"Ayo Pah kita pulang,"
Tangan mungil Jelita mengenggam tangan perkasa sang Ayah, penuh harapan. Mulai saat ini akan ada tangan yang akan selalu menuntunnya dalam menjalani kehidupan, mulai saat ini akan ada sosok perkasa yang akan melindunginya dari kerasnya dunia.
Itu adalah harapan yang ada dalam hati Jelita dan Annisa dan itu adalah janji yang tertanam dalam hati Ridho saat ini, janji yang dia pastikan tidak akan pernah ia ingkari.
* Dita Andriyani *
Dua buah mobil kini terparkir rapi di halaman rumah yang juga di gunakan sebagai klinik kesehatan tersebut, Jelita tampak sangat bahagia. Belum pernah Annisa melihat Jelita sebahagia itu seumur hidupnya
"Kakek, Nenek ... Sini liat siapa yang dateng."
Dengan penuh kebahagiaan Jelita mencari-cari keberadaan Kakek dan Neneknya.
"Memangnya siapa yang dateng sayang?"
Tanya sang Nenek yang tengah memasak di temani sang Kakek di dapur, setengah berteriak Bahar Jelita bisa mendengar suaranya.
"Papa Jelita udah dateng Nek, sekarang ada di depan, Jelita seneng banget deh, akhirnya Jelita punya Papa,"
Dengan berbunga-bunga Jelita menceritakan kebahagiaannya, sambil berjalan ke dapur dengan menggunakan tongkat sebagai alat bantu.
Sejenak dua orang yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu saling berpandangan.
Sementara Ridho duduk di ruang tamu dengan hati berdebar, bagaimana sikap kedua orang tua Anissa terhadap dirinya nanti.
Tapi apapun itu, dia sudah siap menerima konsekuensinya dia sudah memutuskan bertanggung jawab atas semua kesalahan maka apapun yang akan terjadi pada dirinya pasti dia hadapi.
Ridho seketika berdiri dari duduknya buang memang tidak terasa nyaman mendengar langkah kaki dari arah dapur dia beradu pandang dengan dua sosok yang berjasa di masa lalunya, tetapi telah kecewa karena sikapnya.
"Jelita sayang, kamu ke kamar dulu ya ganti baju di bantu mbak Iis." Perintah Annisa saat ketegangan di wajah kedua orang tuanya.
"Iya, Ma." jawab Jelita patuh.
Segera asisten rumah tangga mereka mengajak Jelita ke kamarnya.
Ppllllaakkk.. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi sebelah kiri Ridho, Anissa memeluk menenangkan Ibunya yang sedang berusaha meluapkan amarahnya.
Sementara sang Ayah sudah duduk bersilang kaki penuh wibawa.
"Buat apa lagi kamu datang ke sini?" ujar Bu Widya (Ibu Anissa) berapi-api. Wajar. Itu adalah reaksi yang sangat wajar dari seorang ibu pada seorang lelaki yang telah menghancurkan hati dan hidup putri tunggalnya.
"Saya benar-benar minta maaf, Bu, Pak."
Ridho menundukkan kepala pasrah menerima segala penghakiman yang akan dia terima.
"Sudahlah, Bu. ini juga bukan sepenuhnya kesalahan Ridho, anak kita sendiri yang menolak memberi tau pada Ridho soal kehamilannya."
Pak Ridwan berusaha menenangkan istrinya.
"Saya bersungguh-sungguh ingin menebus kesalahan saya, Pak."
Ridho memandang Ayah Anissa itu penuh pengharapan.
Sang Ayah hanya menganggukkan kepala dari dulu Ridho memang mengenalnya sosok yang tak banyak bicara.
"Jangan pernah lagi kamu buat anak dan cucu saya menangis!"
Bu Widya berkata lirih, menguntai sebuah harapan.
* Dita Andriyani *
Di meja makan.
Sangat tampak bahwa Anissa telah mendidik Jelita menjadi anak yang mandiri dengan segala kekurangannya.
