Ridho masih setia menanti Anissa melanjutkan kata-katanya alasan apa yang akan dia berikan untuk sebuah penolakan. Memang ia sadar jika dirinya telah menjadi lelaki terjahat sedunia karena janji yang telah ia lupakan tetapi, ia tetap berharap jika sudi kiranya Annisa menerima ajakannya untuk menikah semua Jelita.
"Anissa, apakah aku sudah tidak pantas menerima maaf mu, sampai-sampai kamu menolak lamaranku?"
Pembicaraan serius kembali terjadi usai mengantarkan Jelita ke sekolahnya, dua insan yang dulu pernah di mabuk cinta kini kembali bersama dalam keadaan yang berbeda.
Lebih dewasa.
"Mas ...." jelas Anissa ragu melanjutkan kata-katanya.
"Aku tidak bisa lebih lama lagi di sini, aku sudah terlalu lama cuti." Ridho menanti jawaban dan keputusan yang akan Annisa berikan mengingat dia juga harus melanjutkan kehidupannya dengan harapan Annisa bersedia turut serta dalam kehidupan tersebut bersama buah hati mereka.
"Lalu bagaimana Jelita?" Anissa membayangkan Jelita pasti sangat kecewa bila Ayahnya pergi.
"Maka dari itu, menikahlah denganku."
Ridho tidak memberi pilihan lain pada Anissa, jika ingin anaknya bahagia maka menikah adalah jawaban satu-satunya.
"Mas ada satu hal yang harus kamu ketahui," Anissa tampak ragu melanjutkan perkataannya.
Sedangkan sang lawan bicara memandang penuh keyakinan, senyum manis tersungging seolah mengisyaratkan semua akan baik-baik saja.
"Kamu nggak akan punya anak selain Jelita jika menikah denganku." Annisa menjawab cepat, suaranya sedikit bergetar.
"Maksudnya?" Ridho yang tidak mengerti menuntut Annisa memberi penjelasan padanya.
"Setelah melahirkan Jelita aku mengalami pendarahan hebat, tidak hanya sekali tapi berkali-kali. Aku terkena infeksi rahim, hingga akhirnya aku harus menjalani operasi pengangkatan rahim."
Ridho hanya diam tangannya mengusap wajah perlahan, membuang nafas pelan menyalurkan sebuah harapan yang menguap.
"Apa kamu tidak ingin memiliki keturunan selain Jelita? Keturunan yang sempurna? Dan bagaimana dengan orang tua mu?"
Semakin banyak pertanyaan yang Anissa berikan, semakin berat pula jawaban keluar dari mulut lelaki itu.
Benar juga yang di katakan Anissa, dia teringat kata-kata sang Ibu, akan mengakui pada para tetangga dan saudara bahwa Ridho akan menikahi seorang janda beranak satu.
Itu mengartikan bahwa sang Ibu tidak siap mengakui Jelita sebagai cucu kandungnya, padahal beliau belum mengetahui keadaan Jelita yang penyandang tuna netra.
Di tambah lagi Anissa yang sudah tidak bisa hamil lagi.
Oohhh Tuhan ... kenapa begitu berat cobaan yang Engkau berikan, begitulah arti tarikan nafas dalam-dalam dari seorang Ridho Ginanjar saat itu.
* Dita Andriyani *
Jelita kembali menangis setelah lama selalu dalam tawa bahagia saat sang Ayah berpamitan pulang.
"Sayang, Papa 'kan harus kerja nanti Papa ke sini lagi jemput Jelita, Jelita mau Papa bawain oleh-oleh apa?"
Bujuk rayu yang terlontar dari mulut Ridho tidak bisa menghentikan rintihan pilu anak berusia tujuh tahun itu.
"Jelita nggak mau apa-apa Jelita cuma mau Papa, walaupun Jelita nggak bisa lihat wajah Papa tapi Jelita seneng deket Papa, Jelita mau sama Papa terus."
Gadis kecil itu terus menerus terisak hingga terlelap dalam dekapan sang Ayah.
.
Sementara di tempat lain
Tubuhku terasa lebih bertenaga setelah semalaman tertidur lelap, mungkin pengaruh dari obat yang aku minum hingga aku bisa tidur senyenyak ini semalaman.
Atau mungkin karena jiwaku merasa begitu damai, hatiku merasa begitu bahagia mengetahui dia yang selama ini aku nanti telah kembali.
"Selamat pagi, diperiksa dulu ya, Bu." sapa seorang perawat cantik memaksaku membuka mata.
Arman bergegas bangun dan duduk di ujung sofa bed berwarna merah tua yang di sediakan di kamar VIP rumah sakit ini.
Arman spontan mendekat dan menampakan wajah takjub dan bahagia saat mendengar suara detak jantung bayiku dari sebuah alat yang aku tidak tau apa namanya.
"Permisi ya, Bu. Hasil pemeriksaannya biar nanti di jelaskan dokter Hera." kata perawat itu setelah selesai memeriksaku.
Lalu datang satu perawat lain membawa sarapan dan segelas s**u untukku.
"Terima kasih sus," ucapku dan Arman bersamaan.
"Iya, permisi Pak, Bu." jawab kedua perawat tersebut
"Kamu makan ya sayang. Aku suapin,"
Arman mengambil piring berisi nasi lalu menuang sayur dan menaruh lauk di atasnya.
"Aku mau makan, tapi kamu harus bayar hutang dulu sama aku!" ucapku manja.
"Emang aku punya hutang sama kamu?" tanya Arman dengan alis tebalnya yang hampir bertautan.
