Aku bersenandung riang meluapkan perasaan gembiraku, sekali-kali tertawa geli hingga perutku terasa digelitiki mengingat wajah Silvi kemarin saat aku ungkapkan kebohongan tentang perilaku seksual Arman yang menyimpang, ya tentu saja semua itu hanya bohong mana mungkin pria yang begitu berhasrat bila sedang berdua saja bersamaku itu seorang gay.
"Rumah sakit jiwa udah penuh lho sayang, nggak muat kalau harus menampung pasien baru," Arman mengagetkanku karena tiba-tiba sudah duduk di kursi sambil menyantap roti isi yang sengaja aku buat untuknya.
"Ih maksudnya apa coba ngomong gitu?" tanyaku tanpa menghentikan kegiatan mengelap hiasan rumah yang sebenarnya tidak kotor, hanya untuk kegiatan saja, mengisi waktu luang agar tidak terlihat terlalu menganggur di rumah mertua. walaupun kedua mertua sangat sayang padaku, tidak pernah memintaku mengerjakan pekerjaan rumah atau apapun.
"Ya habis kamu dari tadi aku perhatiin ketawa sendiri, emang kamu ngomong apa sih ke Silvi sampe kayaknya dia jijik gitu ke aku?" Arman bertanya sambil terus melahap makanannya hanya pandangannya saja tidak lepas dariku.
"Aku bilang, kamu nggak akan mau ama dia karena kamu gay," jawabku ringan, walau bibirku tidak tahan untuk terus tersenyum geli.
"Hhhaaaahhhh," dia terkejut dengan jawabanku "kok kamu bilang gitu, ntar kalo dia bilang ke orang-orang gimana? " di lanjutkan dengan sebuah protes.
"Ya biarin aja. biar nggak ada cewek yang naksir kamu lagi. Lagian emang benerkan temen-temen di sekolah dulu juga suka ngeledekin kamu gay gara-gara kamu selalu nolak cewek yang nekat nembak kamu," jawabku sambil tertawa.
"Oke! Aku buktiin kalo aku bukan gay," dia berdiri mendekat berkata sambil menarikku dalam pelukannya, menghujaniku dengan ciuman ganas seperti harimau yang siap menghabisi mangsanya.
Aku menggeliat sambil tetap tertawa kecil mendapat perlakuan demikian, namun Arman malah seperti tertantang semakin bersemangat menjalankan aksinya sampai akhirnya kami mendengar suara yang sudah kami hafal. Suara bariton khas lelaki dewasa yang berteriak mengutuk perbuatan kami. Teriakan yang menghancurkan hatiku memporak porandakan hidupku.
"Arman, Adella apa-apaan kalian!" teriak Pak Raharja yang terlihat penuh emosi, rahangnya mengeras dengan wajah yang memerah.
Arman melepaskan aku dari pelukannya saat Bapak mertuaku tersebut menarik bagian belakang kaos yang dia kenakan lalu tersungkur di lantai setelah menerima bogem mentah dari Pak Raharja yang sudah dikuasai emosi.
Aku menangis menahan perih di hati dan pipi akibat tamparan Ibu mertuaku.
"Memang benar buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya, dulu Ibumu merusak rumah tanggaku dan sekarang kamu merusak rumah tangga anakku! Dasar kurang ajar! Anak tidak tau diri, kami membesarkan kamu tapi ini yang kamu berikan pada kami!" segala sumpah serapah keluar dari mulut Ibu mertuaku untuk Arman.
"Dan kamu!" mata Ibu mertuaku nyalang menatap mataku "aku menganggap kamu wanita baik-baik, ternyata aku salah kamu tidak ada bedanya dengan dia!" diriku tak luput dari hardikannya, bergantian matanya yang memerah karena emosi menatap aku dan Arman bergantian.
Sementara Pak Raharja terlihat sangat emosi saat menelpon Mas Ridho memintanya untuk segera pulang.
Tidak perlu waktu lama hingga Mas Ridho sampai di rumah, Ibu dan Bapak sudah tidak terlalu berapi-api seperti tadi, duduk berdampingan di sofa panjang di ruang keluarga. Aku duduk di samping Arman menyembunyikan wajahku di balik lengan kekarnya, aku takut, aku tidak berani memandang mereka semua sedangkan Arman tampak dingin tidak ada sedikit pun rasa bersalah di raut wajahnya hanya sesekali tersenyum sinis saat mendengar segala caci-maki kedua mertuaku.
