang Engkau takdirkan untuk menikah denganku? Akhirnya, karena permintaan khusus dari Pak Raihan dan juga petunjuk dari Allah, aku menerima perjodohan dengan Zaidan.
***
Setelah satu bulan aku beristikharah kepada Allah, akhirnya hari ini aku resmi menjadi Ny. Zaidan. Baru saja beberapa jam yang lalu, Zaidan mengucap ijab qabul di rumahku dan adikku yang sederhana ini. Aku hanya bisa berdoa dalam hati, “ya Allah berkahilah rumah tanggaku dan Zaidan nanti, aamiin.”
Aku tidak bersembunyi di ruang rias pengantin atau kamar pengantin seperti pada umumnya. Aku berada di tempat ijab qabul didampingi oleh adik perempuanku Almira dan tanteku. Aku juga belum duduk berdampingan dengan Zaidan. Setelah Zaidan selesai mengucapkan ijab barulah aku berjalan untuk duduk di sampingnya. Aku dan Zaidan menandatangani beberapa berkas pernikahan. Kami bergantian menyematkan cincin di jari manis. Setelah itu aku mencium tangan suamiku dengan tangan gemetar dan gugup. Kemudian ia mencium keningku. Entah, aku merasa ada rasa keterpaksaan saat dia melakukan itu. Mungkin hanya sebatas formalitas, pikirku. Agar keluarga dan tamu yang hadir ikut senang dan berbahagia. Omku yang menjadi wali nikah menatapku dengan haru dan bahagia. Beliau mungkin senang karena akhirnya di usiaku yang ke-32 tahun ini aku bisa menikah dan membina rumah tangga.
Aku dan adikku memang sudah yatim piatu. Hanya Om Rudi dan Tante Hani yang menjadi wali kami saat ini. Orang tuaku meninggal karena kecelakaan lalu lintas delapan tahun yang lalu. Delapan tahun yang lalu juga aku mengalami patah hati disebabkan orang yang menjadi suamiku juga saat ini. Sungguh tahun yang berat untuk aku lalui. Hingga kemudian aku dan adikku memutuskan pindah keluar kota untuk menata hati dan hidupku yang hancur kembali.
Acara pernikahanku memang terbilang sederhana. Tidak ada resepsi mewah dan megah seperti pada umumnya. Setelah ijab qabul dan foto-foto bersama keluarga, kerabat dan sahabat dekat, kami menikmati hidangan prasmanan dan kue-kue kecil serta minuman karena aku sendiri tidak suka bermewah-mewah. Apalagi aku menikahi seorang duda dengan dua anak. Aku pikir, aku harus menjaga perasaan anak-anak Zaidan meski keduanya tak hadir saat ini. Kedua anak Mas Zaidan ada di rumah mereka bersama pengasuhnya. Anak pertama Zaidan perempuan berusia hampir tujuh tahun, namanya Qiana Alisha sedangkan yang satu lagi adalah bayi laki-laki yang berusia enam bulan, namanya Attar Ismail. Aku berdoa semoga si sulung bisa menerimaku dengan baik. Oh aku salah, bukan hanya si sulung, tetapi bapaknya si sulung juga bisa menerimaku dengan baik.
Setelah acara usai, Zaidan segera membawaku pulang ke rumahnya. Pak Raihan yang telah menjadi ayah mertuaku telah pulang terlebih dahulu bersama Teh Rania, suami dan anaknya. Aku belum berani menyebut rumah kami sebelum aku tahu sikap mereka terhadap diriku. Sebelum pergi, aku pamit pada om, tante juga adikku.
“Ela pamit ya, Tante. Makasih banyak sudah jagain Ela dan Mira sampai sekarang,” ucapku sambil memeluk tanteku dengan sayang.
“Iya, Ela. Itu sudah kewajiban om dan tante buat jagain kamu dan adik kamu. Kalian tanggung jawab kami juga. Sekarang kamu sudah jadi istri sekaligus ibu buat anak-anak Zaidan. Jadilah istri dan ibu yang shalihah ya, Nak. Jaga keutuhan rumah tangga kalian. Ingat, ada Allah sebagai pihak ketiga diantara kalian berdua,” ucap Tante Hani sambil membalas pelukanku. Kulihat beliau juga menitikkan air mata. Aku hanya bisa menganggukan kepala mendengar nasihat beliau.