"Iya, hutang cerita. Kemana aja kamu selama ini?"
Airmataku tidak dapat aku tahan saat mengucapkan pertanyaan itu, melihatku menangis Arman kembali menaruh piring di atas nakas lalu kedua tangannya menggenggam jemariku, erat dan hangat. Rasa hangat yang juga menjalar ke dalam hatiku.b
"Masih banyak waktu untuk bercerita, karena aku tidak akan pernah pergi meninggalkanmu lagi. Sekarang yang ingin aku katakan hanya kata maaf, Adella Rahma mau 'kah kamu memaafkan aku?"
Tulus, belum pernah aku melihat mata Arman menampakkannya selama ini.
"Apakah pencarian dan penantianku selama ini belum cukup membuktikan kalau aku memaafkan semua kesalahanmu?"
Arman tak menjawab hanya sebuah ciuman hangat di jemariku yang dia berikan.
"Maafkan aku telah menghancurkan hidupmu." Ia menatap kedua mataku dengan tatapan sendu.
"Hidupku hancur hanya karena kepergianmu, maka jangan pernah pergi lagi." Sebuah harapan yang kuuntai.
"Aku janji. Maafkan aku telah menghancurkan rumah tanggamu." Rasanya menyakitkan mengingat hal itu tetapi rasa cintaku pada Arman telah mampu menghapuskan segala rasa sakit itu.
"Aku tidak pernah bahagia dengan rumah tanggaku, bahagiaku karena kamu. Maka bahagiakanlah aku selamanya." Arman pasti bisa melihat rasa penuh harap dari kedua mataku yang menatapnya kini.
"Aku janji. Maafkan telah memberimu hidup yang sulit selama ini." Lagi, kata maaf terucap tulus dari bibirnya.
"Hidupku sulit karena nggak ada kamu. Maka hiduplah bersamaku." Rasanya sudah tidak kuasa aku menahan air mata.
"Aku janji. Aku nggak akan cuma berjanji, tapi aku akan membuktikan semuanya."
Aku menghela nafas lega saat Arman mengecup pucuk kepalaku.
"Ya udah, makan yuk!" Arman kembali mengambil piring berisi nasi itu dan menyuapkan sendok ke mulutku.
"Barengan ya, kalo sebanyak itu aku nggak abis," pintaku.
"Harus abis dong 'kan kamu makannya berdua sama anak kita!"
Aku berhenti mengunyah makananku mendengar perkataan Arman.
"Anak kita?" tanyaku tidak percaya apa yang ia ucapkan.
"Iya, Mas Ridho menolaknya 'kan? Berarti mulai detik itu juga anak ini anak kita! Anak aku!"
Arman tersenyum sambil menyodorkan sendok agar aku membuka mulutku, tak terasa air mata kembali meleleh dari sudut mataku.
Haru, dan bahagia.
* Dita Andriyani *
Jam di dinding rumah sakit sudah menunjukan pukul sembilan malam, Ibu dan Irma sudah pulang sejak tadi, Arman masih setia menungguku hanya keluar kamar untuk ke musholah atau mencari makanan saja.
Dia duduk di kursi di sisi ranjangku dengan tangan kanan menggenggam tanganku yang terbebas dari infus dan tangan kirinya mengelus perut buncitku.
Ajaib yang di dalam langsung merespon melakukan pergerakan halus seolah bahagia merasakan sentuhan hangat penuh kasih sayang.
Kasih sayang yang selama ini tidak pernah dia dapatkan, Arman tampak antusias tersenyum lebar bahkan tertawa kecil saat berinteraksi dengan bayi dalam kandunganku.
Menyejukkan sekali pemandangan ini.
"Sayang kamu inget Wahyu nggak?"
Pertanyaan Arman mengejutkanku yang sedang menikmati pemandangan indah di hadapanku ini.
"Wahyu sahabat kamu di sekolah dulu kan! Yang orangnya gendut?"
Tanyaku memastikan.
"Iya, selama ini aku di tempat dia di Bandung."
Aku hanya diam menyimaknya bercerita sambil sesekali mengelus perutku.
"Tempatnya enak deh, kamu nggak keberatankan kalau nanti kita mulai hidup baru kita di sana?"
"Hidup baru?"
"Ya kita mulai hidup baru, menikahlah denganku? Kamu mau 'kan?"
Tatapan matanya penuh harap, tapi sebenarnya akulah yang telah lama mengharapkan hal ini terjadi.
"Eeemmmm mau nggak ya?"
Aku menaruh telunjukku di dagu bergaya sedang berfikir panjang untuk menggodanya.
"Ya udah kalo nggak mau aku pergi lagi aja."
Arman malah balik menggodaku dengan bangun dari duduknya seolah-olah mau pergi.
"Eehhhh iya-iya aku mau," cepat kutarik tangannya.
"Mau apa?"
"Hhaahh?"
"Kok hhaahh!"
"Iya aku mau nikah sama kamu!"
Lalu bersama senyum kami terkembang sempurna.
"Ya udah kamu tidur, udah malem."
Ucapnya sebelum mencium keningku.
"Apa lagi?" tanyanya ketika merasakan aku menahan tangannya saat hendak meninggalkanku ke sofa bed.
"Ini belum," telunjukku menyentuh bibir memintanya untuk menciumku, sambil kukerlingkan sebelah mata, nakal seperti biasanya.
Dia mendekat tapi bukan untuk menciumku melainkan berbisik.
"Nanti aja kalo udah halal!"