Semua salahku.
Semua ini memang salahku, hingga kini seorang gadis kecil yang tidak berdosa menangis di dalam pelukanku, Jelita Putri Ginanjar sengaja aku menyematkan nama Ginanjar di belakang namanya, sebagai pengukuhan bahwa dia adalah putrinya, darah daging seorang Ridho Ginanjar seorang lelaki yang telah membutakan mata hatiku dengan cintanya, namun ini semua kesalahanku. Salahku hingga Jelita terlahir ke dunia ini.
"Jangan sayang, aku nggak mau meninggalkan noda untukmu," Mas Ridho berusaha mempertahankan mahkota yang inginku serahkan padanya malam itu, penolakannya membuat aku semakin yakin jika Mas Ridho memang orang yang baik, dan aku semakin mengaguminya semakin mencintainya juga semakin takut kehilangan dia.
"Mas, malam ini adalah malam terakhir kamu di Jakarta, aku ingin memiliki kenangan terindah bersamamu, berjanjilah untuk kembali dan melamarku, sekarang kau pergilah membawa cintaku dalam hatimu," aku terus saja memaksanya hingga perbuatan itu terjadi, perbuatan yang membuat Jelita terlahir ke dunia ini tanpa Mas Ridho ketahui.
Janji Mas Ridho untuk menikahiku setelah ia sukses adalah satu-satunya peganganku mempertahankan kandunganku walaupun sangat banyak yang harus aku korbankan, menunda pendidikanku yang baru bisa aku selesaikan beberapa tahun kemudian, menelan segala kekecewaan keluargaku sendiri karena aku telah mencoreng nama baik mereka, aku anak tunggal mereka hamil tanpa memiliki suami. Orang tuaku bukannya tidak peduli dan tidak menyuruhku mencari Mas Ridho saat aku hamil, namun aku yang terlalu naif berharap Mas Ridho akan benar-benar datang tanpa di minta.
Bahkan aku mengancam akan bunuh diri jika ada yang berusaha mencari Mas Ridho dan memberitahunya tentang kehamilanku.
Semakin lama Mas Ridho semakin sulit di hubungi, mungkin itu keputusannya saat dia bilang belum siap berkomitmen, aku pun terlalu pongah menganggap aku akan tetap bisa jadi orang tua tunggal Jelita, tapi kini semuanya berbeda Jelita sudah memasuki dunia sekolah, dia sudah tau bahwa lazimnya orang tua terdiri dari dua orang yaitu Ayah dan Ibu.
"Mama, Jelita denger dari temen-temen mereka semua punya papa."
"Mama tadi Aisyah temen sekolah Jelita pulangnya di jemput Ayahnya, Jelita juga pengen Ma,"
"Mama, nama Papa Jelita siapa sih, sekarang ada di mana?"
Pertanyaan semacam ini selalu Jelita ajukan menjelang tidurnya, lalu air mata mengalir dari netra istimewa Jelita.
Segala pertanyaan Jelita yang membawaku menapakkan kaki di kota kelahiran ayah kandung Jelita, namun kenyataannya sudah berbeda. Mas Ridho melupakan semua janji-janjinya dulu, dulu Mas Ridho berjanji akan melamarku tapi dia malah melamar wanita lain untuk jadi istrinya, dulu Mas Ridho berjanji akan menikahi aku tapi nyatanya dia menikahi wanita lain.
Berat sekali rasanya, bukan berat merelakan Mas Ridho menikahi wanita lain tapi berat mengatakan pada Jelita bahwa Papanya belum atau mungkin tidak akan pernah datang menemuinya.
* Dita Andriyani *
Sore itu, langkahku terhenti di ambang pintu dapur kedua tanganku masih memegang baki berisi tiga cangkir teh hangat dan kue nagasari buatanku tadi siang.
Pemandangan yang menyejukkan dua pria kakak beradik sedang memainkan permainan di papan dengan kotak-kotak kecil berwarna hitam putih, sambil sesekali di iringi canda tawa, entah hanya fatamorgana mengingat banyak luka yang tersimpan di hati keduanya.
"Dek, kok malah bengong di situ? Bawa sini tehnya," panggilan Mas Ridho membuyarkan lamunanku.
Arman hanya tersenyum tanpa menimpali, dia pasti tau fikiranku sedang terganggu dengan kehadiran Annisa kemarin, dia pun hanya diam memasrahkan semuanya padaku kapan aku siap memberi tahu Mas Ridho, tentang noda masa lalunya yang membuat seorang gadis tidak berdosa lahir ke dunia ini tanpa sepengetahuan dirinya, sang ayah.
.
Aku duduk di sebelah Mas Ridho ketika Ibu dan Bapak pulang. Namun, mereka tidak hanya berdua ada seorang gadis bersama mereka.
"Assalammualaikum...," mereka kompak mengucap salam.
"Waalaikum salam...," jawab kami bertiga tidak kalah kompaknya.
Ibu memperkenalkannya sebagai anak dari sepupu Bapak hanya aku yang belum mengenalnya.
Namanya Silvi perempuan berbadan mungil, dengan wajah tirus terkesan imut-imut rambutnya lurus dengan warna keunguan di ujungnya menandakan dia adalah gadis yang modis.
"Silvi ini dari dulu naksir Arman, tapi Armannya nggak mau. Sengaja Bapak ngajak dia ke sini biar pdkt ama Arman," Mas Ridho bisik-bisik sambil cengengesan padaku takut Arman mendengarnya.
Aku diam saja sambil meremas-remas ujung kemeja yang di kenakan Mas Ridho tanpa dia sadari.
"Awas kamu Silvi, berani-beraninya kamu mau pdkt sama Armanku," jiwa antagonisku mulai muncul.