Mengambil makanan dan memakannya sendiri walau dengan meraba-raba, ini hari pertama Ridho bersamanya sepertinya dia harus banyak belajar.
Tapi yang terjadi malah dia yang harus banyak belajar dari Jelita, mungkin karena Ridho yang terlalu khawatir akan Jelita padahal Jelita sudah mampu melakukan apa-apa sendiri.
"Sini sayang Papa suapin ya," Ridho berusaha melayani anaknya.
"Nggak apa-apa Pah Jelita biasa makan sendiri kok," jawab Jelita penuh rasa percaya diri, memang sangat tampak jika Jelita sudah terbiasa melakukannya sendiri.b
"Iya sayang, anak Papa pinter sekali."
Ridho mengelus rambut hitam sang putri yang tengah menyantap makanannya.
Selesai makan Jelita membawa piring kotor bekasnya makan ke dapur dan segera mencucinya dan semuanya dia lakukan dengan meraba.
Lagi-lagi Ridho berusaha membantu tetapi di tolak oleh Jelita dengan alasan Jelita bisa dan sudah biasa.
.
"Mas, ketika mendidik anak luar biasa yang pertama harus kita ajarkan kepada mereka adalah kemandirian, bukannya kejam atau tega tapi Jelita memang harus bisa mengurus dirinya sendiri karena tidak selamanya kita akan ada untuknya."
Anissa menjelaskan karena melihat begitu besar kekhawatiran di mata Ridho.
"Anissa tolong ajarkan aku agar aku bisa jadi Ayah yang baik untuk Jelita." Dengan penuh harap Ridho meminta pada Annisa, wanita itu tersenyum tipis mendengarnya.
"Banyak yang harus kamu pelajari Mas, tapi jangan kaget kalau nanti justru kita sebagai orang tua lah yang banyak belajar dari anak kita," jawab Annisa, memang begitulah yang terjadi dalam hidupnya selama ini, ia banyak belajar banyak hal dari sang putri terutama menjadi kuat.
"Tolong Anissa berilah aku kesempatan menjaga Jelita dalam hidupnya." Lagi-lagi dengan penuh harap Ridho meminta, walau sebenarnya ia merasa tidak pantas untuk mendapat sebuah kesempatan.
"Tapi aku takut Mas, aku takut saat Jelita sudah terbiasa dengan kehadiranmu sebagai Ayahnya, tapi kamu malah pergi meninggalkan dia."
Mata Anissa menerawang membayangkan hal yang tidak di inginkannya itu.
"Mungkin masih sulit bagimu mempercayaiku lagi, tapi aku mohon berilah aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Kita mulai dari awal lagi, menikahlah denganku Anissa!"
Ridho berkata penuh keyakinan sambil menggenggam tangan Anissa.
"Tidak Mas, tidak akan semudah itu semuanya telah berbeda, aku bukan lagi Anissa yang dulu."
Anissa menjawab sembari menarik tangannya dari genggaman tangan Ridho.
Ridho yang tak menyangka mendapat penolakan kini berdiri munggungi Anissa matanya mengawasi anaknya yang sedang bercanda dan tertawa riang dengan Kakek dan Neneknya di taman belakang rumah ini.
"Kenapa? Apa sudah ada laki-laki lain?"
Ridho bertanya tanpa memandang wajah Anissa yang matanya mulai berembun.
"Tidak, tidak akan pernah ada laki-laki lain."
"Lalu?"
"Karena ..."
* Dita Andriyani *
Di lain sisi hamparan bumi
Tak terasa seminggu lagi acara mitoni kehamilanku akan di gelar, sebenarnya tidak ada masalah bagiku jika tidak melaksanakannya karena aku tau itu tidak disyariatkan dalam islam.
Tapi menurut Ibu, beliau sudah jengah mendengar ocehan tetangga yang pastinya akan semakin menjadi-jadi jika aku tidak mengadakan syukuran.
Pusing juga memikirkan biaya yang dibutuhkan untuk membeli buah rujakan, nasi berkat, nasi suguhan orang kenduri, dan upah ibu-ibu rewang dan lain sebagainya.
