Mendung hitam yang menggelayut manja malam itu membuat suasana semakin mencekam seperti hati seorang Ridho Ginanjar.
Walaupun sudah di usia dewasa, seorang anak tetaplah anak bagi orang tuanya.
Meskipun sudah menjadi seorang suami anak laki-laki tetap wajib berbakti pada Ibunya, itulah yang disadari Ridho hingga dia mati-matian memohon restu untuk menjadikan Anissa menantu bagi Ibunya.
Sang Ayah hanya termenung di atas kursi goyang sedangkan Ridho duduk bersimpuh di hadapan sang Ibu yang masih mendongak dengan keangkuhannya, keangkuhan yang selama ini lebih mendominasi keluarga mereka.
Jelita telah terlelap sejak sampai di kampung halaman sang Ayah, berada di kamar atas ditemani sang Ibu. Di dalam kamar itu Annisa berdoa semoga sebuah restu dapat orang tua Ridho berikan pada rencana mereka membina kehidupan baru demi Jelita.
"Bu, sejak kecil aku selalu menuruti semua perintah Ibu, tidak pernah meminta apapun, hanya sekarang aku mohon Bu izinkanlah aku menikahi Anissa." Entah untuk ke berapakalinya Ridho memohon restu dari sang ibunda.
"Tapi Ibu malu! Sudah punya cucu cacat, dan kamu nggak akan punya anak lagi."
Rasa marah, malu, sedih dan kecewa yang nampak pada diri Ibunya membuat Ridho tidak bisa menahan air matanya.
Walaupun kecewa akan ketidakmampuan sang Ibu menerima cucunya tetapi Ridho tetap berusaha melembutkan hati sang Ibu, Ridho adalah seorang putra yang sangat baik.
"Bu, ini semua sudah takdir dari Gusti Allah, Ibu harus berbesar hati nerima Jelita dia anak kandung Ridho, Bu. cucu kandung Ibu," Ridho mulai terisak. "Dan Anissa, dia wanita yang luar biasa dia merelakan rahimnya di angkat setelah melahirkan anak Ridho."
Walau sang Ibu tetap tak bergeming Ridho tetap saja mengiba.
"Anissa memiliki cinta yang bukan cinta biasa untukku, walaupun aku sudah menyia-nyiakan dia selama ini, tapi cintanya tetap utuh untukku, Bu."
Bu Rita berdiri lalu, masuk ke dalam kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Pak Raharja menghela napas panjang melihat pemandangan di hadapannya, dia sudah sangat memahami watak sang istri, keras.
"Biar nanti Bapak coba bicara sama Ibumu, semoga lambat laun dia bisa nerima Anissa dan Jelita," ujar pak Raharja sebelum menyusul istrinya ke kamar.
Kini hanya tinggal dia sendiri menyandarkan punggungnya di sofa menatap langit-langit yang di hiasi lampu kristal yang indah tetapi dia rasa tidak bisa sedikit pun mengindahkan hidupnya.
* Dita Andriyani *
Pagi yang cerah tetapi tak mampu mencerahkan suasana rumah pak Raharja.
Mereka semua di meja makan, sarapan bersama tapi terhanyut dalam fikiran masing-masing hanya suara denting piring yang beradu dengan sendok saja yang terdengar.
"Risti berangkat dulu, assalamualaikum." Risti pun tidak seceria biasanya.
"Waalaikum salam ..." serempak terdengar sebuah jawab.
Gadis itu tak banyak bicara pagi ini, mungkin merasakan suasana tidak enak melihat perubahan sikap Ibunya sejak kedatangan Anissa dan Jelita.
Hanya mengucapkan salam sebelum berlalu mengendarai sepeda motornya menuju sekolah.
Bu Rita jelas menampakkan ketidaksukaannya pada Jelita bahkan dia sama sekali tidak menimpali saat suaminya mulai berbincang akrab dengan cucunya tersebut.
"Jelita suka makanannya?" tanya pak Raharja berusaha mencairkan suasana.
"Mmm.. Iya Mbah kung Jelita suka, makanannya enak kayak masakan Nenek," jawab Jelita polos.
"Ini yang masak Mbah uti, coba sekarang Jelita bilang terima kasih sama Mbah uti." Pak Raharja sengaja ingin membangun komunikasi antara nenek dan cucu itu.
"Iya Mbah kung, Mbah uti ...," yang dipanggil hanya diam saja tak menjawab "terima kasih ya udah buatin sarapan yang enak buat Jelita."
"Hheemm.. Iya." hanya itu kata yang terucap, Annisa hanya diam merasakan pilu dalam hati melihat snag putri terang-terangan tidak diterima dalam kehidupan nenek kandungannya.
.
Bbbrruukk... Jelita menabrak meja ketika hendak membawa piring kotor bekas makannya ke dapur seperti kebiasaan yang selalu ia lakukan di rumah.
"Aduh..." Jelita meringis kesakitan.
Sontak membuat semua yang melihatnya menghampiri penuh kekhawatiran kecuali Bu Rita yang masih saja duduk mematung di kursinya.
"Sayang, kita 'kan baru di rumah ini, kamu belum hafal dengan keadaan di sini. Sini biar Mama saja yang cuci piringnya ya." ucap Anissa lembut sambil mengambil piring dari tangan Jelita.
"Ayo, sayang. Jelita keliling rumah dulu sama Papa biar Jelita tau keadaan rumah ini," Ridho menuntun Jelita membiarkan Jelita meraba setiap sudut rumah ini dan menghafal semua letak benda agar mempermudah pergerakan Jelita.
