Tenang.
Terasa ketenangan yang sesungguhnya berada dalam pelukan lelaki yang kucintai, pelukan yang dahulu hanya ada dalam hayalan kini telah benar-benar aku rasakan.
Aku mengukuhkan cintaku bukan cinta biasa untuknya, selama enam tahun cintaku bertepuk sebelah tangan. Bisa kau bayangkan mencintai secara sepihak selama bertahun-tahun, dirimu hanya bagai bayangan untuknya nyata ada tetapi keberadaanmu tak pernah di anggap sesuatu untuknya.
Lalu selama bertahun-tahun pula aku berusaha berdamai dengan kenyataan kalau dia mungkin memang tercipta bukan untukku, menggantikan hadirnya dengan kehadiran lelaki lain, tetapi nyatanya cinta untuknya telah terpatri sangat dalam di hatiku. Sedikit pun cintaku tak tergoyahkan walau logikaku sendiri yang berusaha mengoyaknya. Mungkin memang benar. Cinta kadang-kadang tak ada logika seperti lirik lagu Agnez Monika.
Aku telah melewati fase demi fase kehidupan, semuanya telah terlewati dengan baik dengan rasa cintaku yang tetap kokoh bertahta, bahkan aku telah melewati fase terburuk dalam kehidupanku, menghianati pernikahanku demi cintaku, cinta yang selalu mampu mempertahankan akarnya menancap kuat di setiap sendi kehidupanku.
Aku pernah salah membawa perasaanku hingga aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku tapi aku tau perasaanku tidak pernah salah.
Malam ini, wajahnya begitu damai terlelap dalam buaian kasih sayangku, kasih sayang yang aku yakin kekuatannya mampu mengalahkan jutaan badai yang menghadang.
Kepalaku masih berbantal lengan kekarnya, kukagumi inci demi inci wajah tampannya, hidung mancungnya, bibir tipisnya yang tidak pernah tersentuh batang rokok, mata tajamnya yang kini terpejam sempurna.
Aku menghela nafas pelan berusaha melepas segala beban yang belakangan kian mendalam, berusaha menjemput lelap karena malam telah larut. Namun, tak bisa pula mataku terpejam, karena bila mataku terpejam keresahan akan tumbuh di sana bayangan demi bayangan masa lalu silih berganti menari-nari menimbulkan ketakutan akan hadirnya.
Ya, hadirnya Mas Pandu. Aku sudah memutuskan semua jalur komunikasi dengannya, membawa diriku jauh dari hidupnya tetapi kenapa pertemuan itu harus terjadi.
Kalian boleh mengagumi fisiknya yang nyaris sempurna tapi kalian akan takut bila tahu kepribadiannya, atau mungkin hanya aku yang merasa takut.
Karena hanya aku yang tidak mampu menumbuhkan cinta dalam hatiku untuknya, sementara hanya aku yang dia cintai, itulah yang dia katakan.
Cintanya yang membuatku kesulitan bernafas, bahkan cintanya yang nyaris membunuhku.
Dan kini dia kembali hadir mengusik hidupku.
Siang ini, Neni masuk membawa sekuntum bunga mawar merah.
"Bu, ini ada bunga buat Ibu." Neni menyodorkan bunga itu kearahku yang sedang menyuapi Atqa, agar aku bisa meraihnya.
Dahiku mengernyit, biasanya Arman memberiku langsung saat pulang kerja, kenapa ini harus dititipkan pada Neni?
"Tumben ya Mbak, biasanya Bapak ngasih langsung ke saya, kenapa ini di titip ke kamu," ucapku seraya mengagumi keindahan bunga itu, dan sesekali menghirup aroma wanginya
"Itu bukan dari bapak, Bu," jawab Neni yang masih berdiri di tempatnya semula.
Aku semakin bingung. "Terus dari siapa?" tanyaku.
"Kalo nggak salah, cowok itu yang ngikutin kita di Mall waktu den Atqa ilang bu. Neni pikir itu temen Ibu," jawab Neni yang memang tidak tahu apa-apa.
Aku menghentikan menyuapi Atqa, tanganku lemas.
"Buang bunga ini. Jangan bilang apapun ke Bapak, kalau dia dateng lagi jangan kamu bukain pintu. Dia penjahat," titahku pada Neni, dia mengangguk sambil bergidik ngeri, mengambil bunga yang aku ulurkan padanya lalu bergegas membuangnya ke tempat sampah yang ada di halaman rumah.
* Dita Andriyani *
Flashback on
Ppraang ... Pyar.
Aku dan beberapa pegawai lain yang sedang melayani pembeli, terkejut mendengar keributan di kantor Mas Pandu yang terletak di bagian belakang butik ini.
Aku segera berlari kecil demi melihat apa yang terjadi, tanpa kuketuk langsung kubuka pintu dan menerobos masuk.
Terlihat mbak Siti menangis sambil memunguti pecahan mangkuk dan bakso yang berceceran, aku segera berjongkok membantunya.
Mas Pandu duduk bersandar di kursi kebesarannya dengan bersilang kaki di atas meja.
"Sudah saya bilang, saya cuma mau makan baksonya Pak Man! --tukang bakso keliling langganan Mas Pandu," pekik Mas Pandu pada mbak Siti.
"Maaf Pak, soalnya Pak Man tadi udah pergi, jadi saya beliin bakso di ujung jalan." Mbak Siti membela diri.
"Jangan berani-berani kamu mengatur saya! Karena semua yang saya mau harus saya dapat!" Mas Pandu kini berkata sambil menggebrak meja tapi sorot matanya tajam diarahkan padaku.