Kemudian aku beralih memeluk adikku yang usianya lebih muda lima tahun dariku.
“Kamu jaga diri baik-baik ya, Dek. Jaga butik sebelum teteh bisa kesana. Nanti teteh pasti bantuin butik kita lagi,” ucapku pada Almira.
Aku dan adikku memang membuka sebuah butik khusus busana muslim dewasa dan anak-anak di Kota Bandung ini. Alhamdulillah, hasilnya cukup untuk membeli rumah sederhana dan mobil untuk kami berdua.
“Iya, Teh. Jangan khawatir. Teteh nikmatin aja dulu bulan madunya sama Mas Zaidan. Urusan butik gak usah dipikirin. Tenang, ada Mira,” jawab adikku sambil tersenyum jahil. Aku pun tersenyum mendengar jawabannya. Adikku itu memang selalu bisa diandalkan.
Terakhir, aku berpamitan memeluk Om Rudi.
“Aku pamit ya Om. Makasih atas jasa Om selama ini,” ucapku haru.
“Iya Ela, om dan tante akan selalu ada buat kamu. Kamu bukan tanggung jawab kami lagi setelah ijab qabul tadi. Surga dan nerakamu ada di tangan Zaidan sekarang. Jadilah istri dan ibu yang baik untuk suami dan anak-anakmu, Nak. Om tahu tidak akan mudah, tapi percayalah ada Allah,” ucap Om Rudi. Rasanya aku juga ingin menangis mendengar nasihat Om Rudi. Aku hanya bisa menganggukan kepala dan tersenyum getir sambil menatap omku itu.
"Entah kenapa om masih berat dan ragu melepas kamu dan Zaidan. Semoga keputusan om untuk menikahkan kalian benar, ya? Om takut Zaidan menyakitimu lagi, Ela. Janji sama om kamu harus bahagia, ya?" Om Rudi berucap setengah berbisik padaku.
Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Doakan kami saja, Om. Doakan agar pernikahan Ela diberkahi Allah, entah sekuat apa pun badai yang menerpa nanti."
"Selalu, Nak. Doa om akan selalu menyertaimu. Jika ada masalah apa pun, ceritalah sama kami, ya?"
Aku menganggukan kepala lagi lalu beranjak menjauh.
Kemudian Zaidan pun berpamitan kepada keluargaku.
“Om, Tante, Mira kami pamit dulu ya. Terima kasih sudah membantu acara pernikahan tadi,” ucap Zaidan sambil menyalami mereka satu per satu.
“Titip Elana ya Zaidan. Om sudah merestui kalian berdua, jangan kecewakan om dan tante yang telah merestui kalian. Tolong jaga Elana. Dia sudah Om anggap seperti anak Om sendiri. Menyakitinya sama dengan menyakiti hati kami. Om harap kamu bisa jadi suami yang baik yang membimbing dia ke surga,” ucap Om Rudi pada Zaidan.
“Iya Om, insya Allah. Doakan kami ya,” jawab Zaidan.
"Kalau kamu menyakiti Elana sekali lagi, jangan harap Om bisa memaafkan kamu dengan mudah. Kalau Om tahu kamu menyakiti Elana, om akan bawa Elana pergi jauh dari hidup kamu! Camkan itu baik-baik!" ancam Om Rudi. Mesi Om Rudi mengucapkannya di dekat telinga Zaidan, aku masih bisa menangkapnya dengan jelas. Biarlah, itu menjadi urusan mereka antar sesama lelaki.
Aku dan Zaidan pun langsung masuk ke dalam mobil menuju rumahnya. Aku melambaikan tanganku pada mereka bertiga sebelum mobil melaju ke jalan. Sepanjang jalan hanya diiringi dengan keheningan dan suara bising kendaraan diluar mobil. Aku belum berani membuka suara, begitu pun dengan suamiku. Ia terlihat enggan memulai percakapan. Akhirnya kami pun tiba di rumah Zaidan dengan selamat. Namun sebelum aku akan membuka pintu mobil, Zaidan menahan lenganku. Aku pun menoleh ke arahnya.
