Merasa bagai ada ribuan pasang tangan yang tidak terlihat menghantam sanubarinya pria itu duduk termenung di sebuah kursi panjang di taman depan sekolah elite dengan predikat sekolah luar biasa.
Entah harus bagaimana menjabarkan perasaannya saat ini antara bingung, sedih dan takut menjadi satu.
Bila di sisi ke egoisan dirinya saja tidak mampu dengan ikhlas menerima keadaan Jelita bagaimana dengan kedua orang tuanya, terutama Ibunya.
Sementara di sisi lain ruang hatinya di penuhi rasa bersalah pada darah dagingnya tersebut, pasti selama ini dia telah melewati hari-hari yang sulit apalagi tanpa seorang ayah.
Seandainya jika sejak kecil dia tidak pernah mendengar kata-kata Ibunya bahwa laki-laki tidak boleh menangis, mungkin saat ini dia akan segera menumpahkan semua air mata yang sedari tadi di tahannya.
Rasanya begitu berat beban yang baru saja menghimpit hatinya.
Untuk sekedar sedikit melonggarkan sesak di d**a, dia hembuskan nafas kasar seolah hal itu bisa meringankan beban pikirannya, ia menyusur rambutnya ke belakang kepala dengan frustasi tidak tau apa yang harus ia lakukan setelah ini.
Terlihat galau dan sangat kacau membuat Ridho tidak menyadari kedatangan seseorang yang kini duduk di sampingnya, sebuah pohon rindang yang menaungi membuat cahaya matahari tidak langsung mengenai tubuh mereka walau hari sudah beranjak siang.
"Kamu sudah melihatnya?"
Suara sendu menerobos indera pendengaran Ridho hingga langsung masuk ke dalam hatinya, membuat sebuah rasa memenuhi sanubari, sebuah rasa yang dia sendiri tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya.
"Anissa!"
Tidak lagi dipedulikan beberapa pasang mata yang entah sengaja atau tidak melihat ke arah mereka, kini Ridho duduk bersimpuh di kaki Anissa yang tampak canggung.
"Maafin aku, maafin aku terlalu banyak kesalahanku padamu, tapi aku mohon maafin aku."
Ridho benar-benar menampakkan penyesalannya.
"Duduklah, nggak enak banyak yang liatin," Anissa menengok kanan dan kiri menahan malu.
Sontak Ridho tersadar kalau kini mereka tengah berada di tempat umum.
"Kenapa kamu tidak pernah bilang?" Ridho kini memberanikan diri bertanya walaupun dia tau apapun alasannya tetaplah dia yang salah.
"Buat apa? Toh rasa cintamu sudah tidak ada untukku!"
Anissa menjeda bicaranya.
"Bagaimana kabar istrimu?" Ridho kembali merasa bersalah pada Anissa mendengar pertanyaan itu.
Rasanya malu.
"Kami sudah bercerai beberapa bulan yang lalu,"
Mata Anissa kian membulat mendengar jawaban Ridho.
"Kenapa? Apa karena aku dan Jelita?" Kini Annisa yang tidak tahu rasa apa yang memasuki hatinya, sepertinya merasa bersalah, tetapi juga ada rasa lega.
"Tidak bukan karena itu, dia menghianatiku,"
"Oh," mulut Anissa membulat, hanya itu yang terucap.
"Sudahlah aku tidak ingin membicarakan dia, rasanya belum kering lukaku ini," ucap Ridho yang kembali merasa muak jika mengingat Adella.
"Jadi setelah terluka kamu baru ingat padaku,"
Pernyataan Anissa sungguh menohok perasaan dan harga dirinya.
"Aku baru tau tentang kalian, istriku sama sekali tidak memberi tau kalau kamu datang. Mungkin dia takut aku kembali padamu." Ridho berusaha memberikan alasan yang menurutnya benar.
"Kalau misalkan kalian belum bercerai apakah kamu akan datang ke sini?"
Ridho hanya diam tak bisa berkata-kata.
"Lalu buat apa kamu ke sini, apa mau kamu?" tanya Annisa dengan senyum kecutnya.
"Kalau masih pantas aku di maafkan, aku mohon maafkan aku,"
Ridho berkata lirih, hatinya memang benar-benar di selimuti rasa bersalah.
"Seandainya dulu kamu bilang kalau kamu mengandung tentu aku akan kembali." Lirih Ridho berkata
"Yang aku inginkan kamu kembali karena cintamu seperti yang kamu janjikan, bukan karena sebuah tuntutan!"
Mata Anissa mulai berkaca-kaca, sementara lawan bicaranya diam tanpa pembelaan.
"Saat di telepon kamu bilang belum siap berkomitmen sedangkan aku tau kamu sudah mampu memenuhi janjimu, saat itulah aku sadar kamu sudah tidak menginginkanku."
Seketika ingatan Ridho kembali pada saat itu, di mana dia membuat seorang wanita di ujung sambungan telepon menangis karena telah terputus harapannya.
"Maafkan aku," hanya itu yang keluar dari mulut Ridho.
Rasanya ribuan kata maaf pun tidak akan cukup baginya.
"Boleh aku bertemu Jelita?" Ridho memandang mata indah Anissa.
"Boleh, Jelita lah satu-satunya alasanku kembali menghubungimu."
Anissa memalingkan pandangan seolah tak ingin berlama-lama beradu pandang dengan lelaki yang pernah dicintai atau mungkin masih sangat dicintainya tersebut.
"Tapi apakah kamu siap? Jelita berbeda dengan anak lainnya," pertanyaan Anissa sungguh menggetarkan hatinya.