Setelah selesai memunguti pecahan mangkuk Mbak Siti langsung keluar, aku yakin dia akan menangis di pantri.
Dan Mas Pandu, duduk santai tanpa rasa bersalah. Kini dia berubah, lebih menyeramkan, terlihat watak aslinya setelah saat itu.
Dia menyatakan cintanya padaku, dan menginginkanku benar-benar menjadi kekasihnya, tetapi aku tidak bisa.
Aku tidak bisa menjalani hubungan tanpa rasa, karena rasa cintaku hanya untuk Arman.
Tidak terima dengan penolakanku, semua jadi sasaran amarahnya. Kadang untuk hal-hal kecil saja dia akan mengamuk seperti tadi.
Arogan! Mungkin untuk menunjukkan kekuasaannya, bahwa semua yang dia ingin harus dia miliki, dasar orang kaya!
"Mas, kenapa kamu jadi berubah begini. Menakutkan."
Aku mencoba bicara padanya, berusaha bersikap sesantai mungkin dengan menarik kursi di hadapannya lalu duduk dengan meja kerjanya sebagai pembatas antara kami.
"Kenapa? Inilah aku!" serunya untuk menjawab pertanyaan yang aku berikan dengan dingin.
"Tapi kamu berubah Mas, dulu kamu emang kaku tapi kamu baik," ucapku lirih, aku takut dia juga akan marah padaku.
"Buat apa aku baik? Kalau aku baik kamu bisa cinta sama aku? Nggak kan!" sarkasnya, tetap dengan mata yang tajam terarah padaku.
"Tapi bukan berarti kalau aku nggak bisa cinta sama kamu, kamu bisa berubah jadi kasar begini, Mas, aku udah nggak tahan lebih baik aku berhenti kerja aja."
Dia malah tersenyum sinis, "mau berhenti kerja? silahkan," dia mengeluarkan sebuah kertas dari laci mejanya lalu memintaku membacanya, "Baca ini."
Mataku membulat sempurna membaca kata demi kata yang tertulis di surat kontrak kerja tersebut, tertulis bahwa bila aku memutuskan hubungan kerja secara sepihak maka aku bersedia membayar denda sebesar dua Milyar rupiah!
Tunggu! Perasaan bukan seperti ini isi kontrak kerja yang aku tanda tangani dulu, tapi memang benar ini tanda tanganku terbubuh di atas materai dengan cap jempol warna ungu menghiasinya.
"Mas, kok bisa begini?" tanyaku tidak mengerti, aku merasa jika memang perjanjiannya bukan seperti ini.
Dia tersenyum menyeramkan sambil mengambil kertas itu dari tanganku, "Karena semua yang aku mau bisa aku lakukan, semua yang aku ingin bisa aku dapatkan! Ingat itu!"
Dia bangkit meninggalkanku, "punya uang sebanyak itu?" tanyanya sambil berdiri di ambang pintu.
Tahu aku tidak punya jawaban dia pun pergi dengan seringai penuh kemenangan di wajah tampannya, tampan tapi menyeramkan.
* Dita Andriyani *
"Dell, kenapa bengong aja?" tanya Ina teman kerjaku melihat aku menumpukan dagu di telapak tangan.
"In, gimana caranya biar bisa cepet dapet duit 2 milyar?"
Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu jawaban karena bagaimanapun tidak mungkin bagiku mendapatkan uang sebanyak itu.
"Dua milyar?" Ina mengacungkan kedua jarinya. "Hhmm, gampang aja kalo bisa jadi istri Pak Pandu!" Ina senyum-senyum karena jawabannya sendiri. Jawaban konyol menurutnya, tapi menurutku menyeramkan.
Tapi bener juga, daripada susah-susah cari duit dua milyar, mikirinnya aja udah nggak mungkin. lebih baik aku pura-pura suka aja sama Mas Pandu, nanti kalo dapet kesempatan aku ambil aja kontrak kerja itu terus aku bakar, terus pergi deh dari sini. Tiba-tiba wajahku berbinar karena ada lampu bohlam yang menyala di otakku.
Pintu butik terbuka, lalu seorang wanita paruh baya dengan dandanan ala sosialitanya masuk, semua pegawai nampak mendekat dan menyapa, sedang aku menyibukkan diri dengan laporan barang yang baru datang.
Aku mengangkat kepala demi melihat seorang yang melangkah mendekatiku, suara hak sepatunya berketuk di lantai dan berhenti di depan mejaku.
"Adella? Kamu kerja di sini?" pertanyaan dari suara lembut wanita itu membuatku bingung harus berkata apa.
"Iya tante, Della emang kerja di sini," jawabku mengiyakan pertanyaannya.
"Pandu mana?" tanyanya lagi yang tidak melihat Mas Pandu di sini.
"Mas Pandu belum dateng, Tante," jawabku sesuai kenyataan.
"Padahal dia keluar rumah dari tadi, ya udah ayo ikut Tante ke ruangan Pandu," ajaknya entah untuk apa.
"Iya Tante."
Aku mengikuti langkah wanita anggun ini berjalan hati-hati melenggang bak peragawati.
Dialah Tante Maura, wanita yang telah melahirkan Mas Pandu, aduh ... Bagaimana ini? Terakhir kali bertemu dengannya Mas Pandu memperkenalkan aku sebagai calon istrinya.
Apa sebaiknya aku ceritakan yang sebenarnya siapa tau Tante Maura bisa menolongku, tapi bagaimana kalau dia malah marah?
Ya Tuhan, aku harus bagaimana?