.
Sore itu sudah hampir waktuku pulang bekerja saat aku bertemu sosok wanita yang dulu pernah menyayangiku sedang berbelanja ditemani anak perempuannya.
Mungkin beliau tidak tau kalau aku bekerja di sini, sesaat aku ragu hendak menyapanya atau tidak.
Mungkin lebih baik tidak, aku hendak memutar langkahku saat Risti menyapaku lebih dulu.
"Mbak Della, Mbak kerja di sini?"
Tanyanya memastikan saat melihatku mengunakan seragam pegawai toserba sesaat melirik perut buncitku.
"Eh Risti," aku pura-pura terkejut seolah baru melihat mereka "iya mbak kerja di sini."
Risti menjabat tanganku lalu menciumnya sama seperti yang selalu dilakukannya dulu, aku merasa lega setidaknya gadis itu tidak membenciku.
Melihat apa yang di lakukan anaknya, Bu Rita naik pitam menarik tangan Risti sambil menghardikku.
"Risti! Kamu nggak pantas cium tangan wanita s****l ini! Wanita seperti dia tidak pantas di hormati!"
Sontak teriakan Bu Rita mengundang perhatian pengunjung lain, beruntung toko sedang sepi hanya ada beberapa remaja dan Bu Rita dengan Risti saja.
"Bu, Della mohon tenang dulu."
Aku berusaha meraih tangannya untuk menyalami tapi yang terjadi malah ...
"Jangan sentuh saya! Dan jangan pernah panggil saya Ibu."
Bu Rita berteriak sambil mendorong keras tubuhku ke belakang, bbbrruuukkk aku jatuh terduduk. Bu Rita melemparkan keranjang belanjaan beserta isinya ke arahku lalu meninggalkanku dengan menarik Risti yang berusaha menolongku.
Mbak Sri dan pegawai lainnya berlari menghampiriku, Mita yang baru selesai shalat Ashar segera turun mendengar kegaduhan di bawah.
"Yaa Allah... Darah!"
Mbak Sri berteriak histeris melihat bercak darah di rokku.
Aku mengerang menahan sakit saat kurasakan darah mengalir semakin deras.
Mita panik sambil menelepon, entah siapa yang dia hubungi, wajah-wajah mereka semakin pudar, pendengaranku kabur saat kurasakan tubuhku terangkat dibopong sepasang tangan kekar, lalu ingatanku benar-benar hilang saat kurasakan sebuah mobil melaju kencang entah membawaku ke mana.
* Dita Andriyani *'
"Untung Bu Della cepat di bawa ke sini, sehingga kami bisa menyelamatkan kandungannya, buat sementara Bu Della harus istirahat total."
Aku bisa mendengar suara wanita yang sepertinya seorang dokter. Berarti aku di rumah sakit.
"Terima kasih dok." jawab suara yang sangat kukenal sepertinya itu Ibu dan Mita.
Tubuhku terasa bagai tak bertulang untuk menggerakkan tangan saja rasanya berat sekali bahkan untuk membuka mata saja sulit.
"Ibu sama Mita mau shalat Isya dulu di musholah ya, tolong jaga Della."
Ibu dan Mita pamit keluar pada siapa, kenapa dia terus menggenggam dan menciumi tanganku? Sepertinya dia menangis hingga punggung tanganku basah.
Perlahan kubuka mata hingga sosoknya samar terlihat.
Arman? Benarkan dia Armanku?.
Seulas senyum yang selalu kurindukan kini nyata ada di depanku, ya akhirnya dia kembali.
Armanku kembali.
"Arman," walau lirih hampir tak terdengar kusebut namanya memastikan kalau yang di hadapanku adalah benar-benar dia.
"Sudah jangan bicara apapun, aku di sini, tidak akan pernah meninggalkanmu lagi."
Dia menggenggam tanganku erat hingga perlahan aku mulai terlelap, aku harap ini bukan hanya mimpi.