Kutatap pantulan gambar diri di cermin besar yang terpatri di pintu lemari pakaianku, perut langsingku telah berubah menjadi perut yang agak membuncit seiring tumbuh besarnya bayi yang ada di dalam. Bayiku, belahan jiwaku, aku yakin dia akan tumbuh menjadi seorang anak yang kuat.
Menurut perhitungan hari ini sudah memasuki bulan ke lima kehamilanku, dua bulan mendatang harus di adakan upacara adat guna memperingati tujuh bulan kandunganku, acara yang biasanya digelar ketika seorang wanita mengandung untuk pertama kalinya.
Mitoni, masih harus dilakukan bila mengandung anak pertama, adat, budaya dan tradisi yang masih kental di sini mengharuskan aku menggelar acara tersebut.
Sebenarnya itu adalah tanggung jawab suami dan mertuaku tapi keadaanku sekarang memaksa aku dan Ibu menanggung semuanya sendiri.
Biaya yang dibutuhkan tentu tidak sedikit ditambah lagi aku harus menabung untuk biaya persalinan nanti, mau tidak mau aku harus bekerja lebih keras lagi.
Di samping bekerja di toserba milik Mita aku juga menggunakan gawaiku untuk berjualan online, lumayan walaupun laba yang kudapatkan tidak besar tapi bisa untuk menambah tabunganku untuk biaya persalinan nanti.
"Aku berangkat ya, Bu," pamitku seraya mencium punggung tangan Ibu, ibu tersenyum seraya mengelus kepalaku.b
"Assalammualaikum ..."
"Waalaikum salam, hati-hati bawa motornya nduk."
Ibu melepasku dengan untaian doa yang aku yakini tidak pernah terputus.
Aku melajukan sepeda motor matic yang dipinjamkan Mita padaku, dia bilang agar aku lebih mudah pulang dan pergi bekerja.
Awalnya aku menolak, merasa sungkan karena mereka sudah terlalu baik padaku tapi dia dan suaminya terus memaksa.
Entah sudah keberapa kalinya aku memarkirkan sepeda motorku di parkiran bengkel ini, mungkin setiap minggu aku mampir ke sini.
Menemui Pak Mardi, berharap dia akan memberiku kabar baik, tetapi nyatanya harapanku selalu berakhir mengecewakan.
Hanya Pak Mardi lah yang bisa kutemui sementara sang pemilik bengkel tetap belum ada kabarnya, sudah setengah tahun dia menghilang.
Aku hanya berharap dia baik-baik saja.
"Bapak juga ngarep-arep (menanti) Mas Arman pulang Mbak." Pak Mardi sudah hafal betul maksud kedatanganku kemari.
"Dia sama sekali belum ngasih kabar ya Pak?" Tanyaku yang sebenarnya sudah aku hapal jawabannya.
"Laporan keuangan bengkel dan lain-lainnya harus Bapak berikan pada siapa?"
Pak Mardi pun sama bingungnya seperti diriku, beliau juga mencemaskan Arman yang sudah beliau anggap seperti anak sendiri.
"Ya sudah, Bapak simpan saja semua baik-baik, Bapak jalankan saja semua seperti biasa," jawabku meski aku sedang membutuhkan uang sekarang tetapi aku tahu kalau aku tidak bisa meminjam uang Arman atau siapa pun tanpa ijin pemiliknya, dan lagi pula yang lebih aku butuhkan sekarang adalah kedatangan Arman.
"Baik Mbak saya akan menjalankan semua amanah ini sebaik-baiknya." Aku yakin kalau pak Mardi ini adalah orang yang bisa dipercaya, aku yakin Arman tidak mungkin sembarangan mempercayai orang.
"Semoga Arman cepat pulang ya Pak." Hanya sebuah harap yang bisa kuuntai sekarang.
"Aamiin ...." Seperti biasa, Pak Mardi selalu mengaminkan doaku.
"Ya sudah, saya permisi dulu," pamitku karena aku harus segera berangkat bekerja.
"Iya Mbak, hati-hati di jalan." Aku hanya menganggukkan kepala menjawab pesan Pak Mardi.
