Tante Maura satu-satunya harapanku untuk lepas dari Mas Pandu. Setidaknya itulah harapanku. Harapan semoga dia menginginkan aku menjadi menantunya karena perbedaan kasta kami yang terlalu jauh.
Tapi harapan tinggallah harapan, bukannya menolak aku jadi pacar anaknya karena aku cuma pegawai biasa ini malah mendukung seribu persen aku menjadi kekasih sang putra.
Setengah hari ini aku habiskan untuk mendengarkan cerita Tante Maura tentang anak semata wayangnya itu, mulai dari saat hamil sampai sekarang semua beliau ceritakan. Seolah beliau ingin aku memahami semua tentang putranya tanpa ada satu hal pun yang terlewatkan.
Aku hanya pasrah menjadi pendengar yang baik tanpa bisa menyela, tapi dari semua cerita Tante Maura aku jadi lebih sedikit memahami pribadi Mas Pandu seperti apa.
Dia adalah orang yang sangat ambisius, keras dalam segala hal, dan posesif, sesuai dengan apa yang aku rasakan selama ini.
"Dari kecil, Pandu tuh dingin di sekolah pun nggak pernah punya temen. Tante sampe prihatin selama ini kalo dikenalin sama perempuan selalu cuek. Tante sampe takut kalo dia nggak normal. Tapi setelah Tante liat banyak foto kamu di kamarnya, Tante jadi lega." cerita Tante Maura padaku.
"Foto Della Tante?" tanyaku mengingat aku tidak pernah berfoto.
"Iya, kamar Pandu tuh penuh foto-foto kamu, dari yang kecil sampe yang gede semua foto kamu," terangnya.
Aku hanya tersenyum getir mendengar cerita itu, tidak tau harus berkomentar apa. Segitu cintanya kah Mas Pandu padaku?
"Selama hidupnya, Pandu hanya menghabiskan waktu untuk berkerja, membangun berbagai usaha di banyak bidang salah satunya butik ini. Dia selalu berusaha mendapat semua yang dia mau, dan akan sekuat tenaga mempertahankan semua yang dia miliki."
Itu sudah menjadi kepribadiannya. Berusaha mendapatkan semua yang dia mau, tapi apakah dia juga harus berlaku begitu terhadapku? Aku bukan barang yang bagaimanapun caranya bisa dia dapatkan, aku adalah manusia yang punya perasaan, dan perasaan tidak bisa dipaksakan.
"Pandu orangnya tertutup, sama Tante saja dia jarang bercerita. Cuma belakangan ini dia sering uring-uringan, apa kalian ada masalah?" Tante Maura menodongku dengan pertanyaan yang aku sendiri bingung untuk menjawabnya.
"Yah sedikit Tante," aku menjawab ngasal, sedikit menutupi kegugupanku.
"Tante harap, kamu bisa lebih pengertian pada Pandu, Tante titip Pandu sama kamu. Karena sepertinya hanya kamu yang Pandu inginkan jadi pendampingnya."
Tante Maura menggenggam erat tanganku, nampak selaksa harapan terpancar di kedua matanya, harapan untuk kebahagiaan sang putra.
Akan tetapi kenapa harapan itu harus terpikul di pundakku? Sementara hatiku berontak, nuraniku mengatakan aku tidak bisa menolak permintaan seorang ibu untuk kebahagiaan putranya.
* Dita Andriyani *
Mas Pandu baru datang di butik menjelang malam saat kami para pegawainya hendak menutup pintu dan bersiap pulang, entah ke mana saja dia seharian ini.
Mas Pandu langsung memasuki pintu yang masih setengah terbuka tanpa melihat ataupun membalas senyum seluruh pegawainya, "semua boleh pulang kecuali Adella," titahnya dingin dan tegas seperti biasa yang langsung dijawab iya dengan patuh dan segan oleh semua pegawainya.
"Ya udah, kalian pulang duluan aja," ujarku pada Ina dan Mbak Siti karena tadi kami sudah berencana untuk pulang bersama.
Aku menyusul langkah Mas Pandu dengan detak jantung yang berkali lipat lebih cepat dari biasanya.
Pria bermata coklat itu sedang memilih sebuah gaun yang tertata rapi di butik ini, dia mengambil sebuah dres berwarna biru laut dan menyodorkannya ke arahku, aku meraihnya penuh kebingungan.
Lalu dia berjalan ke etalase sepatu, "berapa nomer sepatumu?" tanyanya tanpa menatapku pandangannya tertuju pada deretan sepatu yang berjajar rapi seolah memilih mana yang terbaik menurutnya.
"Hah aku?" tanyaku spontan.