“Kenapa?” tanyaku sambil menatapnya.
“Jangan lupa kesepakatan kita sebelum ini, Ela,” ujar Zaidan memperingatiku.
“Tanpa kamu ingatkan aku masih ingat kok. Oh ya, apa boleh aku memanggilmu dengan panggilan Mas?” izinku padanya. Meski usia kami seumuran, aku rasa aku harus mempunyai panggilan khusus padanya. Tidak mungkin aku hanya memanggil nama pada lelaki yang sudah berstatus sebagai suamiku, ‘kan?
“Terserah kamu,” jawabnya ketus.
“Baiklah,” jawabku sambil tersenyum tipis dan segera keluar mobil. Seketika ingatanku kembali pada beberapa bulan sebelum kami memutuskan untuk menikah.
Flashback on
Hari ini aku dan lelaki yang akan menikah denganku bertemu di sebuah kafe. Aku sedang menunggunya di sebuah kafe di Kota Bandung sambil meminum es teh lemon dan menyantap kue tiramisu. Lelaki yang kutunggu ini sudah tidak asing bagiku. Dia adalah lelaki dari masa laluku yang pernah juga membuatku patah hati dan hancur. Namanya Zaidan Syafiq.
Tahun ini usiaku akan menginjak 32 tahun, tetapi belum ada tanda-tanda jodoh yang mendekat. Hal itu membuat Teh Annisa resah dan khawatir. Akhirnya ia berinisiatif menjodohkanku dengan seseorang. Betapa terkejutnya aku ketika lelaki itu adalah Zaidan. Apalagi yang statusnya sudah menjadi duda dengan dua anak.
Aku dan Zaidan memutuskan bertemu tanpa sepengetahuan Teh Annisa dan Pak Raihan.
“Maaf saya telat, tadi jalanan agak macet,” ucap Zaidan membuyarkan lamunanku.
“Oh iya, tidak masalah. Santai aja, saya juga belum terlalu lama menunggu,” jawabku sambil tersenyum tipis.
“Saya langsung to the point saja ya. Kamu mau menerima perjodohan ini, La?” tanya Zaidan.
Lelaki ini begitu to the point. Tidak ada basa basi kabar dulu atau apa pun, meningat sudah delapan tahun yang lalu kita terakhir kali bertemu.
Aku hanya menganggukkan kepala mengiyakan pertanyaannya. Sebenarnya, ini juga keputusan yang berat untukku. Tapi, setelah beristikharah dan berdiskusi dengan Teh Annisa juga Tante Hani, aku akhirnya setuju untuk menikah dengan Zaidan.
"Bismillah, saya terima perjodohan ini."
"Kenapa?"
"Demi ayah kamu, Zaidan. Sebenarnya saya juga awalnya menolak, karena kadang saya masih terbayang perlakuanmu dulu meski saya sudah bisa memaafkan. Tapi, Pak Raihan gigih meminta saya untuk mempertimbangkan. Apalagi saat di rumah sakit beberapa waktu lalu. Saya tak tega menolak keinginan beliau. Maka, setelah saya berpikir panjang dan beristikharah, saya putuskan untuk menerima perjodohan ini."
“Baiklah, saya juga menerima perjodohan ini demi ayah. Saya ingin menebus kesalahan saya pada ayah. Tapi yang harus kamu tahu, saya masih cinta pada almarhummah istri saya,” ucap Zaidan
Hatiku terasa perih mendengar perkataannya. Berdasarkan info yang kudapat dari Teh Annisa dan Pak Raihan, istrinya Mas Zaidan meninggal ketika melahirkan anaknya yang kedua. Pendarahan hebat sehingga tidak bisa diselamatkan.
“Ya, saya tahu. Tidak akan mudah menghapus perasaan pada orang yang benar-benar kita cintai. apalagi sudah hidup bersama selama bertahun-tahun.”
“Jujur, saya takut tidak bisa menjadi suami yang baik untuk kamu, La,” ujar Zaidan.