Pembicaraan yang kurang lebih sama setiap kali aku berkunjung, berharap kecemasanku akan keberadaan Arman bisa hilang.
* Dita Andriyani *
"Assalammualaikum ..."
Salamku begitu memasuki toserba yang sudah buka, rupanya aku terlambat.
Beruntung belum ada pengunjung.
"Waalaikum salam ..."
Jawab ketiga rekan kerjaku serempak.
Tumben Mita dan anaknya tidak terlihat biasanya bocah berusia empat tahun itu sudah berlarian di lorong rak besi berisikan barang dagangan dengan sang Ibu mengejar membawa sepiring nasi untuk sarapannya.
"Mita mana Mbak? Kok nggak keliatan?"
Tanyaku pada mbak Sri teman kerjaku yang sedang sibuk menata deretan sampo anak-anak di etalase.
"Tadi sih ke sini cuma buat pamit, Bu Mita dan keluarganya mau ke rumah kakaknya besok baru pulang."
Kakak perempuan Mita memang menikah dan menetap di luar kota di tempat asal suaminya, aku dengar dia baru saja melahirkan jadi wajar kalau Mita sekeluarga mengunjunginya.
Kalau Arya, dia memang biasa datang siang.
.
Aku sudah selesai melaksanakan shalat dhuhur di mushola kecil yang biasa di gunakan Mita dan para pegawai lainnya di lantai dua ruko ini.
Perut sudah mulai keroncongan menagih jatah makan siangnya, sejak awal hamil aku memang tidak terlalu merasakan ngidam.
Mungkin bayi dalam kandunganku tau kalau dia tidak boleh manja.
Aku duduk lesehan di karpet tempat biasa kami beristirahat saat akan menyantap bekal makan siangku saat Mbak Sri memanggilku.
"Del, kamu dipanggil Mas Arya disuruh bantuin dia cek stock barang di gudang belakang."
"Iya, tolong bilangin aku makan dulu,"
Mbak Sri tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya tanda setuju.
Dengan cepat aku menghabiskan makan siangku dan menyusul Arya di gudang belakang.
Bangunannya memang terpisah dengan bangunan toko ini jaraknya sekitar lima puluh meter, biasanya Mita juga memintaku membantunya jika mau mengecek stock barang.
Karena sekarang Mita sedang pergi jadi wajar kalau Arya yang melakukannya, tanpa memikirkan apapun aku segera masuk ke gudang, tapi tidak nampak sosok Arya di sana.
Ah mungkin dia sedang ada di sisi belakang, sampai tiba-tiba ku dengar pintu berderit, lalu klek ... kleekk ... Terkunci.
"Arya! Kenapa kamu kunci pintunya?"
Aku terkejut melihat Arya bersandar di pintu yang tertutup rapat sambil memutar-mutarkan kunci di jari telunjuknya.
"Kenapa? Ya di kunci dong takut ada yang masuk terus gangguin kita berdua."
Arya mengerlingkan matanya, memasukkan anak kunci ke saku celananya sambil mendekatiku.
Aku memundurkan langkahku menjauh darinya.
"Jangan macem-macem kamu Arya!" Aku memperingatkan dia yang sepertinya memang sudah merencanakan semua ini dan berniat berbuat jahat padamu
"Aku nggak mau macem-macem cuma mau senang-senang."
Arya terus mendekatkan tubuhnya sambil membuka kancing kemejanya.
"Jangan Arya, lebih baik kamu cari wanita lain, aku wanita baik-baik," ucapku memperingatkannya lagi.
"Baik-baik kamu bilang? Mana ada perempuan baik-baik yang punya suami tapi hamil sama lelaki lain hah?"
Pekikan Arya bukan hanya menyakiti telingaku tapi juga hatiku.
"Tidak, semua itu tidak benar!"
Aku terus berusaha menghindar, tetapi sangat sulit karena tempat ini di penuhi box-box karton besar berisi barang-barang.
"Ayo sayang, aku sudah lama menginginkan kamu, jangan sok jual mahal lah."