"Iya kamu! Apa kamu lihat ada orang lain di sini?" Jawaban angkuhnya membuatku semakin tergagap.
"ti ... tiga tujuh."
Dia mengambil sepatu berhak tinggi dengan aksen tali berwarna hitam, lalu memberikannya padaku.
"Cepat pakai," ucapnya dengan nada memerintah.
"Aku? Buat apa?" tanyaku yang masih mencoba mencari alasannya melakukan semua ini.
"Kamu udah baca kontrak kerja kamu 'kan. Di situ tertulis kalau kamu akan menuruti semua perintah atasan kamu. Jadi?" sorot matanya tajam terarah ke mataku, penindasan.
Tapi aku tak berdaya, hanya bisa menurut lalu memakai pakaian mahal yang belum pernah ku kenakan sebelumnya.
Aku mematut diri di kamar ganti di mana seluruh dindingnya terpasang cermin besar, aku cantik! Memuji diri sendiri.
Aku keluar dari kamar ganti, terkejut dengan sosok lelaki yang berdiri membelakangi di depan pintu. Rupanya sedari tadi dia hanya menunggu di sana.
"Ayo ikut." dia melangkah tanpa menungguku yang sedikit kesulitan berjalan dengan sepatu setinggi ini.
"Mas kita mau kemana? Mau ngapain?" entah sudah berapa kali pertanyaan ini terlontar, tanpa kudapati jawabnya.
Hingga Mas Pandu memarkirkan mobilnya di parkiran sebuah bioskop. Elit, pasti mahal.
Mas Pandu menggenggam tanganku memasuki salah satu ruangan, sepi hanya ada kami berdua di kursi VIP
"Mas kok nggak ada orang lain yang nonton?" Aku bertanya karena setahuku biasanya bioskop akan di penuhi oleh pengunjung sebelum film diputar.
"Ruangan ini private, khusus kita berdua." Aku hanya diam mendengar jawaban yang ia berikan.
Sebuah film bergenre romantis di putar sesaat setelah seorang pelayan menyajikan minuman dan makanan ringan di sebuah meja di hadapan kami.
Aku sangat menikmati film yang di putar, sedangkan Mas Pandu? Alih-alih menikmati film dia malah menikmati wajahku.
Ya. Selama kurang lebih satu jam film itu di putar dia habiskan waktu itu untuk memandangku saja. Dasar orang aneh. Jangan kira aku nyaman, risih sekali rasanya. Tapi aku alihkan perhatianku untuk menonton.
Biarkan saja apapun yang akan dia lakukan, terserah selama tidak menyentuhku.
"Mas ngapain sih? Filmnya tuh di depan kenapa ngeliatinnya ke sini terus?" tanyaku ketika sudah merasakan tidak nyaman karena tatapan tajamnya padaku.
Lagi-lagi dia hanya tersenyum. Bener-bener aneh nih orang.
"Siapa namanya?" tanyanya penuh penekanan.
"Leonard." sekilas melirik wajahnya lalu aku menyadari ada yang salah dengan jawabanku.
"Siapa? Tokoh dalam film itu kan? Namanya Leonard," jawabku ringan.
Mata Mas pandu malah membulat, lalu meraup wajahnya dengan tangan kanan, frustasi.
"Siapa orang yang membuat kamu tidak bisa mencintaiku?" tanyanya tegas.
Oh Tuhan, pertanyaan macam apa ini. Bagaimana aku menjawabnya?
"Nggak ada!" aku memalingkan wajah tak mau terlalu lama beradu pandang dengannya, aku takut menatap matanya, tampak bara api di sana.
"Bohong!" bentaknya mengejutkanku.
Lalu di raihnya wajahku dia mencengkeram kedua pipiku dengan tangan kanannya. Mendekatkan wajahnya, pandangannya tajam menusuk kedua mataku lalu menghujam sampai ke jantung meremukkan nyaliku.
"Aku melihat cintamu untuknya setiap kali melihat matamu. Dan itu menyakitkan." dia menekan suaranya, tetapi siap meledak kapan saja.
Hanya airmata yang mengalir, tak dapat aku bicara. Hanya ... "Sakit Mas, lepasin."
"Sakit? Sakit kamu bilang?" Dia melepaskan wajahku lalu memberikan sebuah tamparan keras di pipi kananku, "hatiku lebih sakit, setiap kau menolak cintaku tapi menyimpan cinta untuk lelaki lain!" hardiknya sambil menjatuhkan satu tamparan lagi di pipi kiriku.
Aku hanya bisa menangis memegangi pipi yang terasa panas dan perih, tapi lebih perih lagi hati ini.
