POV Anissa
Waktu sudah tengah malam, tetapi mataku masih enggan terpejam aku terus terbayang wajah Jelita putriku satu-satunya menangis pilu menahan kepergian ayahnya.
Apa yang aku takutkan benar-benar terjadi nyatanya mas Ridho bisa menerima Jelita tapi tidak bisa menerima kekuranganku sebagai wanita, aku sudah tidak sempurna.
Tapi apakah setelah semua pengorbananku selama ini, aku sama sekali sudah tidak pantas menyandang gelar sebagai istrinya?
Hatiku sangat kecewa, Mas Ridho bahkan tidak lagi menanyakan apakah aku mau jadi istrinya lagi begitu dia tau kekuranganku.
Rasa khawatir pada jelita menuntun kakiku memasuki kamar itu, di mana ayah dan anak itu menghabiskan malamnya selama mas Ridho menginap di sini.
Kupandangi wajah mereka bergantian, malaikat kecilku sungguh tidak adil jika kau harus kembali merasakan kehilangan kasih sayang seorang ayah.
Mas Ridho, sungguh aku memiliki cinta yang bukan cinta biasa untukmu.
Lima tahun kita berpacaran, tapi tujuh tahun kamu memberiku, luka. Perih walau tidak berdarah, tetapi semua itu tidak bisa menghapus cintaku padamu.
Mungkin karena aku memiliki Jelita, darahmu sempurna menitis padanya.
"Pa... Papa jangan pergi..." Jelita merintih, menangis dalam tidurnya.
Hatiku teritis.
Kusentuh dia "Masya Allah ... Badannya panas sekali."
Mas Ridho menggeliat terbangun melihatku di samping Jelita.
"Jelita kenapa Nis?" tanya Mas Ridho, mungkin dia dapat membaca rasa cemas di wajahku.
"Jelita demam, Mas," jawabku sambil memasang plester kompres yang kuambil dari laci meja, benda yang selalu aku sediakan sebagai pertolongan pertama.
"Papa... Jangan tinggalin Jelita... " Jelita terus saja mengigau.
Air mataku tidak lagi bisa terbendung saat mendengar jerit hati putriku.
"Anissa, menikahlah denganku. Kita hadapi bersama segala kesulitan hidup kita nanti, apapun itu." mas Ridho menggenggam tanganku, dibatas tubuh Jelita yang terbaring lemas kami saling berpegangan tangan.
"Kamu yakin mas?" tanyaku ragu.
"Aku yakin, kita akan rawat Jelita bersama dan Jelita akan punya adik!" Mas Ridho meyakinkanku, aku mengangguk walaupun aku tidak tau pasti apa maksudnya.
Mungkin suatu saat kami akan mengadopsi anak agar Jelita bisa punya adik.
* Dita Andriyani *
"Ayok aaaa... buka lagi mulutnya."
Arman mengayun-ayunkan sendok berisi nasi ke atas seperti menyuapi anak kecil.
"Udah sayang, aku udah kenyang. Lagian aku tuh di sini kerjanya makan tidur terus." Rasa bosan kerap kali menghampiri meski Arman selalu menemaniku.
"'Kan dokter Hera bilang besok baru boleh pulang," jawab Arman lembut seraya mengelus kepalaku.
"Sayang kemarin-kemarin kamu ngapain aja sih di Bandung?" tanyaku.
"Berusaha ngelupain kamu!"
Aku tercengang mendengar jawabannya.
"Tadinya aku fikir, cinta Mas Ridho begitu besar buat kamu. Dia bisa memaafkan kamu dan akhirnya kalian kembali bersama." Aku masih tidak menyangka jika Arman berpikir demikian.
"Terus kamu? Emang selama ini kamu nggak ngerasa kalo aku cinta sama kamu?" tanyaku lagi.
"Aku sama sekali nggak meragukan cinta kamu ke aku sayang, justru malah aku yang ragu sama perasaan aku sendiri. Makanya aku menjauh dari kamu tapi kenyataannya separuh hatiku terasa hilang tanpa kamu. Rasanya sakit hidup tanpa cintamu, sampai akhirnya aku denger kabar perceraian kamu," terangnya panjang lebar.
"Kamu denger dari siapa? Pak Mardi?" tebakku.
"Bukan, pak Mardi nggak tau apa-apa. Dari Agus dia mata-mataku di sini." Ternyata benar, Pak Mardi sama sekali tidak membohongiku.
"Agus siapa?" tanyaku lagi, karena memang merasa tidak mengenalnya sama sekali mb
"Kamu nggak kenal 'kan! Berarti aku nggak salah pilih mata-mata."
"Ih kamu jahat banget deh, ngebiarin aku kebingungan cari kamu padahal kamu selalu tau kabar tentang aku." Aku merajuk dengan memerengutkan bibirku.
"Maafin aku ya, sayang. Aku mutusin semua komunikasi sama kamu mencoba mencari tau pada hati aku sendiri bisakah dia tanpamu, tapi ternyata dia sekarat!" Aku tersenyum mendengar keluhannya.
"Tapi Agus kecolongan jagain kamu, dia sakit. sampe Arya bisa ngelakuin hal buruk itu."
Arman meremas selimut, wajahnya kaku menampakkan emosi yang terpendam.
"Ya udahlah nggak usah ngomongin itu."
Arman mengangguk mungkin dia faham aku masih trauma.
"Aku putuskan pulang, saat tau Agus nggak bisa di andalkan. Aku baru aja sampe depan Toserba Mita saat mau jemput kamu. Masih di dalem mobil waktu aku liat Bu Rita narik Risti dari dalem buru-buru pergi naik motornya."