"Dasar b******k! Ternyata Mas salah menilai kamu selama ini, Kamu sama hinanya dengan Ibumu!" Mas Ridho langsung menghantamkan beberapa kali tinjunya di wajah dan perut Arman hingga darah segar sedikit mengalir di sudut bibirnya. Namun, Arman hanya diam tanpa memberikan balasan.
"Mas tolong lepasin Arman, jangan pukul dia Mas. Aku cinta dia Mas," aku memohon sambil menarik tangan Mas Ridho, Mas Ridho tersadar dari kalapnya saat mendengar aku mengiba untuk Arman. sedangkan mata Ibu mertuaku melotot sempurna kepadaku, dia sangat terkejut mendengar perkataanku.
"Kamu tega sama Mas dek! Kamu tau sepenuh hati mas mencintai kamu, tapi kamu malah menghianati Mas sama dia, Orang yang udah Mas anggep adik kandung Mas sendiri," matanya berkaca-kaca lalu tertumpah semua air matanya seiring tubuhnya yang terduduk lunglai di sofa.
Aku memejamkan mataku tak sanggup melihat wajah-wajah merana yang telah aku hancurkan harapan dan kepercayaannya terutama Mas Ridho yang selama ini sangat mencintaiku.
"Sakit? Apakah hati kalian semua merasa sakit?" Arman bicara dengan suara sedikit bergetar namun terasa dingin.
"Sakit yang kalian rasakan tidak ada apa-apanya di bandingkan sakitnya hatiku melihat bapakku mati di tiang gantungan, dan semua itu karena dia!" Arman mengacungkan jari telunjuk ke arah Pak Raharja dan aku yakin rasanya langsung bisa menembus jantungnya.
"Kalian bisa saja kan menaruhku di panti asuhan sejak aku kecil? Tapi itu tidak kalian lakukan, Kalian mempertahankan aku di rumah ini semata-mata untuk menjadikan aku pelampiasan atas kebencian kalian pada Ibuku! Terutama Bu Rita dan Mas Ridho kalian yang menanam dendam ini dalam hatiku sekarang sudah waktunya kalian menuai apa yang sudah kalian tanam," Arman menatap sinis Mas Ridho dan Bu Rita bergantian.
"Tapi itu semua karena ibumu yang menggoda suamiku!" Bu Rita setengah berteriak nampak jelas bibirnya bergetar menahan api amarah di dada
"Itu memang, kesalahan Ibuku, tapi kenapa aku yang menerima hukuman dari kalian?" nada bicaranya tetap sama dingin. namun mampu menghancurkan siapa pun yang mendengarnya.
"Lima tahun ibuku membawa luka di kehidupan kalian, Tapi dua puluh satu tahun kalian memberi luka di hatiku, Kalian membesarkan aku dengan kebencian maka jangan salahkan aku bila aku menghancurkan kalian dengan kebencian," Arman bangkit dari duduknya berdiri di hadapanku lagi-lagi memandangku dengan pandangan yang tidak mampu ku artikan.
"Adella rahma, Terima kasih sudah membantu membalaskan dendamku. Maaf," itulah kata terakhir yang aku dengar darinya sebelum pergi meninggalkan kami semua yang tenggelam dalam linangan air mata dan ribuan sesak di d**a.
"Ini semua salahku hingga kalian yang harus menanggung karmanya," Pak Raharja berkata lirih, Mungkin dia yang paling merasa tersiksa dengan rasa bersalahnya.
"Seandainya kita membesarkan Arman dengan baik menyembuhkan luka-lukanya dengan rasa sayang mungkin dia tidak akan tumbuh dengan menyimpan dendam," Bu Rita menimpali, mengungkapkan penyesalannya.
"Maafkan Bapak, ini semua salah bapak hingga kalian semua harus berada pada keadaan seperti ini," Pak Raharja yang biasanya aku lihat sebagai sosok yang kuat dan tegas kini tergugu dalam tangis sesalnya, sementara sang istri pun sama berkali-kali terlihat menyeka air matanya, sama dengan semua sesal yang kini aku rasakan aku menyesal telah ikut menghancurkan mereka.
Aku menyesal telah menghianati pria baik yang tulus mencintaiku dan aku juga menyesal tidak bisa tulus mencintainya, sedangkan pria yang aku cintai mungkin hanya memperdayaku, menjadikan aku alat untuk membalas dendamnya, aku harus mendapatkan penjelasan darinya.