Mas Pandu duduk bersandar lagi di kursinya menarik nafas dalam dan menarik mencoba memelukku, aku berontak takut dia akan menyakitiku lagi, tetapi menerima penolakan membuat bara api di matanya semakin berkobar membuatku kalah dan membiarkan dia memelukku.
"Maafin aku," ringan dia mengucap, membuat isak tangisku semakin menjadi, semakin erat pula dia memelukku.
"Aku cinta kamu." katanya sambil menciumi pipiku bergantian, refleks aku menggelengkan kepala ternyata penolakan itu membuat amarahnya kembali tersulut, di dorongnya tubuhku hingga tersungkur di lantai.
"Kamu tuh milikku! Hanya milikku!" ucapnya sambil berdiri lalu membantuku berdiri dan membenamkanku dalam peluknya, membelai lembut rambutku sedikit merapihkan dan menghapus airmataku.
"Pulang yuk," ajaknya lembut, seolah tidak terjadi apapun yang terjadi semenit sebelumnya.
Sebenarnya ada apa dengannya? Dan apa yang harus aku lakukan?
* Dita Andriyani *
Menjelang siang aku masih merungkuk di tempat tidurku, sebuah kasur tipis yang terhampar di lantai, rumah petak yang kami sewa berdua. Sinta tampak mengkhawatirkan aku, mendapati aku pulang tengah malam dalam keadaan kacau, dan tak ada gairah untuk sedikit bercerita padanya.
"Del, kamu sakit? Cerita dong sebenernya kamu kenapa?" tanyanya entah untuk keberapa kalinya.
.
"Aku nggak apa-apa Sin, kamu berangkat kerja aja udah siang." Dan aku terus menjawab demikian untuk meyakinkan dirinya, kali ini sambil mengingatkan jika dirinya sudah terlambat berangkat bekerja.
"Ya udah, tapi beneran kan kamu nggak apa-apa aku tinggal?" Dia masih terlihat tidak tega meninggalkan aku sendirian di rumah.
"Iya," jawabku mantap.
Lalu terdengar ketukan di pintu, Sinta bergegas membukanya.
Karena rumah petak ini hanya berukuran beberapa meter saja aku bisa tau siapa yang datang walau hanya mendengarnya dari dalam kamar.
"Adella mana? Kenapa saya tunggu di butik sampai jam segini belum datang?" Suara lelaki yang sudah sangat aku hapal, lelaki yang telah membuatku menangis semalaman karena ketakutan.
"Adella ... Ada di kamar." suara Sinta terdengar canggung berbicara dengan sosok yang dikaguminya, tanpa dia tau watak asli dari lelaki itu.
Tanpa dipersilahkan Mas Pandu langsung masuk menemuiku di kamar, dengan Sinta mengekorinya.
Melihatku tetap berbaring dia langsung duduk bersila di sampingku membelai lembut keningku lalu mengecupnya hangat, Aku membenamkan wajahku semakin dalam ke bantal.
Sekilas kulihat Sinta menutup mulut dengan kedua tangan tetapi mengintip dari sela-sela jemari yang merenggang wajahnya terlihat konyol dengan mata melototnya.
"Aku berangkat dulu ya, takut ganggu." Langkah seribu ia ambil untuk keluar kamar.
"Kamu sakit? Kita ke dokter ya." tanya Mas Pandu sambil meraih tanganku yang sedang kugunakan mengganjal kepala.
"Kamu yang sakit Mas!" Jawabku ketus.
Dia hanya tersenyum miring, "semua karena kamu."
Dia menyisir tiap sudut kamar ini dengan pandangan aneh, prihatin, miris atau menghina.
"Ayo bangun, kita pindah dari sini," putusnya tanpa sedikit pun meminta pendapatku sebelumnya.
"Hah ... apa maksud kamu pindah?" tanyaku.
"Kamu pikir aku akan membiarkan orang yang paling aku cintai, tinggal di tempat kumuh seperti ini?"
Cinta dia bilang? Mana ada cinta yang tega menyakiti, "Nggak, aku nggak mau!" tolakku tegas.
"Aku nggak pernah memberi kamu pilihan."
Dia mulai menekan nada bicaranya, membuatku teringat kejadian tadi malam, aku takut.
"Iya, tapi nanti sore aja nunggu Sinta pulang kerja, aku mau pamit," jawabku terpaksa.
"Jam delapan malam aku jemput."
Hanya itu yang dia ucapkan, lalu terdengar pintu luar tertutup. Dia pergi.
Ya Tuhan, bagaimana ini?
Rasanya semakin sulit aku lepas dari jeratnya, sulit sekali aku mengerti dia, dirinya bagaikan dua sisi uang yang bertolak belakang. Sekejap dia begitu kasar, tapi sekejap mata pula dia memperlakukanku seperti seorang ratu.