Aku menyimak cerita Arman, ingatanku kembali pada saat hal buruk itu terjadi.
Aku tidak habis fikir bagaimana bisa seorang Bu Rita melakukan hal sekejam itu, padahal aku tengah mengandung cucunya, walaupun Mas Ridho tidak mau mengakuinya.
Memang kebencian bisa merubah perilaku seseorang, kupu-kupu pun bisa segarang elang bisa dirasuki kebencian.
Arman menghentikan ceritanya melihatku melamun.
"Sayang kamu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir.
"Iya, aku nggak apa-apa. Terusin ceritanya," jawabku.
"Terus aku denger kegaduhan di dalem toserba, aku buru-buru masuk dan ngeliat kamu nyaris pingsan kata Mita kamu pendarahan. Aku sama Mita langsung bawa kamu ke sini."
Arman tersenyum sambil mengelus tanganku lembut.
"Sayang, apa yang dilakukan Bu Rita dan Arya adalah tindakan kriminal. Kita punya bukti dan saksi yang kuat, kita bisa mempidanakan mereka kalau kamu mau."
Aku menggelengkan kepala pelan.
"Aku nggak mau, sudahlah biarkan saja semua berlalu. Aku anggap semua hal buruk yang terjadi padaku sebagai hukuman atas semua dosa-dosaku. Semoga semua sakit dan air mataku bisa menghapusnya."
"Maafin aku ya, ini semua karena aku juga." Sekali lagi aku mendengar Arman mengucap kata itu.
"Udah ah kayak lebaran aja maaf-maafan terus,"
Aku tertawa sumbang berusaha tidak terus terlarut dalam kesedihan.
* Dita Andriyani *
POV Arman
Aku melalui dua puluh satu tahun hidupku tanpa cinta dan kasih sayang, kebencian adalah makanan sehari-hariku hingga aku tumbuh penuh dendam.
Ambisi dalam hidupku adalah membalas sakit hati ayahku, menghancurkan hati mereka adalah tujuanku.
Aku tidak perduli banyak yang berkata aku jahat tapi inilah aku dengan hatiku yang membeku.
Saat itu aku begitu puas melihat banyak air mata mengalir di keluarga itu, keluarga pak Raharja.
Tapi aku sendiri tidak tau kenapa hatiku juga merasa sakit melihat air mata Adella, bukankah aku hanya ingin memanfaatkannya, tidak lebih.
Mungkin meskipun dalam hubungan yang salah, kehadirannya mampu mencairkan hatiku yang membeku, melunakkan perasaanku yang membatu dengan siraman kasih sayang yang selama ini tidak pernah aku terima dari siapa pun.
Dialah satu-satunya orang yang bisa tulus menyayangi diriku dengan segala sisi buruk diriku.
.
"Hay brow, apa kabar? Ada angin apa nih tiba-tiba nongol di sini?"
Sepertinya Wahyu terkejut melihatku di halaman rumahnya, rumah bergaya khas Jawa Barat dengan sebuah bale di terasnya.
Wajahnya ikut kusut tak jauh beda seperti wajahku setelah aku ceritakan semuanya, Wahyu adalah sahabat lamaku dia sudah mengetahui tentangku dan dendam yang terpendam dalam.
Aku memutuskan menginap di Bandung. Di rumah mertuanya yang seorang guru mengaji, dari beliau aku mendapatkan banyak ilmu yang mencerahkan hati dan fikiranku.
Walaupun aku sudah melakukan banyak dosa tapi aku rasa tidak ada kata terlambat untuk bertaubat.
Bukan hal yang mudah berusaha melupakan Adella, aku sudah terbiasa bersamanya walaupun sejak remaja aku tidak pernah menganggap perhatiannya, tetapi belakangan ini kasih sayang dan perhatiannya telah mengisi hatiku.
Ting . ..
Sebuah pesan masuk di nomer w******p baruku, aku sengaja berganti nomer agar keluarga Raharja tidak ada yang bisa menghubungiku, juga Adella, aku ingin mencoba hidup tanpanya tapi ternyata tak semudah yang kukira.
[Mas, hari ini mbak Adella resmi bercerai sama Mas Ridho]
Disertai fotonya sedang melamun di depan Pengadilan agama entah apa yang ia fikirkan.
Pesan yang dikirim Agus anak buahku seketika membuatku merasa lega, tadinya aku fikir dia akan kembali bersama Mas Ridho dan melupakan aku.
Tapi ternyata mereka bercerai dan Adella terus mencariku, seketika aku sadar bahwa Adella memiliki cinta yang bukan cinta biasa untukku.
Sebenarnya ingin saat itu juga pulang untuk menemuinya, tapi aku sudah terlanjur membuka usaha di Bandung.
Sebuah bengkel dan Alhamdulillah usahaku berjalan baik, aku juga membuka sebuah butik yang akan kuberikan untuk Adella kelola setelah kami menikah nanti.
Semua usahaku di sini biar pak Mardi saja yang menghandle, nanti sesekali kami bisa berkunjung ke sini sekalian mengunjungi Ibu dan adik Adella.
Aku juga sudah membeli sebuah rumah di Bandung untuk tempat tinggal kami aku, Adella dan anak kami.
Aku mendapat laporan dari Agus kalau Adella hamil tetapi Mas Ridho menolak anak itu karena mengira anak itu anakku, maka kuputuskan akan benar-benar menjadikan anak itu anakku.