Rasanya darahku mulai mendidih melihat Silvi yang kecentilan sedang tertawa-tawa entah membicarakan apa dengan Arman di teras belakang.
(seneng ya yang lagi di pdkt in, ama bocah ingusan) kukirim pesan pada Arman.
(Jiiaaahhhh cemburu!!!!) balasnya cepat.
(ih GR!! enggak ) balasku sambil merengut jengkel.
(enggak salah lagi kan ) dia masih saja meledekku.
Tidak aku balas lagi pesannya karena sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalaku.
* Dita Andriyani *
Selesai sudah makan malam kami, menyisakan rasa dongkol di hati mengingat saat makan tadi Silvi duduk di bangku sebelah Arman dan sok-sokan melayani Arman, belajar jadi istri yang baik katanya, yang dilayani juga menurut saja hanya senyum-senyum tapi aku tahu itu senyum yang sangat di paksakan. Ibu, Bapak, dan Mas Ridho terlihat senang karena itulah yang mereka inginkan, menjodohkan Arman dan Silvi.
"Sil kalo mau jadi istri yang baik, harus bisa nyuci piring yuk bantuin Mbak Della nyuci piring," aku sengaja mengajaknya.
"Iya Mbak, ayo aku bantuin."
"Yes ini kesempatanku," bisikku dalam hati, siap untuk menjalankan ideku.
"Kamu beneran suka ama Arman?" aku mulai menjalankan aksiku.
"Iyalah mbak, siapa yang nggak suka ama kak Arman dia tuh ganteng, baik, sopan, rajin, tajir lagi, masih muda bengkel dan toko onderdil otomotifnya dimana-mana, paket komplit deh pokoknya," jawabnya panjang lebar, padahal aku tidak tertarik mendengarnya.
"Kamu yakin? Arman tuh jorok lho suka kentut sembarangan." Aku sengaja mempengaruhi Silvi.
"Ya nggak apa-apa Mbak, kentut 'kan normal, ntar kalo nggak kentut masuk rumah sakit lagi." Jawab Silvi pengertian, tapi benar juga apa yang ia katakan.
"Arman juga bau badan dan jarang mandi," aku masih coba mempengaruhinya.
"Ih Mbak, masa sih Kak Arman gitu, selama ini kalo aku deket dia selalu wangi kok, lagian mandi atau nggak Kak Arman tetep ganteng pokoknya kalo aku suka ya suka aja," jawabnya ngeyel.
Bikin aku gemes... Sekarang saatnya aku keluarin jurus pamungkas.
"Emang Armannya suka ama kamu?" tanyaku dengan nada ejekan.
"Kayaknya belum," jawabnya ragu "tapi nanti pasti suka."
"Mbak kasih tau ya, Arman tuh nggak bakalan suka ama kamu." Aku tertawa kecil.
"Kok Mbak ngomong gitu, emang kenapa?" tanya Silvi terlihat kecewa padaku.
"Karena Arman itu gay," sekuat tenaga aku menahan tawa saat mengucapkannya.
"Hhhaaahhhhhh," Silvi refleks berteriak kaget.
"Ssstttthhhh ..., jangan kenceng-kenceng ntar yang lain tau, kasian Arman malu," aku menutup mulutnya dengan tanganku.
"Aku nggak percaya, kok Mbak bisa tau," Silvi bicara sambil menggelengkan kepalanya.
"Ya Mbak tau lah, 'kan Mbak adik kelasnya dari es em pe sampe es em a, dari dulu Arman tuh banyak yang naksir tapi Arman nggak pernah mau, maennya ama temen cowok mulu! Aku mendramatisir nada bicaraku walau dalam hati menahan tawa melihat wajah Silvi.
"Iiihhhh ...," Silvi hanya mengeluarkan kata itu sambil menyimak ocehanku.
"Sekarang kamu pikir, kamu suka deketin dia dari dulu, sedangkan dianya selalu menjauhkan, kalo di normal dia pasti seneng dong di deketin cewek cantik dan seksi kayak kamu gini." Aku seperti malaikat hitam yang sedang membisikkan keburukan dalam hati manusia jika di film.
"Iya ya," Silvi hanya manggut-manggut.
"Cerita itu tuh Mbak denger dari dulu, dari temen-temen sekolah juga," aku memasang wajah iba padanya.
.
Semua keluarga sedang berkumpul di teras sambil menikmati bintang-bintang dan rembulan yang seolah-olah ikut tertawa riang seperti hatiku yang berhasil mempengaruhi Silvi.
"Om, Tante, Silvi mau pamit pulang ya," ujarnya begitu sampai di teras denganku yang mengekor di belakangnya.
"Lho tadi katanya mau nginep?" selidik Ibu mertuaku. Di ikuti tatapan heran kami semua
"Enggak Silvi baru inget besok ada kuliah pagi," jawab Silvi dengan kebohongan.
"Ya udah, kamu di anter Arman ya," Bapak mertuaku menyarankan.
"Enggak, enggak usah Silvi di anternya sama Mas Ridho aja," jawab Silvi mengundang lebih banyak kebingungan mereka.
"Ya udah, ayo Mas anterin," suamiku bangkit dari duduknya, dan mengeluarkan motor dari garasi
"Tumben, biasanya pengen deket-deket Arman terus," kata Ibu sambil berlalu masuk ke rumah mungkin mau ambil buah tangan untuk Silvi di ikuti Bapak di belakangnya.
Tinggallah kami bertiga, "aku bener-bener nggak nyangka Kak Arman kayak gitu," ucap Silvi pada Arman nyaris tak terdengar.
Arman bingung tak bisa menjawab hanya memandangku penuh tanda tanya, sedangkan aku merasakan kram di perut karena menahan tawa, biarkan saja yang penting Silvi tidak lagi mengganggu Arman.