Memuakkan melihat wajah Arya yang sudah di penuhi nafsu terus berusaha menangkapku yang terus menghindar, bahkan kini aku sudah tidak bisa menahan tangisku.
"Jangan Arya, aku mohon." Arya bagai tak mendengarku "tolong ... tolong ..."
Aku berusaha meminta tolong pada siapa pun yang ada di luar, semoga ada yang mendengarku.
"Berteriaklah semaumu! Tidak akan ada yang mendengar, kalaupun ada yang dengar mereka nggak akan berani nolong kamu! Mereka nggak akan berani ngelawan aku!"
Oh Tuhan janganlah Engkau menghukumku dengan cara seperti ini, aku mohon tolonglah aku.
Arya semakin beringas memburuku, seakan dia malah tertantang melihatku terus menghindar, semakin mendengarku mengiba dia malah semakin gila.
Kini dia menanggalkan kemejanya di lantai dan berusaha membuka ikat pinggangnya.
Aku berteriak histeris sambil menggedor-gedor pintu tapi tidak ada yang mendengarku.
"Ayo sayang aku sudah siap, berhenti saja main kucing-kucingannya."
Arya mendekatiku dengan ikat pinggang yang sudah berhasil dilepaskannya.
Sepertinya kesialan sedang betah berada di hidupku, di saat seperti ini perutku malah terasa kram. Mungkin terlalu lelah ku bawa berlari ke sana-ke mari sejak tadi, rasanya sakit sekali hingga menggerakkan kaki pun susah.
"Arya aku mohon jangan, perutku sakit sekali." Lirih aku berusaha mendapatkan belas kasihan darinya.
"Kenapa sayang kamu sakit? Sini aku obati!"
Bukannya tersadar Arya malah senang karena sekarang aku tidak bisa menghindar.
Dia memegang pipi kanan dan kiriku lalu menciumi bibirku.
Aku mendorongnya sekuat tenaga.
Plllaakkkkkk ... Sebuah tamparan keras kuberikan padanya lalu sekuat tenaga aku menghujani nya dengan pukulan dengan kedua tanganku.
Merasakan dirinya tersakiti kini matanya nyalang menatap kedua mataku rahangnya mengeras tanpa berkata lalu kembali melumat bibirku hingga aku kesulitan bernafas tangannya dengan beringas merobek pakaian bagian depanku.
Pertahananku hampir runtuh, hanya air mata yang mengalir di kedua mataku, saat dapat ku gapai kardus besar di sampingku, tanganku terus berusaha menggapainya hingga akhirnya.
Ppyyyaaaarrrrr ... sebuah botol sirup mendarat di kepala lelaki yang masih menindih tubuhku.
Dia mengerang kesakitan dan bangkit sambil memegang kepalanya yang mengalirkan darah segar.
Aku segera menarik tubuhku menjauh sambil memegang botol yang hanya tersisa separuh menyisakan potongan berbentuk runcing.
"Beraninya kamu ngelakuin ini sama aku!"
Arya mengepalkan tangannya mendekatiku kembali.
Aku menutup mataku rapat-rapat mengumpulkan semua kekuatan di tangan saat Arya berusaha memelukku kembali.
Dan akhirnya Arya terjatuh di kakiku begitu benda tajam yang tadi kugenggam menancap di perutnya.
Kini dia tersungkur dengan darah menggenang di bagian perut, diam tak bergerak.
Aku menghembuskan nafas lalu tubuhku terperosot lunglai bersandar di dinding, antara lega karena terbebas dari nafsu biadab Arya, tapi juga takut.
Bagaimana kalau dia mati?.
Dengan sedikit sisa tenaga yang kumiliki, aku bergegas mencari kunci di saku celana Arya.
Ketemu! Segera kubuka pintu lalu keluar dan berteriak sekuat aku mampu.
Kulihat orang-orang berlalu lalang, panik, berteriak histeris melihat keadaanku dan Arya yang tergeletak bersimbah darah.
Samar kulihat Mbak Sri menggapai dan memelukku sebelum semua hilang dari pandangan.