Bu Rita diam seribu bahasa mengamati cucunya yang sesekali tersandung hampir terjatuh bila sang Ayah tidak lekas memeluknya, entah apa yang ada dalam fikirannya.
* Dita Andriyani *
"Mas, sejak kedatanganku di sini aku belum ngeliat Arman sama istrinya?" tanya Annisa yang memang tidak mengerti apa-apa yang dia tahu Arman memperkenalkan Adella sebagai istrinya.
"Arman dan istrinya?" tanya Ridho heran.
"Iya Adella, waktu aku ke sini ketemunya sama Arman dan istrinya," jawab Annisa mengingat hari itu, terlihat mereka berdua begitu saling mencintai.
"Adella ya."
Ridho tersenyum sinis menyebut nama itu lagi "dia bukan istri Arman tapi istriku, mereka menjalin hubungan di belakangku. Menghianatiku."
Anisa menutup mulut yang sedikit terbuka karena rasa terkejut dengan kedua telapak tangan, matanya membulat sempurna.
"Adella memang mencintai Arman sejak masih sekolah, aku tidak tau kenapa dia mau menerima lamaranku mungkin karena paksaan Ibunya. Dan Arman aku tidak tau apakah dia benar-benar mencintai Adella atau tidak, aku tidak peduli." Suara Ridho terdengar dingin saat menceritakan hal itu pada Annisa.
"Kalau kamu tau Adella mencintai Arman kenapa kamu melamarnya?" tanya Annisa lagi, ia begitu tertarik mendengar kisah pilu yang telah Ridho alami dengan rumah tangganya.
"Aku baru mengetahuinya setelah perselingkuhan mereka ketahuan," jawab Ridho suaranya sudah tidak setegang tadi.
"Ini rumit dan menyakitkan mas, tapi apapun yang terjadi hidup kita adalah skenario dari Yang Maha Kuasa. Menjalani dengan penuh keikhlasan dan tawakal hanya itu tugas kita." Dengan bijak Annisa mengungkap kata.
Ridho menghela nafas, "Iya ..." hanya itu yang terucap. "mungkin ini karma," sambung Ridho, tentu saja hanya dalam hatinya.
"Aku bisa melihat cinta yang bukan cinta biasa di mata Adella dan Arman saat bertemu mereka, sama seperti cintaku padamu... Hanya saja kita berada pada situasi yang berbeda, tapi bagaimanapun keadaannya aku harap kita bisa bahagia tanpa harus saling menyakiti."
Bijak, perkataan Anissa seperti Kepribadiannya.
"Aku juga tidak mau menyakiti Ibumu Mas, bila memang beliau tidak bisa menerimaku," ujar Annisa terdengar tulus meski Ridho tahu itu menyakiti perasaannya.
"Aku tetap akan menikahimu dengan atau tanpa restu Ibu," jawab Ridho tegas.
"Tidak bisa seperti itu Mas, bagi seorang lelaki surga tetap berada di bawah telapak kaki Ibunya walaupun dia telah menikah, aku tidak mau menjadi penghalang bagimu untuk berbakti." Ridho menatap mata Annisa dengan pandangan penuh rasa bersalah.
"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Ridho yang tampak putus asa.
"Mas, kamu tidak bisa memilih antara menjadi anak yang baik atau ayah yang baik. Itu bukan pilihan, itu hal yang tidak bisa dipisahkan bagai dua sisi mata uang walaupun berbeda tapi tetap satu."
Bu Rita meneguk salivanya dengan mata dipenuhi kaca-kaca, rupanya sedari tadi ia berdiri di balik dinding mendengarkan pembicaraan mereka.
* Dita Andriyani *
Pagi itu hari Minggu yang cerah Ridho, Risti dan pak Raharja sengaja membawa Jelita berjalan-jalan.
Alun-alun kota tujuan mereka, setiap akhir pekan tempat itu memang selalu ramai ada banyak pedagang yang menjajakan aneka dagangan, ada aneka makanan mulai yang ringan sampai yang berat, aneka kerajinan tangan, mainan hingga pakaian pun ada.
Pengunjungnya pun dari berbagai kalangan mulai dari pasangan muda-mudi hingga keluarga, banyak dari mereka yang menghabiskan waktu dengan berolah raga atau hanya duduk-duduk di taman sambil bercengkrama.
Car Free Day istilah hits nya.
Sedangkan di rumah, dua sosok wanita menghabiskan waktu bersama tanpa banyak bicara.
"Apa alasan kamu, kenapa selama ini hanya menghabiskan waktu untuk menunggu Ridho?" pertanyaan Bu Rita mengawali pembicaraan mereka.
"Tidak perlu alasan bagi orang tua untuk menyayangi anaknya, Bu. Aku menunggu Mas Ridho karena aku menyayangi anakku." kedua wanita itu saling berpandangan "kita sama-sama seorang Ibu, aku tau Anda menginginkan yang terbaik untuk Mas Ridho. Dan aku juga menginginkan yang terbaik untuk Jelita, dan yang terbaik untuk Jelita adalah bersama Ayah kandungnya."
"Baik lah aku merestui kalian menikah."
Bu Rita mengucapkan restu, walaupun dengan raut wajah yang tidak menampakan ke ikhlasan.
"Alhamdulillah ... Terima kasih, Bu."
Anissa meraih kedua tangan calon mertuanya lalu menciumnya penuh penghormatan.
Sebulir cairan bening menetes dari mata indah itu, bahagia.