“Kita belum tahu apa yang akan terjadi di masa datang. Memang sekarang kamu belum cinta sama saya, tapi siapa tahu kedepannya. Allah Maha Membolak-balikkan hati hamba-Nya.”
“Tapi hati dan cinta saya sampai mati akan selalu untuk mendiang ibunya anak-anak. Tak akan terganti,” ucapnya dengan yakin dan penuh percaya diri.
Betapa beruntungnya almarhummah istri Mas Zaidan mendapatkan suami seperti ini, pikirku. Sanggupkah aku bersaing memperebutkan cinta di hati Mas Zaidan dengannya?
“Saya udah memikirkan semua risikonya.”
“Oke, kalau begitu. Saya mohon, jangan memaksa anak-anak jika mereka belum bisa menerimamu, terutama si sulung Qiana. Kita berdua tidak lebih hanya teman yang tinggal seatap karena saya belum bisa menjalankan kewajibanku sepenuhnya sebagai suamimu,” ucapnya lantang.
“Oke, saya akan berusaha,” ucapku sambil tersenyum lebar. Ya Allah bantulah hamba-Mu ini, gumamku dalam hati.
Flashback off
Kulangkahkan kaki masuk ke rumah besar tersebut. Rumah dua lantai itu cukup besar dengan garasi cukup untuk dua mobil dan halaman depan yang luas. Begitu masuk, anak perempuan yang kutebak Qiana dan pengasuhnya langsung menyambut kami.
“Ayah!” teriak Qiana sambil memeluk Mas Zaidan.
“Anak ayah lagi apa?” tanya Mas Zaidan sambil memeluk Qiana dan mencium kedua pipinya.
“Abis makan, Yah. Aku disuapin sama Bibi,” jawabnya.
Aku hanya bisa tersenyum menatap interaksi ayah dan anak itu. Kemudian pandangan mata Qiana beralih ke arahku. “Tante itu siapa, Yah?” tanyanya sambil menatap ke arahku.
“Tante itu namanya Tante Ela. Sekarang dia akan tinggal disini dan jadi mama buat Qia dan Attar,” jelas Mas Zaidan.
“Mama Qia dan adek? Nggak! Qia gak mau tante ini jadi mama Qia. Qia mau Mama Risa aja Yah, gak mau ganti,” rengek Qia.
Hatiku pun perih mendengar kata-katanya. Sebisa mungkin aku mencoba pendekatan kepada anakku ini. Mudah-mudahan sifat keibuanku bisa meluluhkan hatinya.
“Assalamu’alaykum Qia cantik. Yuk sini sama mama.”
“Tante bukan mama aku. Aku gak mau panggil Tante ‘Mama’,” ucapnya jutek.
Aku harus sabar menghadapi anak ini. “Iya gak apa-apa, panggil Tante Ela aja ya. Qia sama Tante sini, kasihan ayahnya capek. Yuk kita bobo, nanti Tante bacain cerita seru deh,” bujukku. “Nggak mau! Qia mau sama ayah aja,” jawabnya.
Aku pun melirik mata Mas Zaidan, menangkap isyarat bahwa aku harus sabar dan tidak boleh memaksa. “Oke. Yuk sama ayah bobonya,” ajak Mas Zaidan. Mas Zaidan menggendong Qia dan menaiki tangga menuju kamar di lantai dua, meninggalkanku sendiri di ruang tengah rumah ini.
“Maaf ya Bu, Non Qia emang begitu. Sulit dekat dengan orang baru, sama saya juga dulu begitu,” ucap Bi Marni pengasuh Qia. “Iya gak apa-apa, Bi. Namanya juga anak kecil,” ucapku sambil tersenyum. Aku pun memutuskan merapikan koper dan barang-barang ku di kamar Mas Zaidan. Meskipun kami sepakat hanya berteman dalam satu atap, tapi kami tetap sekamar seperti suami istri lainnya. Agar jika ada keluarga yang berkunjung dan menginap tidak curiga pada keadaan rumah tangga kami. Ya Allah bantulah hamba meluluhkan hati suami dan anak-anak hamba. Aamiin.