"Kalau kamu datang hanya untuk pergi lagi dari hidupnya lebih baik kamu urungkan niatmu, sudah terlalu banyak air matanya tertumpah untukmu."
Mungkin Anissa sudah tidak mampu mempertahankan bendungannya hingga kini air matanya mengalir bagaikan anak sungai.
"Aku mohon Anissa, izinkan aku menebus semua kesalahanku, bagaimanapun keadaannya Jelita adalah anakku."
Ridho menangkupkan kedua tangan di dadanya nampak sebuah ketulusan di matanya.
* Dita Andriyani *
Pada sebuah jendela kaca berukuran dua kali satu meter yang membentang di dinding kelas nampak dua orang yang memandang gadis istimewa itu.
Jelita nampak riang bernyanyi sambil bertepuk tangan.
"Aku mengalami kelainan pada kehamilan, virus thorch baru terdeteksi ketika kehamilanku menginjak usia 5 bulan."
Terdengar pilu ketika Anissa mengisahkannya.
"Dokter bilang kemungkinan besar bayiku cacat, dan dokter menyarankan untuk aborsi, tapi aku bersikeras untuk mempertahankannya, mempertahankan satu-satunya kenangan yang aku miliki bersamamu, hingga lahirlah Jelita sebagai tuna netra."
Air mata mengalir dari dua pasang mata, yang hatinya merasakan luka yang sama.
Ridho Ginanjar kini mengutuk dirinya sendiri, laki-laki macam apa dia membiarkan wanita yang begitu mencintainya melewati ujian besar dalam hidupnya seorang diri.
Ayah macam apa dia membiarkan putri kecilnya menghadapi kejamnya dunia tanpa kasih sayangnya.
"Jelita sangat menginginkan Papanya, selalu bertanya kapan Papanya datang. Aku mohon padamu kalau kamu, ingin masuk dalam kehidupannya jangan pernah pergi lagi, jangan pernah patahkan hatinya."
Anissa terisak, kini dia yang menangkupkan tangan di d**a memohon kebahagiaan putrinya.
Ridho memegang tangan Anissa penuh keyakinan.
"Aku janji, aku akan jadi Ayah yang baik buat Jelita."
"Aku sudah tidak mempermasalahkan semua janji yang dulu kamu lupakan tapi aku janji kamu pasti akan menyesal kalau kamu melupakan janjimu saat ini."
Tegas Anissa diiringi sebuah harapan bagi kebahagiaan putrinya.
Tteeettt ... Tttteeeetttt ... Bel berbunyi tanda jam sekolah telah usai.
Selang beberapa menit kemudian seorang bocah keluar kelas dengan mengulas sebuah senyuman di bibir mungilnya berjalan dengan menggunakan tongkat kecil sebagai alat bantu.
"Jelita, Mama di sini sayang."
Anissa memeluk dan mencium pipi gembil Jelita yang juga memeluk sang Mama, Ridho menyaksikan penuh keharuan ingin rasanya meraih keduanya dalam dekapannya.
"Mama tumben nunggu di sini, biasanya di taman," tanya Jelita yang merasa aneh dengan kehadiran Annisa di sana.
"Iya sayang, Mama pengen liat Jelita belajar," jawab. Annisa sambil mengusap air mata yang jelas tidak bisa Jelita lihat.
"Mah, aku belajar matematika, terus aku nyanyi lagu balonku sama Bu Guru."
Tampak Jelita riang sekali menceritakan kegiatannya, Annisa tersenyum lebar mendengarkan sambil sesekali memuji kepintaran sang putri.
"Sayang ada yang mau ketemu sama kamu."
Anissa menggenggam tangan kiri Jelita dan meraih tangan kanan Ridho lalu menyatukannya.
"Siapa Mah? Papa ya!" Jelita hampir berteriak karena begitu senang.
Begitu tampak kalau hanya sang Papa lah yang selama ini di nanti ke datangannya.
Ridho bersimpuh di hadapan Jelita hingga kini tinggi mereka sama.
"Sayang maafin Papa selama ini nggak pernah dateng nemuin Jelita," Ridho tak kuasa menahan tangisnya.
"Papa," tangan mungil Jelita meraba wajah Ridho seolah memastikan bahwa yang di hadapannya adalah benar sang Ayah.
"Ini beneran Papa Jelita?" tanya polos bocah yang kini memeluk pria di hadapannya.
"Iya sayang, ini Papa, maafin Papa ya, Papa janji nggak akan ninggalin Jelita lagi."
Mereka berdua larut dalam tangis bahagia, sementara Anissa menyaksikan dengan senyum penuh rasa syukur.
* Dita Andriyani *
Sementara di tempat lain.
"Alhamdulillah ..." terima kasih ya Allah rasa syukur selalu terpanjat kepadaNya.
Melihat makhluk ciptaanNya yang paling berharga untukku di layar monitor USG 4d di sebuah klinik bersalin membuatku tak terasa melinangkan air mata.
Entah suka, entah duka.
"Bayi nya sehat ya Bu, geraknya lincah, letak plasentanya juga bagus, air ketubannya cukup. Ibu harus makan makanan bergizi, istirahat yang cukup dan nggak boleh stress."
Dokter menjelaskan tentang hasil pemeriksaan hari ini.
Terlihat juga senyuman di wajah Ibu dan Irma adikku, seolah ada kata yang tak terucap bahwa mereka selalu ada untukku dan anakku.
Kubalas dengan senyuman yang sama mengisyaratkan bahwa aku kuat.